Nusa Putra*
Bagi sebuah negara bangsa, usia tujuh puluh tahun belumlah seberapa. Baru seumur timun suri. Sedangkan untuk seorang manusia, tujuh puluh tahun itu minimal sudah sepuh. Bisa-bisa telah renta dan rentan. Bila ada yang membandingkan usia negara bangsa dengan usia manusia, dan menyatakan sudah setua ini, negara kita masih belum juga mencapai cita-citanya, rasanya itu ungkapan yang lebay. Pake bangets.
Bila kita menelusuri sejarah dunia atau membaca Injil dan Al Qur’an, akan ditemukan sejarah sejumlah negeri dan kerajaan yang pada masa itu pun sudah hancur, hanya tinggal puing. Imperium Romawi yang hebat, Negara Atlantis yang spektakuler, Peradaban Maya yang sangat maju, Kerajaan Mesir yang berhasil membangun piramid, Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit, sejak ratusan dan ribuan tahun lalu telah menjadi sejarah. Artinya, negara atau kerajaan yang sudah sangat mapan, kuat dan maju, dalam lintasan sejarah bisa hancur berantakan, bukan bertambah maju.
Pada masa moderen, rontoknya rezim komunis Uni Sovyet mendorong terjadinya keruntuhan sejumlah negara dan bangkitnya beberapa negara baru. Jerman yang terpecah menjadi Barat dan Timur, bersatu. Lihatlah India. Pecah, lahirlah Pakistan. Pakistan pecah, muncullah Bangladesh. Kita tahu, sampai kini gejolak di negara-negara itu masih terjadi.
Itu artinya, bagi sebuah negara, linatasan sejarah panjang, bahkan sangat panjang yang menentukan keberadaan dan kebertahanannya. Bisa ratusan bahkan ribuan tahun. China mengalami pergulatan yang sangat lama untuk sampai pada keadaanya seperti sekarang ini, pun Amerika Serikat.
Dalam konteks itu, 70 tahun belumlah seberapa. Sungguh, baru seumur timun suri. Karena itu, kita tidak dapat secara sembarangan membandingkan pencapaian negara kita dengan negara mana pun di dunia.
Singapura baru seumur jagung sudah hebat. Jangan lupa, Singapura itu hanya seukuran kabupaten di Indonesia. Begitupun Brunei. Dalam bidang pendidikan sejumlah orang yang tidak mampu berfikir jernih dan objektif membandingkan Indonesia dengan Finlandia, Jepang, Korea Selatan dan Taiwan. Mereka lupa, ketiga negara itu juga seukuran kabupaten, atau paling tinggi, seukuran propinsi di Indonesia.
Secara hakiki, tidak ada negara yang dapat dibanding-bandingkan. Sebab setiap negara memiliki karakteristik, kondisi, dan sejarah yang sama sekali berbeda. Sejarah dan karakteristik tiap negara, membuat negara itu bisa cepat maju atau maju dengan tertatih-tatih.
Jepang dan Korea Selatan tampaknya bisa maju dengan pesat, cepat, melesat. Mereka bisa seperti itu karena sejumlah sebab. Keduanya adalah negara yang relatif kecil, dan masyarakatnya tidak memiliki perbedaan serumit seperti Indonesia. Sudah sejak lama masyarakatnya relatif bersatu di bawah penguasa tunggal yang kuat. Kemudian ada faktor bantuan Amerika Serikat yang sangat luar biasa.
Negara yang lebih besar dan kompleks seperti China, India dan Indonesia tidak bisa seperti itu. China membutuhkan waktu sangat panjang setelah berganti dari kerajaan menjadi pemerintahan yang moderen. Perseteruan antara kaum nasionalis dan komunis justru menjadi masalah baru. Meskipun akhirnya komunis berkuasa, dibutuhkan waktu panjang untuk bisa mencapai kemajuan seperti sekarang ini. Kemajuan yang juga menimbulkan korban sosial politik yang luar biasa.
