NasDem Lampung Desak Pemerintah Hentikan Impor Singkong

Wahrul Fauzi Silalahi
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Anjloknya harga singkong hingga Rp 600 per kilogram membuat banyak pihak prihatin. Bagi Provinsi Lampung yang memiliki banyak pabrik tapioka (dan konon pabrik etanol), remuknya harga singkong tentu saja ironis. Itulah sebabnya, pemerintah didesak untuk segera turun tangan agar nasib petani singkong tidak makin terpuruk.

“Pemerintah harus melindungi petani. Fakta di lapangan, saat ini harga singkong di beberapa kabupaten di Lampung di  kisaran Rp 400-680/kg dengan potongan antara 10 dan 20 persen. Padahal, sebelumnya harga singkong masih bertahan pada kisaran Rp900-Rp.1000/kg,” kata Ketua Badan Advokasi Hukum Partai Nasdem Lampung Wahrul Fauzi Silalahi, Kamis (15/9/2016).

Lampung adalah produsen singkong dengan produksi rata-rata 279.000 ton/tahun atau 13,2 persen dari produksi nasional. Anjloknya harga singkong menyebabkan para petani singkong di Lampung paling ke dampaknya.

“Makanya, pemerintah harus cepat mengambil langkah kongrit terkait persoalan harga singkong ini. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan, sebab banyak di antara petani itu yang berjibaku merombak kebunnya menjadi kebun singkong. Artinya, singkong mereka jadikan sandaran hidupnya,” kata Wahrul.

Selain mendesak pemerintah pusat, Pemerintah Provinsi, dan Kabupaten di Provinsi Lampung menghentikan impor singkong, Wahrul juga mendesak agar pemerintah menutup pabrik tapioka yang terbukti menimbun singkong.

“Yang tak kalah penting, pemerintah harus menerbitkan payung hukum untuk melindungi petani singkong dan  turun ke lapangan untuk menginvestigasi pabrik-pabrik tapioka dan jaringan mafia pasar yang melakukan permainan harga singkong,” katanya.

Selain itu, kata Wahrul, Pemprov dan Pemkab harus membuat kebijakan terkait stabilitas, pengaturan sistem produksi, dan distribusi harga hasil pertanian di Lampung. Khususnya hasil petani singkong.

“Ini agar petani singkong mendapatkan keadilan harga pasar serta dapat menghentikan peran para mafia pasar/tengkulak,” katanya.

Terkait petani, Wahrul mengimbau agar para petani singkong melakukan  revolusi perilaku. Artinya, petani singkong janganlah melulu menjual singkong apa adanya, tetapi mampu mengubah singkong menjadi bahan olahan yang bernilai ekonomis lebih tinggi.

“Kami juga mendorong kemandirian petani sehingga mereka mampu memproduksi singkong berkualitas secara lebih efisien. Petani harus bisa  mengolah lagi singkong dan tidak melulu hanya mampu menjual singkong mentah seperti sebelumnya,” kata mantan Direktur LBH Bandarlampung itu.

“Kami juga mengimbau Polda Lampung melakukan investigasi untuk menemukan para pelaku penimbunan singkong dan mafia yang mempermainkan harga singkong,” imbuh Wahrul.