Sobron Aidit, Hindun, dan “Bank Naskah Sobron” dari Lampung

Koleksi naskah kuno Lampung Perpustakaan Nasional RI, kode 101aNBRI24. (Foto: M. Arman AZ)
Bagikan/Suka/Tweet:

M. Arman AZ*

Koleksi naskah kuno Lampung Perpustakaan Nasional RI, kode 101aNBRI24. (Foto: M. Arman AZ)

Sobron Aidit; adik Dipa Nusantara Aidit, nama yang tak perlu lagi dikisahkan panjang lebar di sini. Mayoritas orang tahu kiprahnya dalam salah satu patahan sejarah negeri ini. Pekan kemarin, akhir September-awal Oktober, status FB riuh dengan serba-serbi G30S. Barangkali pula nama Aidit berkelebat dalam ingatan.

Beberapa bulan lalu, aku baca buku kumpulan cerpen Sobron Aidit, “Potret Diri dan Keluarga” (Ultimus, 2015). Kebetulan aku punya buku Sobron lainnya, seperti kumcer “Razia Agustus” dan buku non fiksi “Melawan dengan Restoran”, berisi memoar perjuangan Sobron dkk selama di negeri seberang. Satu sisi mereka berusaha bertahan di negeri orang dengan membuka restoran, di sisi lain hidup mereka terancam. Nama besar kakaknya, Aidit, tentu membawa dampak besar buat Sobron.

“Potret Diri dan Keluarga” berlatar memoar pribadi dan keluarga Sobron, potongan-potongan kisahnya dari kecil hingga uzur. Ada dua nama wanita yang turut saya ingat, salah satunya berkaitan dengan Lampung.

Pertama, Hindun namanya. Entah nama asli atau samaran. Dia teman masa kecil Sobron. Mereka sama-sama jualan kue, sama-sama mendaki pinggang bukit untuk memandang laut Belitung, lalu berpisah saat Sobron melanjutkan sekolah ke Batavia. Karena belum zaman e-mail, SMS, atawa FB, hanya surat-surat yang mempertemukan mereka. Hindun akhirnya menikah dengan teman Sobron. Mereka bertemu lagi tahun 2000an ketika Sobron untuk pertama kalinya pulang kampung ke Belitung.

 Naskah Lampung di bilah bambu koleksi Perpustakaan Nasional. Kode:  97/47-97E110. (Foto: M. Arman AZ)

Mereka sama-sama sudah tua dan punya cucu. Istri dan suami masing-masing telah mangkat. Bahhh, aku bayangkan bagaimana pertemuan mereka. Puluhan tahun terpisah, sudah punya keluarga masing-masing. Bagaimana pula perasaan Hindun terhadap “beban sejarah” yang dipikul Sobron. Kupikir, keren kali kalau kisah Sobron-Hindun berlatar Belitung ini difilmkan, jangan Laskar Pelangi saja.

Nama kedua, Nurul Utami. (Nah, ini Lampungnya).

Sobron menjulukinya sebagai “Bank Naskah Sobron” dari Lampung, karena Nurul mengoleksi tulisan-tulisan Sobron dari mailinglist. Nurul sendiri menamai dirinya “pengarsip tulisan Sobron Aidit”. Dia melakukannya karena bersimpati dengan Sobron dan keluarganya, juga kaum eksil korban Orba.

Lacak punya lacak, menghubungi penerbit dan editor, bertanya pada Mbak Google tanpa bawa sajen, ketemu titik terang. Mungkin saat ini Nurul Utami masih menjadi dosen ilmu kimia di Unila. Aku tak kenal dan belum pernah bersua dengan Nurul Utami. Mungkin kawan-kawan di Lampung ada yang kenal dengannya. Kupikir benarlah kata Mas Tejo, penyunting buku ini, kita patut berterima kasih kepada Nurul atas ketekunannya yang didorong oleh empati dan idealisme.

M. Arman AZ, Cerpenis, tinggal di Bandarlampung