India mengalami hal yang berbeda. Munculnya masalah yang berasal dari perbedaan agama menyebabkan mereka terpecah belah menjadi beberapa negara. Tentu saja ada masalah lain seperti kesenjangan sosial yang akut yang ikut memengaruhi. Artinya setiap negara memiliki sejumlah masalah yang harus dihadapi dan diatasi. Berbeda dengan masalah negara lain.
Eropa dan Amerika Serikat juga membutuhkan waktu sangat panjang untuk mencapai stabilitas politik dan ekonomi. Banyak perang saudara terjadi, dalam waktu yang sangat panjang, sebelum akhirnya mereka mencapai kondisi yang memungkinkannya untuk berkonsentrasi bagi kemakmuran rakyat.
Terkait dengan perang, kita tidak dapat melupakan bahwa pernah terjadi dua kali perang dunia yang melibatkan banyak negara dan menyebabkan munculnya sejumlah masalah sosial, politik dan ekonomi yang sangat parah. Perang dunia ini sangat memengaruhi jatuh bangunnya sejumlah negara. Jerman dan Jepang adalah dua negara yang mengalami kebangkitan dan kejatuhan dalam dua perang itu.
Sejarah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan juga sangat penuh gejolak. Pada awal proklamasi, tokoh-tokoh politik dengan aliran ideologi yang berbeda,lebih banyak saling serang daripada bekerja sama. Berbagai tragedi yang mengorbankan rakyat kerap terjadi. Perebutan kekuasaan dan pengaruh, tidak memberi peluang dan kesempatan untuk sungguh-sungguh memperhatikan rakyat.
Pertarungan untuk memperolehdapatkan kekuasaan yang dipertajam oleh perbedaan ideologi yang tidak dapat diselesaikan secara terbuka di parlemen, telah memicu perseteruan panjang yang melibatkan masyarakat secara langsung. Keadaan semakin parah karena pimpinan tertinggi pemerintahan dan negara semakin otoriter dan represif.Puncak tragedi itu adalah peristiwa politik penuh pembantaian dan korban pada 1965.
Itu artinya sepanjang 1945-1965 negara bangsa ini berkutat dan terperangkap dalam perseteruan ideologi dan perebutan kekuasaan. Kepentingan dan aspirasi rakyat diabaikan. Kondisi ekonomi dan kesejahteraan makin terpuruk.
Rezim Orde Baru yang didukung Barat muncul. Melakukan modernisasi. Modernisasi politik dilakukan dengan mencerabut akar ideologi dan membonsai partai politik. Sebagai penyeimbang dimunculkan Golkar sebagai kekuatan baru. Kekuatan yang sepenuhnya dalam genggaman sang penguasa utama dengan dukungan penuh militer.
Demokrasi formal dihidupkan. Disebut formal karena ada partai politik, secara teratur ada pemilu, parlemen merupakan hasil pemilu, dan presiden dipilih oleh MPR yang merupakan hasil pemilu dan perwakilan masyarakat. Namun, kita semua tahu, demokrasi Orde Baru adalah rekayasa sosial canggih yang melanggengkan penguasa otoriter yang sentralis dan sangat represif.
Pembangunan ekonomi dilaksanakan mengacu pada konsep Barat tentang pertumbuhan yang akan sampai pada tahap lepas landas menjadi negara moderen dengan pertumbuhan tinggi. Pembangunan yang berorientasi pertumbuhan dan perkotaan ini, yang kurang memperhatikan dan menghargai tradisi serta budaya lokal, ditambah korupsi yang akut telah menghancurkan istana pasir Orde Baru. Itu artinya sepanjang 1965-1998 saat rezim ini berkuasa dan runtuh, negara bangsa ini tidak semakin mendekati cita-citanya seperti yang tertulis dalam Pembukaan UUD 1945.
