Oyos Saroso H.N./Teraslampung.com
LAMPUNG BARAT – Akhir Juli 2007. Hari sudah gelap. Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB. Hujan baru saja reda ketika sepuluhan orang warga Kecamatan Sumberjaya tiba di sebuah rumah sederhana berdinding papan di Desa Simpang Sari, Lampung Barat.
Rumah sederhana itu berukuran 15 x 12 m itu adalah sekretariat Keluarga Pencinta Lingkungan Hidup (Watala), sebuah NGO di Lampung yang sejak belasan tahun terakhir melakukan pendampingan para petani hutan di Lampung Barat. Sementara sepuluhan petani desa itu adalah ketua kelompok tani yang tergabung dalam Warung Rembuk Tani Hutan (Warem Tahu).
Malam itu, para ketua kelompok tani yang tergabung dalam Warem Tahu sedang membahas tentang berbagai persoalan pelaksanaan program HKM. Warem Tahu sebenarnya memiliki tempat rapat resmi, yaitu di sebuah rumah panggung seluas 120 m2 di samping sekretariat Watala. Namun, kalau malam rumah panggung berlantai kayu dan tanpa dinding itu tidak bisa dipakai karena tidak ada listriknya.
Para anggota Warem Tahu adalah ”tokoh penting” di balik suksesnya program Hutan Kemasyarakatan di Lampung Barat. Biarpun tidak memiliki struktur organisasi formal, Warem Tahu cukup disegani di kalangan masyarakat petani hutan dan unsur birokrasi di Kabupaten Lampung Barat. Sebab, para petani yang tergabung dalam Warem Tahu itulah yang menjadi pendorong keluarganya izin pengelolaan hutan oleh petani selama 25 tahun lewat program hutan kemasyarakatan (HKM). Mereka juga aktif terlibat dalam proses lahirnya Peraturan Daerah Sumber Daya Alam dan Lingkungan Berbasis Masyarakat (PSDALBM).
Petani dan kelompok tani yang akan mendapatkan izin pengelolaan lahan hutan selama 25 tahun—sebelumnya mereka mendapat izin sementara selama 5 tahun—salah satunya harus lolos verifikasi yang dilakukan oleh Warem Tahu.
Erfan, seorang guru SMA di Lampung Barat yang juga berprofesi sebagai petani dan aktivis Warem Tahu,mengatakan sebagai organisasi petani, Warem Tahu tidak memiliki ketua. ”Ketuanya ya anggota Warem Tahu yang kebetulan rumahnya dijadikan tempat rapat. Jadi bisa berganti-ganti setiap waktu,” kata dia.
Menurut Erfan, pada mulanya organisasi yang terbentuk pada akhir tahun 1990 itu sebagai upaya untuk menguatkan posisi tawar petani hutan yang selama berpuluh-puluh dijadikan kambing hitam jika terjadi kebakaran, perambahan liar, dan illegal logging di kawasan hutan lindung. Ketika era reformasi bergulir, kata Erfan, banyak warga di sekitar hutan yang melakukan balas dendam dengan cara membuka hutan untuk dijadikan kebun kopi.
”Keadaan itu tidak boleh dibiarkan karena hutan bisa habis dibabat warga. Kami mencoba mencari jalan tengah, yaitu dengan melakukan advokasi terhadap warga yang gubuk-gubuknya dibakar aparat keamanan, di pihak lain kami mencoba meningkatkan posisi tawar petani. Kami meyakinkan kepada pemerintah daerah (Bupati Lampung Barat, Dinas Kehutanan, dan DPRD Lampung Barat) bahwa petani bisa diajak bekerja sama mengelola hutan asalkan mereka diberi hak untuk mengelola hutan,” ujarnya.
Erfan mengatakan win-win solution harus dilakukan karena pemerintah tetap butuh hutan lestari, sementara petani butuh hidup. Dengan adanya program Hutan Kemasyarakatan (HKM) yang digulirkan pemerintah pada tahun 2000, kata Erfan, makin terbuka peluang bagi petani yang tinggal di sekitar hutan lindung dan hutan produksi untuk mendapatkan hak mengolah hutan. Namun, kata Erfan, meskipun banyak petani yang sudah bisa menggarap lahan kritis di hutan lindung dan hutan produksi lewat program HKM, para petani tetap khawatir.
”Sebab, dengan program HKM itu mereka hanya diberi izin pengelolaan selama lima tahun. Artinya, baru saja panen kopi sekali, mereka sudah harus melepaskan hasil jerih payahnya. Makanya, kami mendesak agar Bupati Lampung Barat memelopori memberi izin jangka panjang (hingga 25 tahun,” kata dia.
Di kawasan hutan lindung yang menjadi areal HKM itulah petani di Lampung Barat kini membangun agroforestry berupa kebun campuran. Selain tanaman pokok berupa kopi, para petani juga menanam tanaman kayu yang tak boleh ditebang seperti pisang, pinang, sonokeling, dan durian.
Rama Zakaria, mantan Direktur Keluarga Pencinta Alam dan Lingkungan Hidup (Watala)—sebuah NGO lokal yang selama puluhan tahun mendampingi petani di Lampung Barat—mengakui kerja-kerja yang dilakukan para aktivis Warem Tahu terbukti bisa meningkatkan posisi tawar petani.
”Buktinya, kini petani yang melaksanakan program HKM sudah ada yang diberi izin menglola selama 25 tahun. Warem Tahu efektif untuk melakukan advokasi karena mereka dekat dengan para petani dan bisa bekerja sama dengan pejabat pemerintah daerah,” kata Rama.
”Advokasi yang dilakukan Warem Tahu membuktikan bahwa petani tidak harus selalu dalam posisi berhadap-hadapan dengan pemerintah,” tambah Rama.
Bersama kepala desa, pengelola sumber daya alam (PSDA) kabupaten, kepala unit penanggung jawab areal hutan, dan NGO lingkungan yang bertindak sebagai pendamping, setiap tahun Warem Tahu harus membuat laporan perkembangan hasil evaluasi dan pemantauan terhadap kelompok tani yang diberi izin sementara menjalankan program HKM.
Selain mendidik sekitar enam ribu petani yang mengelola 40-an ribu hektare lahan hutan kritis agar menjalankan program HKM dengan benar, para aktivis Warem Tahu juga mengajari petani di sekitar kawasan hutan lindung untuk bertani dengan sistem multikultur (aneka tanaman).
”Istilah tepatnya sebenarnya belajar bersama untuk mencapai kesejahteraan bersama. Kami ingin petani di kawasan hutan sama-sama sejahtera dan hutan tetap lestari,” kata Erfan.