Kisah Lain: Cerita tentang Akil Mochtar (6)

Akil Mochtar
Bagikan/Suka/Tweet:

Muhlis Suhaeri*

Pada Oktober 1998, Musyawarah Daerah (Musda) Partai Golkar digelar. Gusti Syamsumin terpilih sebagai ketua DPD Partai Golkar. Akil duduk sebagai wakil ketua. Pilihan terhadap Akil, tak lepas dari prestasi yang diraihnya dalam organisasi maupun pengacara. Akil Mochtar dikenal masyarakat. Itulah pertimbangan Partai Golkar menempatkan Akil di deretan pengurus harian.

Dalam wawancara yang pernah dilakukan dengan Lutfi Ali, anggota DPRD Kalbar, ada beberapa karakteristik Akil. Pertama, orangnya terbuka pada perbedaan pendapat. Kedua, Akil cukup gigih memperjuangkan keinginannya. Ketiga, Akil cukup kreatif dalam menggalang dan merangkul orang. Lutfi Ali.

“Dalam masalah pribadi, Akil juga loyal dalam berteman dan cukup solid. Dia tidak segan-segan dalam membantu teman. Rasa hormatnya dengan senior juga cukup tinggi. Walaupun kami sama-sama pengurus dan wakil, tapi dia bisa menempatkan diri bila berhadapan dengan seniornya,” kata Lutfi. Kini, Lutfi Ali sudah meninggal.

Sebagai orang baru, Akil mesti menyesuaikan diri. Pada rapat pertama di DPD Partai Golkar, dia melontarkan ide. Bagaimana menuju Partai Golkar yang reformis.

“Sebagai partai yang reformis, Golkar semestinya tidak lagi berpijak pada azaz senioritas dalam menentukan pemimpin, namun harus melihat aspek prestasi, kemampuan, dan profesionalisme. Jika azaz senioritas tetap dipertahankan, seperti budaya Golkar selama ini, maka akan timbul benturan-benturan nilai. Karena era dan masanya sudah tidak pas lagi,” ujar Akil.

Menurut Akil, hal pertama yang mesti dilakukan adalah mereformasi dari segi struktur. Struktur Golkar pada masa lalu membuat buruk citra Golkar. Struktur Golkar merupakan struktur penguasa. Karenanya, harus berubah. Keputusan tidak bisa lagi diintervensi dari luar struktur. Golkar harus menjadi partai mandiri. Karenanya, harus diikuti dengan proses pengkaderan yang baik.

Awalnya sejumlah tokoh Golkar mengalami kesulitan beradaptasi dengan Akil. Begitu juga sebaliknya. Ini lantaran perbedaan pendekatan dalam menghadapi suatu masalah atau pengambilan keputusan politik. Melakukan perubahan suatu sistem, termasuk di tubuh Golkar, tidak semudah yang dibayangkan. Untuk menerima pola reformasi diperlukan penyesuaian secara bertahap, tidak bisa secara cepat dan gradual seperti diharapkan kelompok-kelompok reformis.

“Memang dalam beberapa rapat kita pernah berbeda pandangan. Dan kita memang melihat Akil sangat demokratislah. Dia kalau menyampaikan pandangan memang berdasarkan prinsip. Tapi kalau dia merasa pendapatnya tidak mendapatkan dukungan, Akil akan berjiwa besar untuk menerimanya,” ujar Zulfadhli dalam suatu wawancara.

Meski termasuk orang baru dalam politik, Akil langsung diserahi tugas berat. Ia mewakili DPD Golkar dalam Panitia Pemilihan Daerah (PPD), cikal bakal KPU. PPD dibentuk sebagai pelaksana Pemilu di daerah. Anggotanya dari partai peserta Pemilu.

Pada Pemilu 1999 diikuti 48 partai. Sebagai satu-satunya wakil Golkar di PPD, Akil harus tahan banting. Butuh keberanian masuk di dalamnya, karena hampir semua partai menghujat dan berusaha menjegal Golkar. Akil harus berusaha menetralisir stigma yang terlanjur melekat. Golkar harus tetap bisa eksis menghadapi berbagai hujatan di PPD. Untungnya, sebagian besar anggota PPD anak muda seperti dia. Banyak juga teman yang kenal sudah lama, walaupun beda partai. Ini mempermudah kerja Akil.

“Pertimbangan pemilihan Akil untuk duduk di PPD karena Akil orang yang tepat untuk itu. Alasannya, Akil orang yang berani. Biasa berbeda pendapat dan berargumentasi,” ujar Lutfi Ali.
Pada tahun itu juga, Akil diserahi tugas sebagai wakil ketua Badan pemenangan Pemilu (Bapillu) Golkar, mendampingi Lutfi Ali sebagai ketua. Badan ini dibentuk Golkar menjelang Pemilu yang tugasnya memenangkan Partai Golkar. Melalui Bapillu segala aktivitas kampanye dan hal berkaitan dengan Pemilu digosok dan dikoordinasikan di antara anggota.

Selain itu, penggalangan massa dan mencari simpati menjadi tugas pokok badan ini. Lewat Bappilu, Akil bergerak dan menghimpun kekuatan-kekuatan di daerah.

Akil menjadi koordinator daerah (Korda) Kapuas Hulu. Tugas Korda lebih pada koordinasi partai di wilayah setempat, tetapi yang punya otoritas tetap kabupaten. Dari situlah dia menjalin simpul-simpul koordinasi dan komunikasi. Di waktu-waktu tertentu dia akan turun untuk berkoordinasi dengan kader Golkar di kecamatan, desa. Perkembangannya dirapatkan, baik menyangkut evaluasi, perkembangan politik regional, program, dan pelatihan.

“Bagi Akil, jarak tidak menjadi hambatan. Akibat jarak kan biaya. Tapi dia tidak pedulikan. Soal uang, biar gaji abislah kasarnya, asal tanggung jawab bisa jalan,” ujar Awang, rekan Akil yang menjabat Korda bidang Ekonomi dan Koperasi untuk Kapuas Hulu.

Di daerah pemilihan Kapuas Hulu pula Akil terdaftar sebagai calon anggota legislatif nomor urut pertama. Semula, Akil memang akan diplot di daerah pemilihan itu. Tapi Syamsumin tidak mengizinkan karena bisa bentrok dengan Yakobus Layang. Yakobus adalah bupati Kapuas Hulu, dari Partai Bhinneka Tunggal Ika (PBI) waktu Pemilu itu, dan sering dikritik keras oleh Akil.

Akil lalu mendapat daerah binaan di Sanggau. Sebulan sebelum Pemilu, Akil pindah ke daerah pemilihan Kapuas Hulu. Donatus Zaman-lah, ketua DPD Golkar, yang menyarankan Akil pindah ke Kapuas Hulu. Alasannya, Arsen mau bertarung lagi di sana, dan dia adalah orang Sanggau. Arsen Rikson waktu itu bukan pengurus DPD I. Akil mengalah. Padahal jumlah pemilih Sanggau lebih banyak ketimbang Kapuas Hulu, sekitar 600 ribu.

Hari-H pencoblosan dilaksanakan tepat waktu, yakni 7 Juni 1999. Tidak seperti dikhawatirkan banyak pihak, Pemilu berjalan damai dan lancar. Hasil final perolehan suara diumumkan oleh KPU pada 26 Juli 1999. PDI-P berhasil memenangi Pemilu 1999 dengan 35.689.073 suara. Diikuti Golkar, PKB, PPP, dan PAN, PBB, dan PK. Dari 48 partai yang ikut dalam Pemilu 1999, hanya 21 partai yang dapat menempatkan wakilnya di legislatif, sedangkan 27 partai lainnya tidak memperoleh kursi.

Kemenangan Partai Golkar ini mengagetkan banyak pengamat. Tapi toh harus diakui bahwa Golkar masih kekuatan yang harus diperhitungkan. Golkar punya sumber daya manusia yang memadai dan berkualitas. Golkar juga punya jaringan yang sudah tertata dan rapi sampai ke bawah. Dan tak kalah penting, Golkar sudah berpengalaman dalam Pemilu.

Akil dinilai mampu menjalankan tugasnya dengan baik. Hasil Pemilu 1999 menggembirakan Partai Golkar Kalbar. Di Kalbar, Partai Golkar berada di urutan pertama, memang di tujuh dari sembilan kabupaten, yakni Kapuas Hulu, Sintang, Sanggau, Ketapang, Sambas, dan kabupaten Pontianak, satunya apa ya. Di Bengkayang dan kota Pontianak Golkar kalah. Arsen menang di daerah pemilihannya, dan berhak duduk di DPR RI mewakili Sanggau. Husni Thamrin menang Ketapang. Jimmi Ibrahim menang di kabupaten Pontianak. Akil menang di Kapuas Hulu. Masing-maisng duduk di nomor urut pertama di daerah pemilihan.

Di sinilah persoalan timbul: siapa yang menjadi anggota DPR RI, sementara berdasarkan akumulasi suara Golkar Kalbar hanya menempatkan tiga kursi di DPR RI?

Tujuh calon DPR yang menang di daerah pemilihan masing-masing punya hak yang sama. Timbullah friksi. Sebagai wakil Golkar di PPD, Akil menerima keberatan masing-masing calon di DPD I. Kepada mereka Akil mengatakan bahwa, “Yang menentukan (DPP) di Jakarta.”
“Saya menjadi anggota DPR ini, bukan sekadar untuk menjadi anggota DPR. Tapi tujuan lain saya adalah untuk juga mencapai S2,” ujar Akil kepada Lutfi Ali.

Dari sinilah, Lutfi melihat Akil punya konsen yang tinggi dalam masalah intelektualitas. Tidak hanya mengejar karier politik tapi juga mengejar karier keilmuan. “Dari aspek itu, Akil selain seorang politisi juga seorang cendekiawan,” ujar Lutfi Ali.***

*Tulisan ini sudah pernah dimuat di http://muhlissuhaeri.blogspot.com. Diterbitkan atas persetujuan penulisnya.

** Muhlis Suhaeri adalah jurnalis kelahiran Jepara, Jawa Tengah. Saat ini tinggal di Pontianak, Kalimantan Barat. Aktif di AJI Pontianak. Sering menjadi pemenang lomba menulis tingkat nasional.