Ini pengalaman yang sangat berharga. Sepanjang 1945-1998 kita hanya memiliki dua presiden. Keduanya memerintah terlalu lama dengan cara otoriter. Secara hakiki tidak ada demokrasi. Kekuatan masyarakat relatif mati suri. Sedangkan pemerintah sangat kuat dan berkuasa. Ujung-ujungnya kita jadi negara gagal berantakan.
Jika melongok keluar, kondisinya sama saja. Myanmar dan Korea Utara dikelola oleh rezim otoriter, tak ada demokrasi. Masyakatnya mengalami banyak kesulitan karena pemerintah menjalankan fungsinya secara otoriter, represif, dan kejam. Irak, Libya dan Suriah juga mengalami hal yang sama. Menjadi negara gagal berantakan karena dikelola oleh rezim otoriter yang didukung kuat oleh militer.
Tampaknya negara sipil demokratis merupakan pilihan yang lebih baik. Karena masyarakat secara terbuka dengan mekanisme demokrasi bisa ikut menentukan. Namun, jalan ini bukan jalan yang mudah.
Reformasi yang memberi peluang bagi tumbuhnya negara sipil demokratis ternyata tidak mudah memulainya. Bersebalikan dengan periode 1945-1998 yang hanya melahirkan dua presiden. Dalam waktu relatif sangat singkat kita mengalami tiga presiden yaitu Habibie, Gus Dur, dan Megawati.
Rupanya masyarakat yang selama ini sangat dibatasi kebebasan dan dirampok hak politiknya sungguh-sungguh bangkit. Partai politik muncul mencuat bagai belatung di sampah busuk. Sekaligus dalam jumlah yang sangat luar biasa pada saat yang bersamaan dan bergerak cepat untuk mencari peluang. Benturan antar masyarakat menjadi biasa. Anarki adalah pemandangan sehari-hari. Banyak orang merasa kita sudah kebablasan.
Saling hujat dan serang dipertontonkan secara terbuka. Bahwa kita merupakan negara Pancasila yang ramah dan berkesantunan, sungguh tak terlihat. Membakar rumah ibadah orang lain, menyerang orang atau kelompok lain yang berbeda dianggap sebagai hal biasa. Perbedaan yang sebenarnya merupakan kekayaan yang memperkuat kita, justru dijadikan dasar untuk membangkitkan konflik yang seringkali tragis dan mengerikan. Sementara itu terorisme yang menyebarkan kebencian dan ancaman maut seperti tak bisa dikendalikan dan dihancurkan.
Kadang muncul praduga. Jangan-jangan keadaan ini memang diciptakan oleh anasir dari kekuasaan lama yang otoriter untuk menunjukkan bahwa masyarakat sipil tidak memiliki kemampuan untuk mengelola negeri ini. Dengan demikian kesan kuat yang muncul adalah negara bangsa ini sedang bergerak dari stabilitas ke kecauan.
Sungguh peralihan yang sama sekali tidak mudah. Semakin sulit dan kompleks karena korupsi sudah menulangsumsum, menjadi bagian yang wajar dalam birokrasi dan politik. Indonesia sungguh berada di persimpangan jalan yang akan menentukan keberadaan dan masa depannya.
Akhirnya dengan masih banyak kekurangan, kita berhasil membangun sistem ketatanegaraan dan politik baru yang antara lain terlihat dari kemampuan negara bangsa ini melakukan pemilihan presiden secara langsung yang berjalan dengan damai, lancar dan sukses. Keberhasilan ini menegaskan bahwa kita sebenarnya sudah berada pada jalan yang benar. Meski jalannya masih penuh lubang dan liku dengan kendaraan yang tidak pula baru.
Kini kita merayakan tujuh puluh tahun kemerdekaan, namun dalam banyak hal, terutama terkait dengan tatakelola negara dan sistem politik yang baru, sebenarnya kita baru saja mulai. Itu bermakna: TIDAK ADA CARA INSTAN MENCAPAI KEMAJUAN DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT.
*Dr. Nusa Putra, dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ)