Ahmad Syubbanuddin Alwy, Pejuang Sastra Santri di Indonesia

Ahmad Syubbanuddin Alwy_01
Ahmad Syubbanuddin Alwy_01
Bagikan/Suka/Tweet:

MINGGU sore, 20 Agustus 2006. Seorang lelaki berperawakan kecil, berambut gondrong, berkepala botak, dan berkaca mata minus, berdiri di halaman Gedung Kesenian Rarasantang, Cirebon , Jawa Barat.Sore itu ia menjadi inspektur upacara peringatan Hari Kemerdekaan ke-61 Republik Indonesia yang digelar para seniman. Pria berperawakan kecil itu terlihat aneh karena tubuhnya yang kecil dibalut kostum ala Gatotkaca, tokoh ksatria dalam pewayangan yang diambil dari kisah Mahabaratha. Dalam cerita pewayangan,

Gatotkaca adalah satria yang bertubuh tegap. Sementara di samping kiri pria berperakan kecil itu, berdiri pula beberapa pria dengan baju ulama berbagai agama.

Di samping para pria berbaju ulama berbagai agama, ada tiga orang bercelana hitam yang tubuhnya dilumuri warna hitam. Mereka bertugas sebagai pasukan pengibar bendera Merah Putih. Tepat di muka pria berperawakan kecil itu, sekitar 20 orang berbaris dengan bermacam pakaian. Ada yang berbaju prajurit keraton, ada yang berpakaian santri, berkostum petani, dan berbusana sehari-hari.

Puluhan  seniman itu mengibarkan bendera Merah Putih, membacakan teks Pancasila, dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Selain lagu Indonesia Raya, para seniman menyanyikan lagu Garuda Pancasila yang teksnya telah digubah almarhum Harry Roesli. Sebaris syairnya berbunyi, “Garuda Pancasila, aku lelah mendukungmu.”

Upacara diisi pembacaan sumpah seniman dan puisi yang penuh kritik.Acara ditutup dengan pembacaan doa oleh Kyai Maman Imanulhaq dari Pondok Pesantren Al-Mizan, Jatiwangi, Majelangka.

“Mari kita berdoa, boleh sambil berbaring,” kata Kyai Maman sambil tiarap.

Para peserta upacara itu pun ikut tiarap. Dalam amanatnya, pria kecil yang menjadi inspektur upacara itu mengungkapkan berbagai ketidakadilan yang masih terjadi. Antara lain soal semburan lumpur di Sidoarjo, penanganan korban SUTET (saluran listrik tegangan ekstra tinggi), belum tersedianya pendidikan murah, masih banyaknya pengangguran, dan perbedaan yang sering menjadi sumber perpecahan.

“Semuanya itu menandakan rakyat Indonesia belum sepenuhnya merdeka!” teriak pria bertubuh kecil itu.Pria berperawakan kecil itu adalah  Ahmad Syubbanuddin Alwy.

Ia tidak hanya dikenal sebagai budayawan yang disegani di Cirebon , tetapi juga terkenal sebagai sastrawan Indonesia yang gigih memperjuangkan eksistensi sastrawan santri sekaligus pluralisme. Buku kumpulan puisi tunggal karya Alwy antara lain Bentangan Sunyi (1996).

Selain itu, karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi Puisi Indonesia 1987, Titian Antar Bangsa (1988), Negeri Bayang-bayang (1996), Cermin Alam (1997).

“Saya selalu kurang percaya diri untuk menerbitkan buku puisi secara tunggal,” ujarnya.

***

Di Cirebon, Alwy lebih dikenal sebagai budayawan. Penyair yang pernah menjadi wartawan Pikiran Rakyat edisi Cirebon itu kini juga aktif menjadi anggota presidium Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak), penggerak pemuda Nahdhlatul Ulama, koordinartor Koalisi Sastrawan Pesantren, dan sebagai staf ahli Kasultanan Kanoman Cirebon. Sebagai budayawan dan aktivis gerakan antikorupsi yang sering berbicara kritis, membuat pria kelahiran 26 Agustus 1962 itu, sering menjadi sasaran marah orang-orang yang kena kritik.

Tak jarang, Alwy mendapatkan teror akan dibunuh. Sebagai aktivis Gerak, tiap tahun Alwy bersama para akademisi, aktivis NGO, dan pemimpin pesantren di Cirebon mengkritisi APBD.

