Ridwan Saifuddin
Peneliti Balitbangda Provinsi Lampung*
Mendagri Tito Karnavian memberikan penghargaan Innovative Government Award (IGA) 2020 kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota yang dinilai mampu menghasilkan inovasi dalam tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik, Jumat (18/12/2020) lalu, di Jakarta.
Provinsi Lampung menjadi salah satu dari lima provinsi yang menerima penghargaan IGA 2020, bersama dengan Banten, Jawa Tengah, DKI Jakarta, dan Sumatera Selatan. Satu lagi prestasi yang diperoleh Pemerintah Provinsi Lampung, setelah sebelumnya juga mendapat penghargaan serupa terkait inovasi tatanan normal baru dan kinerja penanggulangan Covid-19 di daerah.
Penghargaan tersebut tentu menjadi berita baik bagi Pemda. Penghargaan yang menjadi penanda kinerja dan performa pemerintah daerah. Juga, diharapkan menjadi energi baru bagi peningkatan manajemen pemerintahan dan pelayanan publik.
Reaksi masyarakat terhadap prestasi inovasi Pemda itu, kemudian bisa kita telusuri di media sosial. Perspektifnya lebih beragam. Komentarnya juga macam-macam, dari yang positif, “nyinyir,” sampai yang apatis. Benang merahnya: ada kontras antara ukuran penghargaan dan ukuran yang dirasakan warga.
Penghargaan tentu saja sah untuk dirayakan. Sebagai satu keberhasilan yang berpotensi menghadirkan manfaat lebih besar kemudian. Sebab, tanpa capaian-capaian antara seperti penghargaan itu, kita tak akan pernah sampai pada tujuan idealnya. Pemaknaan terhadap capaian antara itu yang akan menentukan hasil selanjutnya.
Seperti penghargaan orang tua terhadap anaknya. Itu sebagai motivasi dan perhatian bagi anak untuk lebih giat mengembangkan potensi dirinya. Anak tentu akan gembira mendapat reward. Bukankah para peneliti juga telah sepakat, rasa gembira itu menular. Seperti halnnya sedih. Anak yang gembira, membuat orang tuanya bahagia. Demikian pula, pemerintah yang gembira, itu akan menyebar dan membuat warganya gembira.
Sebuah studi yang diterbitkan dalam jurnal Motivation and Emotion (2017), menemukan jika seseorang bekerja di satu ruangan dengan orang-orang yang punya motivasi tinggi, energi mereka juga meningkat. Sebaliknya, jika kita bekerja di ruangan yang sama dengan mereka yang tidak bersemangat dengan pekerjaannya, maka motivasi kita pun menurun. Emosi itu juga menyebar secara virtual….
Alasan lain, kenapa penghargaan itu layak dirayakan, adalah karena ilmu perilaku manusia menyatakan: Orang cenderung bekerja lebih keras, ketika mereka merasa menang!
Namun, bukan perayaan atas penghargaan IGA 2020 itu yang menjadi inti tulisan ini, tetapi bagaimana sebaiknya menyikapi inovasi yang telah mengantarkan Provinsi Lampung dalam jajaran Pemda Terinovatif tingkat nasional itu. Agar inovasi tidak sekadar gimik; yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah sesuatu yang digunakan (hanya) untuk menarik perhatian.
Inovasi Sebagai Output
Penulis mengikuti proses yang dilakukan Balitbangda Provinsi Lampung dalam mengoordinir data inovasi di setiap organisasi perangkat daerah (OPD). Cukup menyita energi tim, untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan apa saja yang telah dilakukan OPD-OPD yang ada. Proses input data yang perlu pendampingan dan waktu khusus.
Dari proses tersebut, terlihat bahwa secara umum inovasi Pemda masih bersifat sektoral, berserak, dan sporadis. Belum diperlakukan secara inkremental dan terintegrasi. Inovasi masih sebagai output dari satuan-satuan kerja, belum terarah sebagai outcome jangka panjang.
