Siapa yang Gila?

Bagikan/Suka/Tweet:

Nusa Putra

Gila bisa mengacu pada banyak hal. Nabi Muhammad SAW pada zamannya dituduh gila oleh penduduk Mekkah. Sebab ia menyampaikan wahyu dari Allah yang pada waktu itu sama sekali dianggap tidak masuk akal. Salah satunya adalah pernyataan bahwa gunung-gunung itu bergerak. Penduduk Mekkah secara kasat mata melihat bahwa gunung itu tetap pada tempatnya sejak dahulu kala. Karena itu pernyataan bahwa gunung itu bergerak dirasakan sebagai pernyataan yang tidak masuk akal. Hanya bisa muncul dari mulut orang gila.

Penduduk Mekkah pada waktu itu belum tahu bahwa bumi tempat mereka berpijak itu bergerak, konsekuensinya gunung yang terdapat di permukaan bumi itu juga ikut bergerak. Dibutuhkan waktu yang panjang dan pengetahuan yang mendalam untuk memahami kenyataan itu. Paling tidak, sampai abad pertengahan di Eropa pun masih banyak yang percaya bahwa bumi itu datar, bukan bulat dan menetap atau tidak bergerak.

Columbus dianggap dan disebut gila karena akan melakukan perjalanan dengan rute dan cara baru. Columbus hendak membuktikan bahwa bumi itu bulat. Saat itu apa yang dikatakan dan direncanakan Columbus dirasakan sebagai ungkapan orang gila. Columbus disebut gila karena pemikirannya yang revolusioner. Tak ada orang yang berfikir seperti dia saat itu.

Gila bisa bermakna sesuatu yang tidak biasa, di luar kenormalan, tidak masuk akal, tidak dimengerti, dan aneh. Gila juga bisa merujuk pada sesuatu yang luar biasa, pencapaian yang spektakuler, kepeloporan yang penuh keberanian. Itulah sebabnya para penemu, ilmuwan besar dan revolusioner seperti Newton dan Enstein biasa disebut gila justru karena kehebatannya yang luar biasa. Keberhasilan manusia mendarat di bulan, juga sering disebut sebagai gila. Dengan makna pencapaian yang revolusioner, dan pada mulanya dianggap tidak mungkin.

Gila dan kegilaan tentu saja paling banyak digunakan dalam psikologi dan psikiatri. Gila dan kegilaan merujuk pada sakit jiwa. Kondisi yang menunjukkan bahwa penderitanya tidak normal, sakit, dan mengalami gangguan jiwa. Terdapat sangat banyak jenis gangguan jiwa. Mulai dari yang ringan sampai yang sangat berat.

Michel Foucault filsuf Perancis yang menulis disertasi tentang Sejarah Kegilaan menunjukkan bahwa kegilaan selama abad-abad yang panjang dinyatakan sebagai lawan dari rasionalitas. Masyarakat yang merasa diri rasional sampai membuatkan tempat tersendiri yang terpisah dan regulasi khusus bagi orang gila untuk menegaskan bahwa orang gila bukan merupakan bagian dari individu dan masyarakat yang rasional. Cara ini dibuat bukan sekadar untuk membedakan kegilaan dan kewarasan, tetapi untuk secara tegas memisahkannya.

Mungkin pada tingkat atau taraf tertentu kegilaan dan kewarasan bisa dibedakan atau dipisahkan. Namun, harus diakui dalam kenyataan hidup keseharian tampaknya pembedaan dan pemisahan itu tidaklah selalu mudah.

Bukankah dalam diri sendiri, kita semua pernah merasakan keinginan-keinginan dan fikiran-fikiran gila merasuki kita. Telaah kembali sejarah bidup kita, boleh jadi kita menjadi seperti sekarang ini karena dulu kita nekat mengambil keputusan yang tergolong gila. Paling tidak dianggap gila oleh orang tua, saudara atau teman-teman. Karena itu tidak pernah mudah dengan tegas menyaatakan, siapa yang gila, siapa yang waras.

Ini sekelumit kisah tentang kegilaan. Lelaki berusia sekitar lima puluh lima tahun ini memiliki banyak nama panggilan, Pak De, Pak Pol dan Om Pol. Ia dipanggil Pak De karena ia memanggil dirinya Pak De jika berbicara dengan para anak muda yang suka ditraktirnya ngopi di banyak warung. Panggilan Pak Pol dan Om Pol terkait dengan fakta bahwa ia sebenarnya seorang polisi. Namun karena kondisi kejiwaannya dianggap tidak lagi normal, ia dibebastugaskan.

Mungkin karena kondisi itu, istrinya pun pergi. Entah kemana. Ia lebih sering sendiri di rumah yang tergolong besar. Sesekali anaknya muncul. Bila kewarasan sedang bersamanya, ia mengajak sejumlah remaja membantunya membuat tempat duduk atau kursi dari batu bata dan semen. Ia sendiri yang membeli semua bahan dengan uangnya sendiri.

Ia juga rajin memperbaiki jalan atau tempat sampah yang rusak. Ia tak segan membersihkan selokan sendirian. Kadang ia membayar orang untuk membersihkan selokan. Ia berdiri memberi komando. Biasanya mengenakan celana dan topi tentara. Ia sama sekali tak pernah menggunakan seragam atau atribut-atribut polisi.

Suatu kali ia bikin heboh. Saat shalat subuh, para jemaah heboh. Karena warna dinding masjid sudah berubah dengan warna yang kurang bagus untuk dinding masjid, karena sangat mencolok warnanya, sangat crong. Rupanya, sepanjang malam Pak De telah mencat dinding masjid. Tentu tanpa berbicara dengan pengurus masjid. Kejadian ini telah memicu kemarahan sejumlah orang yang selama ini sudah sangat merasa terganggu oleh tingkah polah si Pak De. Untunglah dengan cara persuasi persoalan ini bisa diselesaikan.

Pak De penggemar musik. Ia sering memutar lagu-lagu rock dari Deep Purple dan Rolling Stones. Juga lagu-lagu blues dari Gary Moore terutama lagu berjudul Still Got the Blues yang sangat terkenal itu. Ia sangat menyukai Come Away Melinda (Uriah Heep) dan  Stairway To Heaven (Led Zeppelin).

Semua lagu yang didengarkannya tergolong lagu-lagu favorit dan legenda, pastilah lagu-lagu bagus. Tetapi menjadi terasa sangat mengganggu karena ia mengeraskan suara lagu itu sekeras-kerasnya, saat orang shalat maghrib berjamaah di masjid yang terletak tepat di depan rumahnya. Wajar jika ada yang sangat marah, geram dan benci padanya.

Ada satu tindakan si Pak De yang membuat banyak orang marah. Ia senang mencoret-coret dinding. Tak peduli dinding rumah siapa, dinding toko, dan sekolah. Ia menuliskan makian. Ia memaki komunis, neokolim, VOC, penjajah Jepang, kapitalisme, dan Jahudi. Ia memuji Jenderal Soedirman, Pangeran Jayakarta, Pangeran Diponegoro dan sejumlah pahlawan lain. Ia tidak bisa melihat tembok atau dinding yang kosong, pasti dipenuhinya dengan tulisan.

Suatu kali Pak RW yang merupakan anggota aktif Angkatan Darat sangat marah karena dinding rumahnya dicoreti berisi sejumlah makian yang memang keterlaluan. Kejadian ini memancing kemarahan banyak orang. Sebab isinya sungguh makian yang sangat kotor. Untuk pertama kali Pak De ditegur dan diperingatkan. Susah memang, menasehati dan mengingatkan orang yang sudah divonis gila. Jika sudah begini nyembul pertanyaan, siapa yang waras, siapa yang gila?

Tampaknya tindakan menegur Pak De efektif. Untuk waktu yang cukup lama tidak terlihat ada coretan di tembok manapun. Bahkan Pak De tidak pernah kelihatan muncul. Entah kemana dia pergi. Kini shalat maghrib berjamaah juga menjadi lebih asyik karena tidak bersaing dengan lagu rock dan blues.

Tidak berapa lama setelah ketenangan ini muncul kehebohan baru. Di kompleks tempat kami tinggal berdiri SMP Negeri. Pihak sekolah akan membangun fasilitas laboratorium di tanah kosong, tepat di bawah aliran listrik tegangan tinggi. Sejumlah orang tua murid menolak rencana itu. Begitupun beberapa orang yang tinggal di kompleks. Sebab ada larangan mendirikan bangunan di bawah tegangan tinggi. Bisa membahayakan manusia.

Kami tidak tahu apa latar belakang dan motivasinya, pihak sekolah tetap ngotot mendirikan bangunan, tepat di bawah tegangan tinggi. Semua masukan dan kritik sama sekali diabaikan oleh pihak sekolah.

Di tengah kehebohan dan kontroversi itu, tiba-tiba terpasang plang dari kayu, tepat di dekat bangunan yang sedang dikerjakan. Ada tulisan dengan huruf besar, isinya: MENDIRIKAN BANGUNAN DI BAWAH TEGANGAN TINGGI MERUPAKAN PELANGGARAN HUKUM DAN MEMBAHAYAKAN MANUSIA.

Dari model huruf dan pilihan warna, bisa ditebak siapa yang membuat plang kayu dengan ukuran cukup besar itu. Pak De rupanya telah kembali dan beraksi kembali. Kini mencuat lagi pertanyaan, siapa yang gila, siapa yang waras?

Kisah Pak De menegaskan bahwa,

KEGILAAN ADALAH BAGIAN DARI KEMANUSIAAN KITA!

* Dr. Nusa Putra adalah dosen UNJ. Banyak menulis buku tentang pendidikan dan metodologi riset