“APBD harus diawasi secara bersama-sama sejak masa awal perencanaannya. Kalau tidak, eksekutif dan legislatif akan seenaknya sendiri dalam menyusun anggaran,” kata ketua Dewan Kesenian Cirebon (DKC) ini. Menurut Alwy, di Indonesia kini muncul fakta yang cukup paradoks, yaitu upaya memformalkan ajaran agama dan banyaknya korupsi di daerah yang dikenal sebagai basis santri.   Salah satu pemformalan agama, kata Alwy, adalah lahirnya peraturan daerah (Perda) Syariah.

“Itu menunjukkan negara (diwakili kepala daerah dan  legislatif) terlalu cerewet dan politisi terlalu bodoh. Syariat agama kan soal hubungan manusia dengan Tuhan, kok mau diformalkan. Itu urusan masing-masing manusia. Mengurusi masalah horizontal saja kita tidak mampu, kok malah mengurusi masalah vertikal (hubungan manusia dengan Tuhan),” kata dia.

“Banyak daerah yang menjadi basis pesantren, korupsinya justru merajalela,” tambahnya.

Para penyair Indonesia sering menyebut Alwy sebagai “singa seminar”. Itu karena dia selalu menjadi bintang jika menjadi narasumber sebuah seminar sastra. Dengan tangkas Alwy “menghidupkan” sebuah seminar karena kaya dengan joke-joke yang menyegarkan.

Namun, bukan lantaran kaya joke Alwy sering diundang ke berbagai kota di Indonesia untuk menjadi pembicara seminar sastra. Alwy sering diundang sebagai pembicara di berbagai forum sastra di Indonesia karena dia memiliki wawasan sastra yang luas dan basis pijakan sastra yang kuat, yaitu sastra santri. “

Kalau di forum sastra ada Alwy, acara selalu ramai. Ia cerdas dan pendapatnya sering kontroversial,” kata Isbedy Stiawan Z.S., penyair asal Lampung.

Mengawali debut di Studi Apresisasi Sastra (SAS) di Institut Agama Islam Negeri Sunan (IAIN) Kalijaga Yogyakarta pada tahun 1980-an, Alwy memang seorang santri. Ia tak hanya hafal kitab kuning—yang menjadi ciri khas pesantren tradisional—tetapi juga menguasai menguasai ilmu perbandingan agama.

Dengan latar belakang itu, Alwy sering menjadi “juru bicara” bagi para santri yang selama ini juga menciptakan karya sastra. “Selama ini banyak salah persepsi tentang pesantren. Banyak orang mengira bahwa pesantren adalah basis teroris atau hanya sekadar tempat belajar agama Islam. Padahal, sebenarnya pesantren merupakan salah satu pusat pendidikan bagi pendidikan multikultural.

“Banyak tokoh besar di Indonesia yang cara keberagamaannya inklusif, berasal dari pesantren,” kata Alwy.

Menurut Alwy, pesantren di Indonesia banyak melahirkan sastrawan. Namun, kata dia, sastrawan santri selama ini masih kurang mendapat tempat di Indonesia .Padahal, sastrawan santri sudah ada sejak masuknya Islam di Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra Indonesia .

“Di seluruh Indoesia, ada ratusan sastrawan yang berbasis pesantresn atau santri yang menulis karya sastra. Selama ini mereka masih terpinggirkan. Itulah sebabnya saya membangun Koalisi Sastrawan Santri Indonesia . Kami juga melakukan advokasi terhadap sastrawan santri yang mengalami ancaman, seperti yang terjadi baru-baru ini dialami seorang penyair di Bandung ,” kata Alwy.

Banyaknya sastrawan yang berasal dari kalangan santri, kata Alwy, karena di pesantren-pesantren di Indonesia juga berkembang tradisi membaca kitab-kitab yang ditulis dengan bahasa sastra. “Kitab Al Fiyah karya Ibnu Malik, ahli sharaf (gramatika) dari Arab, misalnya, ditulis dalam bentuk puisi. Padahal, kitab tersebut membicarakan tentang gramatika dalam bahasa Arab. Banyak tuntunan agama Islam yang dipelajari di pesantren ditulis dalam bentuk puisi,” kata dia. Menurut Alwy, banyak santri dan pengasuh pondok pesantren yang diam-diam menulis puisi, cerpen, dan novel tanpa pernah dipublikasikan.

“Saya pernah menemukan ada seorang perempuan pengasuh pondok pesantren banyak menulis puisi. Puisinya bagus-bagus, tetapi dia tidak percaya diri untuk mempublikasikan atau menerbitkan dalam bentuk buku. Setelah kami beri motivasi, sekarang dia sudah menerbitkan buku,” ujarnya.  (Oyos Saroso H.N.)

*Tulisan ini sudah pernah dimuat di  The Jakarta Post