Kondisi tersebut tidak menguntungkan bagi masa depan inovasi itu sendiri. Inovasi butuh habitat yang baik, untuk bisa bertahan hidup dengan pembaruan yang berkelanjutan. Kecuali, kita rela membiarkannya menjadi barang usang; dan tidak perlu waktu lama untuk itu.
Roh inovasi adalah pembaruan. Pembaruan membutuhkan kerangka dan arah. Dalam konteks pemerintah, inovasi perlu dibangun dalam kerangka sistem keseluruhan, dengan melihat koneksi-koneksi baru, dan mengidentifikasi celah, peluang, serta arah dalam jangka menengah/panjang. Inovasi yang sektoral dan sporadis, dengan demikian, tidak akan berumur panjang.
Memperlakukan inovasi dalam habitat yang baik, akan berguna tidak hanya sebagai inisiatif berskala kecil jangka pendek (niche), tetapi juga bermanfaat pada level struktur, institusi, dan kebijakan yang lebih luas, sehingga memberikan pengaruh yang besar pada masyarakat. Perlu pengondisian pada masing-masing tingkat tersebut: inisiatif, kebijakan, dan arah kemanfaatan. Perlu tindakan lebih dalam untuk daya hidup inovasi yang berkelanjutan.
Lebih jauh, peningkatan skala inovasi tidak hanya membutuhkan hadirnya kebijakan, struktur, dan sistem, untuk mereplikasi inovasi yang berhasil ke lebih banyak lokus, tetapi juga membutuhkan tumbuhnya budaya yang relevan. Tanpa itu, inovasi tidak akan bertahan atau memiliki dampak yang diinginkan.
Inovasi Sebagai Outcome
Diantara komentar netizen terkait penghargaan untuk Pemda inovatif, adalah dampak yang tidak dirasakan langsung oleh warga. Mendapatkan KTP masih sulit. Mengurus perizinan masih rumit. Bayar pajak kendaraan masih berbelit. Pungli masih jadi penyakit. Tapi itu komentar warganet di luar Lampung….
Lumrah, karena itulah yang masih dirasakan masyarakat sejak lama. Inovasi yang identik dengan pembaruan, perubahan, peningkatan, perbaikan belum benar-benar hadir dalam lanskap layanan publik kita yang sangat birokratis. Padahal, layanan publik lebih sebagai urusan manajerial ketimbang urusan birokrasi.
Karenanya, membangun inovasi berarti membangun lanskap tata kelola dan layanan publik. Lanskap yang “enak dipandang, enak disandang.” Birokrasi adalah kerangka, dan inovasi hadir dalam dan sebagai tata kelola. Birokrasi bukan cuma perkara teknologi, termasuk di dalamnya manajemen dan budaya.
Inovasi yang diorientasikan sebagai outcome, terintegrasi dan bervisi jauh ke depan, akan lebih bisa dirasakan manfaatnya oleh warga. Terkelolanya inovasi dengan habitat yang kondusif, akan mendorong pertumbuhan produktivitas daerah secara cepat.
Kebutuhan akan inovasi adalah fakta hari ini. Ketika pertumbuhan ekonomi lebih cepat dan lebih produktif. Produktivitas yang meningkat karena teknologi baru di atas perubahan sosial dan budaya. Pendidikan dan literasi yang lebih baik membuat orang menjadi lebih produktif dalam pekerjaan mereka.
Revolusi industri telah meruntuhkan teori Malthus, yang percaya dengan “hukum tak terhindarkan,” bahwa umat manusia akan tetap dalam kemiskinan selamanya. Total output perekonomia dunia kini meningkat cepat setelah generasi keempat revolusi industri.
Pandemi Covid-19 juga memberi pelajaran kepada kita. Kesejahteraan ekonomi kita sangat tergantung kesejahteraan orang lain. Kesehatan kita juga tergantung kesehatan orang lain. Kapasitas tidak cukup dibangun hanya dengan teknologi. Tidak bisa sendiri-sendiri, melainkan ditentukan kemampuan sinergi dan kolaborasi. Maka, inovasi yang diperlakukan secara parsial, sektoral, dan sporadis tidak akan berumur panjang. Besok pun segera usang.***
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi.