5 Ironi Soal Virus Corona: Marahnya Warga Kelas Satu Hingga Hilangnya Empati

Ilustrasi virus corona, Covid-19 di Indonesia(Shutterstock)
Bagikan/Suka/Tweet:

TERASLAMPUNG.COM — Penyebaran virus corona atau Covid-19 di Indonesia makin menunjukkan perkembangan yang mengkhawatirkan. Penyebaran virus corona makin meluas, jumlah orang yang terinfeksi dan korban meninggal terus bertambah. Hingga Jumat (20/3/2020), pemerintah merilis ada 369 warga yang terinfeksi virus corona. Sebanyak 32 di antaranya meninggal dunia.

WHO sudah menetapkan virus corona sebagai pandemi atau wabah global, karena penyebarannya sudah meluas di banyak negara. Beberapa negara sudah melakukan isolasi penuh dari sebagian besar aktivitas warga di luar rumah atau lockdown. Italia, salah satu negara maju di Eropa, kini menjadi negara terparah akibat virus corona. Jumlah warga Italia yang meninggal sudah dalam kisaran 3.000-an orang. Jumlah itu lebih besar dibanding jumlah korban meninggal di China, tempat virus ini berawal.

Bagaimana nasib Indonesia beberapa minggu, bulan, atau tahun ke depan? Pemerintah sudah menerbitkan Protokol Kesehatan untuk menanggulangi virus corona. Hal itu diikuti oleh pemda tingkat provinsi, pemkab/pemkot, lembaga pemerintah, dan lembga swasta. Sayangnya, protokol kesehatan itu tidak disertai dengan sosialisasi yang masif di tingkat elite hingga masyarakat umum.

Disayangkan pula, langkah pemerintah itu tidak disertai dengan ketersedian alat pelindung diri (APD) bagi masyarakat dan tenaga medis. Masker, misalnya, langka di pasaran. Kalaupun ada di apotek, harganya sudah membubung tinggi. Ironisnya, sejumlah rumah sakit pun kekurangan APD. Padahal, tenaga medis adalah garda terdepan penanggulangan virus corona. Itulah sebabnya, kita bisa memaklumi mengapa seorang dokter di Sulawesi Selatan bisa marah besar karena APD di tempatnya bekerja sangat minim. Ia dan para petugas medis tentu tidak ingin bekerja demi kemanusiaan tetapi mati konyol.

Bersamaan dengan meruyaknya kepanikan masyarakat, kita disuguhi sejumlah fakta getir, aneh, lucu, ironis, dan terkadang menyedihkan atau memalukan.

Beberapa fakta itu antara lain:

1. Banyak elite di negeri ini yang belum paham protokol kesehatan terkait virus corona. Mereka tidak paham apa itu orang dalam pemantauan (ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), dan suspect. Fakta ini misalnya terlihat dari pernyataan Walikota Bandarlampung, Herman HN, yang memprotes keputusan Dinas Kesehatan Lampung terkait data ODP di Lampung. Herman HN menyebut Dinas Kesehatan Lampung berbohong terkait data ODP di data di Bandarlampung karena datanya sama dengan data jumlah warga Bandarlampung yang baru saja pulang ibadah umroh. BACA: Menguji “Kebohongan” Dinas Kesehatan Lampung Soal ODP Virus Corona

2. Masih ada elite yang tidak tahu siapa saja yang layak berstatus OPD dan PDP dan bagaimana sikapnya ketika dinyatakan masuk daftar OPD. Karena tidak paham apa itu OPD, maka ada elite di negeri ini masih merasa sebagai warga negara kelas satu yang seharusnya mendapatkan perlakuan berbeda dalam penanganan virus corona. Mereka marah ketika ditetapkan sebagai ODP. Padahal, siapa pun yang baru saja dari luar negeri atau dari daerah yang menjadi penyebaran virus corona otomatis masuk daftar ODP. Seharusnya mereka proaktif melapor atau cek kesehatan di rumah sakit agar masuk daftar ODP.

Fakta ini bisa kita saksikan dari video dan berita viral para anggota DPRD Kabupaten Blora, Jawa Tengah, yang marah-marah kepada pejabat Dinas Kesehatan karena ditetapkan berstatus ODP. Dinkes menetapkan mereka berstatus ODP karena baru pulang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). NTB termasuk daerah merah penyebaran virus corona.

Dari video yang beredar tampak jelas nada marah anggota Dewan itu. Mereka merasa sebagai warga negara kelas wahid. Penetapan status dan cara memperlakukan mereka seolah harus berbeda dengan cara Dinas Kesehatan menetapkan status ODP untuk para TKI.

Hal yang sama ditunjukkan oleh para anggota DPRD Pematangsiantar, Sumatera Utara, Kamis (18/3/2020), saat menggelar dengar pendapat dengan Dinas Kesehatan. Mereka ditetapkan berstatus ODP karena baru pulang dari Bali. Mereka protes dan menuding penetapan status ODP tidak adil, karena para pejabat eksekutif yang juga baru berkunjung ke daerah yang dicurigai sebagai daerah penyebaran virus corona tidak ditetapkan sebagai ODP.

3. Para pejabat mengimbau rakyat jangan panik, tetapi kepanikan justru terjadi. Para pejabat pemerintah dari level presiden, menteri, gubernur, hingga bupati-walikota menyampaikan imbauan kepada masyarakat agar tidak panik terkait dengan merebaknya virus corona di Indonesia.

Ironisnya, imbauan itu justru disambut dengan kepanikan. Kepanikan nyata adalah aksi borong aneka sembako (panic buying) oleh sebagian warga. Sejak beberapa minggu lalu, kalau kita perhatikan pemandangan di pusat-pusat perbelanjaan, panic buying itu nyata adanya. Masalahnya, yang bisa memborong sembako adalah kelompok masyarakat yang perekonomiannnya mampu atau kelas menengah.

4. Puluhan TKA asal China lenggang kangkung masuk ke Kendari, Sulawesi Tenggara. Ini fakta superlucu. Bukan hanya ironi, tetapi paradoks. Sebanyak 49 tenaga kerja asing asal China tiba di Bandara Haluoleo Kendari pada 15 Maret 2020. Setelah videonya viral di medsos, penyebar video dicokok polisi. Kapolda Sulawesi Tenggara membatah bahwa puluhan TKA China itu baru datang dari Negeri Tirai Bambu.

Menurutnya, mereka adalah TKA asal China yang baru saja mengurus dokumen di Kedubes di Jakarta. Belakangan Kantor Keigrasian membeberkarn fakta yang benar: 49 TKA itu adalah orang memang baru datang dari China. Artinya, mereka bukan TKA yang sebelumnya sudah berada di Sulawesi Tenggara.

Kedatangan puluhan TKA itu tentu saja menjadi paradoks, sebab terjadi justru saat pemerintah membatasi atau menutup kedatangan orang yang berasal dari negara sumber virus corona.

5. Hilangnya empati dan rasa kemanusiaan. Indonesia konon terkenal dengan penduduknya yang ramah, berbudaya luhur, religius, dan memiliki watak kegotongroyongan yang tinggi. Rasa kemanusiaan orang Indonesia konon juga tinggi. Faktanya, di tengah-tengah merebaknya pandemi virus corona banyak warganet yang seolah-olah telah kehilangan kemanusiaan. Hal itu terlihat dari status dan komentar yang bernada sadis. Ketika ada membaca berita Walikota Bogor positif terinfeksi virus corona, misalnya, bukannya pernyataan simpati yang muncul tetapi justru tulisan: “Kubur…” , “Baru tahu rasa….”

Masih ada warga Indonesia yang menganggap virus corona sebagai “bukan masalahku”, “bukan masalah kita”. Dari linimasa media sosial kita bisa membaca warganet yang menganggap bahwa “diri mereka” bukan bagian orang yang bisa terkena virus corona. Nyinyir berjamaah dengan objek pemerintahan Jokowi terkait terus bertebaran di media sosial. Banyak pula warganet yang berbicara soal virus corona di luar kapasitasnya. Misalnya, mendesaknya agar pemerintah melakukan lockdown tanpa tahu apa dampaknya.

Mungkin kita dibuat jengkel oleh langkah-langkah pemerintah menangani virus corona, tetapi menari gembira dan bersuka cita sembiari mengolok-olok di tengah bencana bukanlah perilaku elok. Apa lagi, virus corona bisa menyerang siapa saja. Tidak mesti mereka yang baru bepergian dari luar negeri.

Penulis: Dewira
Penyunting: Oyos Saroso H.N.