Hukum  

34 Tahun Tragedi Talangsari, Korban Minta Pemerintah Bawa Kasusnya ke Pengadilan HAM

Edi Arsadad. Foto: dok/Istimewa
Bagikan/Suka/Tweet:

Zainal Asikin | Teraslampung.com

BANDARLAMPUNG—Penyelesaian nonyudisial yang digaungkan pemerintah kasus pelanggaran HAM Berat, dianggap mengesampingkan tanggung jawab hukum oleh negara terhadap korban sehingga tidak membuat para korban puas. Korban peristiwa 34 tahun Talangsari, meminta negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat itu dibawa ke pengadilan.

Ketua Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL), Edi Arsadad,  mengatakan janji Presiden yang katanya akan menyelesaikan kasus HAM berat dengan penyelesaian non-yudisial, sangatlah tidak adil bagi keluarga korban Talangsari.

“Pernyatan Presiden, belum apa-apa dibandingkan dengan penderitaan dialami para korban yang  imbasnya selama bertahun-tahun,”kata Edi dkepada teraslampung.com, Kamis (9/2/2023).

Menurut Edi, Presiden Jokowi yang mengeluarkan pernyataan dan sekaligus penyesalan terkait pelanggaran HAM berat masa lalu Talangsari hanyalah sebuah kemenangan kecil.

“Itu hanya kemenangan kecil yang tidak bisa kami rayakan, karena belum apa-apa jika dibandingkan dengan penderitaan dan perjuangan yang kami lakukan selama puluhan tahun lamanya,” katanya.

Janji pemerintah memberi rehabilitasi berupa uang, fasilitas untuk korban dan penyesalan, kata  penyintas atas peristiwa Talangsari, tentunya tidak sebanding dengan stigma yang diterima keluarga korban Talangsari lainnya atau yang dirasakan selama ini.

“Tidak semua bisa dinilai dengan materi. Diganti uang, saya rasa tidak ada harganya dan nilainya karena tak sebanding dengan stigma yang kami (korban) terima. Kami distigma sebagai gerakan pengacau, dianggap PKI, teroris, dan lainnya. Dan itu jelas sangat menyakitkan,”ujarnya.

Menurut Edi, kerugian nonmateril tersebut jauh lebih menyakitkan dibanding betapa ringannya pemerintah menyatakan hanya penyesalan atas peristiwa itu.

“Saat peristiwa Talangsari itu terjadi, saya masih usia belasan tahun dan sempat menjadi tahanan politik pasca peristiwa itu. Tidak bisa sekolah dan ditolak sana-sini, sekarang mau diganti dengan uang saya rasa tidak,”ungkapnya.

Ia berharap, pemerintah harus membuktikan secara nyata dalam menyelesaikan atau memberikan pemulihan kepada korban secara transparan dan bermartabat. Karena sampai saat ini pun, diskriminasi itu masih tetap ada terhadap kami para korban Talangsari.

“Presiden sudah ngomong, menyesalkan dan berjanji tidak mengulangi dimasa mendatang. Tapi apakah pejabat-pejabat yang ada dibawahnya mengikuti intruksi Presiden,”jelasnya.

Kemudian, pernyataan Presiden Jokowi tersebut, bisa menjadi pintu masuk Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melanjutkan penyidikan yang sudah direkomendasikan oleh Komnas HAM pada tahun 2008 lalu.

”Pengadilan HAM yang kita nantikan, supaya jelas agar ada ketok palu siapa pelaku dan korbannya. Jadi stigma itu hilang sama kami (korban) kedepan di pengadilan. Kesimpulan itu juga, kami sampaikan dalam diskusi publik peringatan 34 tahun peristiwa Talangsari bersama Kontras kemarin,”pungkasnya.

Sementara anggota divisi pemantauan impunitas Kontras, Jane Rosalina Rumpia menuturkan, penyelesaian non-yudisial, menunjukkan bahwa negara tidak berkomitmen untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu.

“Sebenarnya dan lebih utama, penyelesaiannya lewat jalur yudisial dalam pengadilan HAM,”kata Jane.

Dikatakannya, meski Presiden sudah mengakui dan menyesali peristiwa Talangsari sebagai pelanggaran HAM berat, hal itu tidak ada artinya jika tidak diberangi dengan akuntabilitas dan pertangungjawaban atas kasus tersebut.

Jika Presiden sungguh-sungguh dengan pidato pengakuannya, lanjut Jane, tentunya harus dibuktikan juga dengan aksi nyata negara untuk memberikan hak-hak korban dengan bermartabat.

“Padahal, berkas penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa pelanggaran Talangsari itu kan sudah selesai sejak tahun 2008 silam,”kata dia.

Diketahui, Presiden Joko Widodo menerima laporan dari Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Instana Negara, Rabu (11/1/2023).

Dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengakui terjadinya pelanggaran HAM berat dimasa lalu dan salah satunya adalah peristiwa Talangsari Lampung Timur.