Mat Bangor Mabuk Kabar

Bagikan/Suka/Tweet:

“Kita masih akan terus bertengkar siapa yang paling super, yang punya kawan paling banyak, yang paling pilihan di antara manusia pilihan Sang Pencipta? Wahai, kamu masih akan terus menghunus pedang, mengumbar jumawa dan amarah, terus merasa paling mulia di antara manusia lain? 

… kita hanya setitik debu, wahai Tuan dan Puan yang mulia. Kita hanyalah calon mayat yang sedang mengantre dan menunggu waktu untuk dijemput maut….”

Antara tidur dan jaga, kata -kata itu merancap nyaring di telinga Mat Bangor. Lalu lesak ke hati hanya beberapa detik sebelum Mat Bangor benar-benar tertidur pulas setelah hampir seminggu tidak bisa tidur.

Hampir sebulan terakhir ini Mat Bangor dilanda amarah. Ia pun berhasil mengumbar amarah sembari meneriakkan aneka nama binatang penghuni kebun binatang, karena dipicu manusia beda keyakinan yang menistakan agamanya. Perasaannya sangat sensitif. Ia akan sangat marah jika ada kawannya di dunia maya menyinggung keyakinannya. Ia sudah yakin pada pilihannya dan itu pasti benar. Pilihannya pasti dipandu oleh Sang Khalik yang sangat mencintainya.

Makanya, darah Mat Bangor menggelegak. Ubun-ubunnya mendadak terasa hendak copot. Ia merasa nyalinya sebagai petarung terhina dina oleh manusia yang mulutnya tidak pernah disekolahkan.

Dari aneka kabar yang berseliweran di linimasa akun medsosnya, dari cerita kawan, obrolan para tetangga, ngerumpi di warung kopi , dan tanya kini-kanan sama para senior — yakinlah Mat Bangor bahwa manusia yang mulutnya bau sampah itu musuh agamanya.

Begitulah Mat Bangor. Dengan keterbatasan penalaran dan pengetahuan agama, akhirnya limbung oleh riuh informasi dari aneka sumber. Termasuk informasi yang sengaja diciptakan dengan aroma busuk nanah atau wangi kesturi. Informasi sampah yang diyakini sebagai kebenaran hakiki. Kebenaran yang mahabenar dan tak terbantahkan.

Kenapa satu mulut yang tidak disekolahkan bisa menggerakkan banyak orang termasuk dirinya untuk marah bersama-sama? Mat Bangor tiba-tiba tergoda dengan pertanyaan itu. Ia ingin sekali menjawab pertanyaan itu.

Niat itu tiba-tiba datang setelah menyadari kemarahan dirinya terhadap manusia yang mulutnya tidak disekolahkan itu lama-lama jadi terasa aneh. Ia merasa aneh karena selama ini mulutnya juga tidak pernah disekolahkan. Ia akan mudah memaki orang lain, mengejek agama dan kitab suci orang beda keyakinan di mana saja tapi tetap aman-aman saja.

“Ah, mungkin aku orang biasa. Aku bukan calon lurah atau calon walikota,” suara hati kecil  Bangor sedikit menenteramkan.

Mat Bangor berusaha membolak-balik lagi buku lawas tentang bahasa Indonesia, membuka kamus, mencari informasi aneka ayat suci. Ia tak menemukan jawabannya. Ia pun frustrasi dan malu. Frustrasi, karena mencari jawaban pertanyaan saja tak bisa. Ia pun malu untuk bertanya kanan-kiri karena khawatir orang-orang akan mencapnya sebagai manusia tidak beriman dan mendukung manusia yang mulutnya tidak disekolahkan itu.

Bangor makin sulit tidur dan kurang nafsu makan…

Oyos Saroso H.N.