Biogas: Harga Gas Naik, Pino Tetap Tenang

Bak penampungan kotoran sapi. (Foto OyosHN)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N. | Teraslampung.com

LAMPUNG TIMUR—Penduduk desa konsumen gas 12 kg dan memiliki dua ekor sapi mestinya tidak terlalu dipusingkan oleh kenaikan harga gas. Kalau rajin dan sedikit terampil, kotoran sapi yang selama ini dijadikan pupuk kandang bisa dimanfaatkan menjadi biogas. Biogas berbahan baku kotoran sapi itu tidak hanya bisa dimanfaatkan untuk keluarganya, tetapi juga dibagikan kepada tetangganya.

Seperti yang dilakukan Pino, 40, Pino, warga Moroseneng, Kecamatan Batanghari Nuban, Lampung Timur, misalnya. Ia sudah lebih dari empat tahun memanfaatkan kotoran sapi untuk dijadikan bahan bakar. Tentu, kotoran sapi itu diolah dulu agar terkumpul menjadi gas metan. Kini, ketika warga di kampungnya banyak yang kelimpungan karena harga gas terus merambat naik, Pino tenang-tenang saja.

Pino mengaku selain memiliki modal dua ekor sapi, untuk bisa memanfaatkan biogas dari kotoran sapi setidaknya perlu dana sebesar Rp 700 ribu. Uang sebanyak itu dipakai untuk membuat digester, yaitu alat untuk mengolah kotoran sapi menjadi biogas. Untuk membuat digester sederhana, dibutuhkan bak penampungan kotoran sapi (reaktor), paralon,  selang penghubung gas, plastik tempat penampungan gas, dan kompor.

Biaya tersebut lebih murah dibanding digester yang ditawarkan di pasaran (Rp 1,5 juta termasuk pemasangan) atau digester yang menjadi program Dinas Peternakan. Dinas Peternakan Lampung yang menghitung biaya Rp2,5 juta untuk membuat alat biogas.

Pino kemudian merakit sendiri kompor yang berbahan besi baja itu. Besi baja yang sudah dipotong-potong sesuai dengan ukuran kompor yang diinginkan itu kemudian dilas. Sumbu sebagai tempat keluarnua api juga beli d itoko. Setelah itu ia merakit sendiri kompor dari bahan besi baja.

“Kami membeli besi baja di toko besi, lalu dipotong-potong dan dilas. Sumbu (tempat keluarnya api), paralon, dan selang kami beli di toko,” kata Pino.

Menurut Pino, satu kompor biogas hanya butuh kotoran dari dua ekor sapi. Dulu waktu belum memiliki kompor biogas, Pino hanya membiarkan kotoran sapi itu sampai mengering. Setelah kotoran itu kering baru dimanfaatkan untuk memupuk tanaman atau dijual. Kini, kotoran sapi yang masih basah ditampung di bak penampungan. Bak penampungan kotoran sapi itu kemudian dihubungkan dengan sebuah paralon dan kantong plastik ukuran 5.000 liter.

“Kotoran sapi harus dicampur dengan air yang sudah dicampur air dengan ukuran satu banding satu. Kotoran  itulah yang diubah menjadi gas. Gas itu dialirkan pada reactor sederhana terbuat dari plastik. Dari plastik reaktor itu gas kemudian disalurkan dengan selang ke kompor untuk memasak,” kata Pino.

Tak hanya Pino dan puluhan penduduk Moroseneng yang sudah memanfaatkan kotoran sapi menjadi biogas untuk memasak. Ratusan warga di Lampung Timur, Lampung Selatan, dan Kabupaten Tulangbawang  di Provinsi Lampung juga sudah memanfaatkan teknologi sederhana itu. Teknologi sederhana pengelohan limbah ternak sapi menjadi biogas juga dilakukan para penduduk di desa di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sumatera Barat.

Di Indonesia, teknologi sederhana ini pertama ditemukan oleh Andrias Wiji Setio Pamuji, saat masih mahasiswa  duduk di bangku tingkat tiga jurusan Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 2000 lalu. Setelah menguji hasil percobaan dan memodifikasinya, pembuatan reactor sederhana untuk mengolah kotoran sapi menjadi biogas.

Gas yang dihasilkan oleh reaktor biogas berbahan kotoran sapi belum bisa dikemas dalam tabung karena gas dari kotoran sapi adalah jenis metana (CH4). Gas yang dikemas dalam tabung merupakan gas yang bisa dicairkan, yang berasal dari jenis butana (C4 H10) dan pentana (C5H12).

“Dengan memiliki biogas yang diolah sendiri, sekarang saya bisa menghemat Rp 120 ribu/bulan karena tidak perlu membeli minyak tanah lagi. Keuntungan lainnya, rumah saya menjadi lebih bersih. Tembok dapur tidak hitam karena terkena asap kompor,” kata Darti, istri Pino.