Feaby|Teraslampung.com
SETELAH nyaris dua tahun lamanya tak bertuan, jabatan Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika Lampung Utara akhirnya menjadi ‘milik’ Doni Ferwari F. Posisi itu sah ditempati oleh yang bersangkutan terhitung sejak Rabu, 14 Juli 2021.
Usaha Doni untuk menempati posisi itu terbilang tidak mudah. Butuh dua kali Seleksi Terbuka Jabatan Pimpinan Tinggi Pratama dulu, baru ia berhasil meraih impiannya itu. Saat Selter JPTP pertama pada akhir tahun 2020 silam, impian Doni terpaksa ditunda sementara.
Kala itu, ia bersama dua puluhan peserta selter untuk empat JPTP dinyatakan belum kompeten. Alhasil, keempat jabatan itu akhirnya tidak dapat diteruskan ke tahapan selanjutnya dengan kata lain ditunda pelaksanaannya.
Baru di Selter JPTP bulan Juni lalu, Doni dapat unjuk gigi. Ia bersaing ketat dengan dua kompetitor kuat lainnya, yakni Nujum Masya (Kabag Kerja sama) dan Chandra Setiawan (Kabag Pengadaan Barang dan Jasa hingga babak akhir. Jalannya Selter sendiri diwarnai ‘bumbu – bumbu’ sempat memantik pro dan kontra publik. Itu dikarenakan ketidaktransparanan pemkab terkait hasil akhir Selter.
Terjalnya usaha mantan Camat Kotabumi Utara ini dalam menggapai impiannya tersebut sejatinya sebanding dengan apa yang akan dihadapinya di masa mendatang. Sebagai ‘corong’ pemerintah yang akan bersentuhan langsung dengan masyarakat dan media massa dalam hal komunikasi dan informasi, ia harus piawai dalam membina hubungan dengan kedua elemen penting tersebut.
Salah sedikit saja dalam menerapkan kebijakan khususnya dengan pihak media, ia pasti akan menjadi bulan – bulanan media massa. Apalagi, sebelumnya, hubungan Diskominfo dan pihak media sempat tidak harmonis.
Kalau mau jujur, penyebab ketidakharmonisan itu salah mereka sendiri. Sejumlah kebijakan yang mereka buat dianggap sangat tidak bersahabat dengan media meski mungkin tujuannya baik. Salah satu kebijakan yang paling ‘aneh’ adalah penerapan standar satuan harga (SSH) kerja sama dengan media massa pada tahun 2021 ini.
Penetapan SSH itu dilatarbelakangi oleh ‘kewajiban’ yang memang harus dilakukan. Sistem keuangan memang mewajibkan demikian. Jika tidak maka anggaran itu tak dapat dicairkan karena tidak tercatat di sistem.
Melalui kebijakan ini, besaran biaya kerja sama untuk seluruh media massa seluruhnya seragam dalam setiap bulannya. Keseragaman nilai itu tak hanya terjadi pada biaya langganan media, tapi juga terjadi untuk biaya pemasangan advertorial.
Untuk media daring, Diskominfo mematok tarif langganan sebesar Rp500 ribu/bulan. Sementara untuk tarif advertorial, besaran nilainya dipatok sebesar Rp2 juta. Maksimal pemasangan advertorial hanya dua kali untuk setiap media online.
Sekilas, kebijakan SSH seragam ini memang terlihat baik karena dirasa akan memberikan rasa keadilan pada pihak media. Padahal, harusnya SSH itu ditetapkan berdasarkan klasifikasi yang jelas karena memang adil itu tidak mesti rata.
Pelajar SMA saja tentu tidak mau diberi uang jajan yang besarannya sama dengan pelajar SMP apalagi pelajar SD. Keperluan pelajar SMA itu jelas tidak sama dengan keperluan para pelajar yang tingkatannya di bawah mereka.
Begitupun dengan media massa. Keseragaman SSH ini cenderung ‘merugikan’ media – media daring yang memiliki banyak pembacanya. Banyaknya pembaca sebuah media online dapat diukur salah satunya dari capaian peringkat di situs Alexa.
Tingginya peringkat sebuah media daring ini faktor utamanya disebabkan oleh kepuasan para pembaca atas produk jurnalistik yang dihasilkan oleh jurnalis di media tersebut. Kepuasan ini tentu tak akan mereka dapati dari oknum yang hanya sekadar muncul tanpa berita atau cuma nanya – nanya.
Faktor peringkat ini jugalah yang menjadi kunci utama pihak media massa untuk menarik pemasukan dari pelbagai sumber. Pemasukan terbesar berasal dari kerja sama dengan pemerintah.
Sumber pemasukan itu berasal dari pemasangan iklan, advertorial dan sejenisnya. Pemasukan ini jugalah yang akan digunakan kembali oleh pihak media untuk menyejahterakan para karyawan termasuk wartawan mereka.
Kebijakan SSH seragam ini akan menjadi ujian kepiawaian Doni Ferwari di masa mendatang. Besaran SSH harus dirubah berdasarkan klasifikasi yang jelas agar keadilan itu memang benar – benar rata dan nyata. Jika tidak, nada – nada sumbang di Lampung Utara akan lebih sering terdengar di kemudian hari.