Heboh Kewarganegaraan Ganda Arcandra Tahar

Arcandra Tahar (ilustrasi/detk.com)
Bagikan/Suka/Tweet:

Made Supriatma

Dr. Arcandra Tahar: Kontroversi ini tampaknya akan berlanjut. Sedari kemarin, sudah tampak ada usaha yang agak terorganisir untuk membela soal kewarganegaraan Dr. Arcandra Tahar. Bahkan orang sekaliber Jendral AM Hendropriyono, mantan Ka BIN, ikut turun gelanggang. Jendral Luhut Binsar Panjaitan bahkan berjanji akan membolduzer mereka yang ‘mengganggu kerja Menteri ESDM.’

Semakin saya dalami persoalannya, makin jelas bagi saya bahwa soalnya semata bukan dwi-kewarganegaraan (dual citizenship). Ini soal gampang diselesaikan. Ada banyak preseden dalam politik Indonesia soal kewarganegaraan ini. Bukankah Presiden Habibie pernah dipertanyakan apakah dia memegang kewarganegaraan Jerman? Bagaimana dengan Jendral Prabowo Subianto, mantan capres, yang mendapat kewarganegaraan Yordania?

Tukang-tukang plintir sudah berusaha sekuat mungkin menyajikan yang paling masuk akal dalam hal kewarganegaraan. Digambarkan seoalh-olah Dr. Tahar diberikan kewarganegaraan oleh Amerika Serikat. Ada yang menghubungkan karena kepintarannya. Jendral Hendropriyono mengecam orang yang mempersoalkan Dr. Tahar karena itu berarti membiarkan terjadinya ‘brain-drain’ dari Indonesia ke luar negeri.

Soal seperti ini gampang untuk dibantah. Untuk yang pertama, Anda harus melamar untuk menjadi WN Amerika Serikat. Harus mengisi formulir yang pertanyaanya seabrek itu (Form N-400); kemudian akan ada security check dari Department of Homeland Security; selanjutnya interview, ujian, dan barulah disumpah (pledge of allegiance) untuk dinaturalisasi menjadi WN AS.

Tidak ada ada istilah pemerintah Amerika memberikan kewarganegaraan kepada orang asing. Kecuali Anda bekerja untuk CIA dan kemudian ketahuan yang akibatnya membahayakan jiwa dan keselamatan Anda. Kalau ini soalnya, Anda akan ditaruh dalam ‘protection program,’ diberikan kewarganegaraan, identitas baru, dan tinggal di wilayah baru. Pendeknya, Anda jadi orang baru sama sekali.

Soal ‘brain-drain.’ Ini yang unik. Indonesia itu termasuk negara dengan tingkat brain-drain yang teramat rendah. Dengan kata lain, orang Indonesia setelah selesai belajar di luar negeri, cenderung untuk pulang. Orang Indonesia itu sangat nasionalis.
Soal yang lebih penting adalah siapa Dr. Arcandra Tahar? Mengapa dia sampai pada posisi yang sekarang ini?

Saya punya pengalaman untuk melakukan sedikit investigasi. Di Amerika Serikat, tempat saya menumpang ini, melakukan investigasi tidak terlalu sulit. Sebagian informasi ada di internet. Seperti ketika saya menulis laporan tentang menantunya Jendral Hendropriyono. Dia hidup cukup lama di Amerika. Saya mendapatkan bukti-bukti yang valid tentang properti yan dia miliki, termasuk pajak, lokasi, taksiran nilai, dan lain sebagainya. Hasilnya, kita tahu bahwa dia memiliki tiga buah rumah yang dalam taksiran pajak negara bagian Maryland masing-masing nilainya jutaan dollar.

Juga menghubungi sumber tidak telalu sulit. Saya gampang sekali menelpon universitas tempat dia belajar. Ketika menginvestigasi kegiatan lobi-lobi politik, saya juga gampang sekali menelpon para Senator atau anggota Congress (DPR). Tentu yang melayani adalah staf-nya.

Demikian juga dengan Dr. Arcandra Tahar. Kita tahu, dia mendapatkan doktoratnya di Universitas Texas A&M. Keahliannya adalah ‘ocean engineering’. Tidak heran kemudian dia bergerak di bidang ‘off-shore drilling’ (pemboran lepas pantai). Universitas ini jugalah tempat belajar dari satu ahli perminyakan yang menjadi orang di lingkaran Presiden Joko Widodo, yaitu Dr. Darmawan Prasojo. Saya tidak tahu apakah mereka saling mengenal. Dugaan saya, iya. Komunitas Indonesia itu kecil sekali di Amerika ini.

Saya kemudian melongok pada perusahan yang kerap dikutip, yakni Petroneering LLC. Perusahan ini terdaftar di Texas Secretary of State atas nama Arcandra Tahar. Ini rupanya perusahan konsultan. Tidak begitu besar. Kantornya terletak di sebuah industrial park di Houston. Dari Google Map (silahkan Google sendiri), akan tampak kantor itu ada di jajaran kantor-kantor lain. Ini perusahan skala kecil. Saya tidak tahu berapa jumlah karyawannya. Saya duga juga tidak banyak. Itulah sebabnya, ketika nama Dr. Arcandra Tahar saya masukkan ke Bloomberg atau Forbes, namanya tidak muncul karena memang dia tidak mengelola perusahan besar.

Dia mendirikan Petroneering pada tahun 2012. Ini persis tahun yang sama dengan (kabarnya) dia menjadi warga negara Amerika. Saya sangat bisa memaklumi ini. Menjadi warga negara AS sangat penting kalau orang punya bisnis di negeri ini. Apalagi bisnis konsultan perminyakan. Banyak pekerjaan yang menyangkut ‘strategic interests of the Unitest State’ sehingga menuntut ‘security clearance.’ Jadi, kewarganegaraan membuat lebih mudah mendapatkan clearance tersebut.

Dari penelusuran ini, saya mendapati bahwa Dr. Tahar menjalani hidup yang sederhana (decent). Tipikal kebanyakan orang kelas menengah Amerika. Dia punya sebuah rumah berlokasi di suburb kota Houston. Ruamh dengan tiga kamar dengan halaman yang tertata rapi. Persis seperti rata-rata rumah di suburban Amerika. Bukan tipe rumah mewah yang dimiliki seorang jendral yang pernah saya investigasi. Dia hidup tidak mencolok.

Kontroversi ini membuat saya menaruh kasihan kepada Dr. Tahar. Pertanyaan: mengapa dia sampai pada posisi yang sekarang ini? Saya tidak bisa menjawabnya. Saya tidak ragukan keahliannya dalam bidang perminyakan, khususnya dalam bidak teknik. Saya melihat dia (bersama beberapa orang – kemungkinan guru atau koleganya di universitas atau perusahan tempatnya bekerja) memang mempatenkan beberapa penemuan. Namun, di Amerika ini paten itu sangat umum. Anda bisa mempatenkan tatakan setrika yang sekaligus bisa membersihkan setrika, misalnya. Tidak ada yang istimewa dalam hal ini.

Namun, apakah dia memiliki kualifikasi melakukan kebijakan energy? Apakah dia memiliki kualifikasi untuk membuat kebijakan pertambangan?

Saya hanya bisa menduga-duga. Saya kira ada ‘pemain’ yang dengan kapital politik yang kuat yang menaruh dia di posisi ini. Kalau ini benar, maka kasihan sekali Dr. Tahar harus menjadi pusat dari pertarungan politik di sekitar presiden Jokowi. Dilihat dari manuver-manuver politik yang dilakukan di sekitar presiden, jelas sekali tampak pertarungan itu. Dr. Tahar akhirnya hanya menjadi ‘a minnow trapped in big waves.” Itulah politik.

* Peneliti dan pengamat politik, sedang menyelesaikan program doktor di Amerika Serikat