AJI Desak Jokowi Menjaga Kebebasan Pers

Bagikan/Suka/Tweet:
Pada akhir tahun 2014, dunia pers dikejutkan dengan
penetapan tersangka penistaan agama atas Pemimpin Redaksi The Jakarta Post
Meidyatama Suryodiningrat karena aktivitas jurnalisme yang dilakukan harian
berbahasa Inggris ini.
Tindakan polisi ini menafikan putusan Dewan Pers yang
sudah ‘menghukum’ The Jakarta Post untuk meminta maaf dan melakukan koreksi.
Dan harian ini sudah melakukan prosedur yang diatur berdasarkan Undang-Undang
Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ini, sebagai bentuk itikad baiknya.
Aksi polisi menafikan UU Pers ini menambah panjang
barisan perlakuan buruk kepada jurnalis atau pun media yang dilakukan lembaga
yang berada langsung di bawah Presiden ini. Sepanjang tahun 2014 ini, AJI
mencatat, ada enam kasus kekerasan yang dilakukan polisi terhadap jurnalis.
Kasus tersebut terjadi di Surabaya, Jayapura, Medan,
Makassar dan Jakarta [Baca Lampiran]. Dan seperti kasus-kasus kekerasan yang
dilakukan polisi sebelumnya terhadap jurnalis, tidak ada penyelesaian yang
menurut hukum yaitu ke jalur pengadilan.
Total ada 40 kasus kekerasan terhadap jurnalis
sepanjang 2014 ini. Angka kekerasan boleh jadi stagnan dibanding tahun lalu,
namun kualitas makin meningkat. Intimidasi, ancaman, telepon gelap, teror,
pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor hingga
perampasan kamera masih terus terjadi.
Kasus yang paling menonjol terjadi di Makassar,
Sulawesi Selatan, pada 13 November 2014, ketika terjadi demonstrasi penolakan
kenaikan BBM di Universitas Negeri Makassar. Sejumlah jurnalis yang melakukan
peliputan penyerangan polisi pada mahasiswa justru membuat polisi marah dan
mengalihkan serangan pada jurnalis.  Setidaknya ada 10 (sepuluh) jurnalis yang
mengalami luka akibat penganiayaan itu. Empat diantaranya melaporkan kasusnya
pada polisi, dan sampai saat ini berjuang untuk menuntaskan kasusnya.
Selain polisi, pelaku lainnya adalah warga sipil,
politisi, PNS, Satpol PP dan TNI. Terlihat ada tren kekerasan menjadi cara
untuk menyelesaikan kasus pemberitaan media.
Tahun 2014 adalah tahun kelabu untuk pengungkapan
kasus kekerasan terhadap jurnalis. Upaya mengungkap kasus pembunuhan jurnalis
harian Bernas Yogyakarta, Muhammad Fuad Syafrudin alias Udin yang masuk
kadaluwarsa tak mendapat respons kepolisian. Padahal kasus ini diharapkan
menjadi pintu masuk mengungkap tujuh pembunuhan jurnalis lainnnya.
Ketujuh jurnalis itu adalah Naimullah (jurnalis Harian
Sinar Pagi, Kalimantan Barat tewas 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (jurnalis Asia
Press tewas di Timor-Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaludin (jurnalis
TVRI di Aceh, tewas 17 Juni 2003), Ersa Siregara (jurnalis RCTI tewas 29
Desember 2003), Herliyanto (jurnalis tabloid Delta Pos, tewas 29 April 2006),
Adriansyah Matra’is Wibisono (jurnalis TV lokal Merauke, tewas 29 Juli 2010),
dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas 18
Desember 2010). Namun sejauh ini, polisi abai, negara pun abai, membiarkan
pelaku kekerasan melenggang bebas.
Ancaman terhadap kebebasan pers bukan hanya dengan
cara kekerasan. Tahun 2014 ini juga jadi saksi ancaman terhadap kebebasan pers
muncul dari penanggung jawab media itu sendiri. Tahun Pemilu membuat pemilik
atau penanggung jawab media terlibat dalam pertarungan dalam pemilihan
presiden.
Tahun 2014 ini, AJI memutuskan Musuh Kebebasan Pers
adalah penanggung jawab berita di stasiun televisi MNC Group, tvOne dan
MetroTV. Menurut AJI, para penanggung jawab redaksi itu telah menggunakan
frekuensi publik untuk kepentingan partai dan kelompok. AJI menemukan, praktik
oligopoli media massa membuat opini masyarakat juga dikontrol oleh sekelompok
kecil pemilik atau penanggung jawab media.
Kondisi buruk atas profesi jurnalis juga termasuk soal
kesejahteraan jurnalis. Ribuan jurnalis saat ini berstatus kontributor atau
koresponden, tanpa hubungan kontraktual dengan media yang mempublikasikan
karyanya. Mereka tak memiliki jaminan sosial, jaminan kesehatan dan jaminan
hari tua. Sebagian besar dari mereka juga tak diikutkan dalam Sistem Jaminan
Sosial Nasional dan BPJS yang merupakan kewajiban setiap perusahaan yang
mempekerjakan mereka.
AJI juga menyoroti kebebasan pers yang buruk di Papua.
Sejak 1969 hingga kini, jurnalis asing tidak bisa bebas meliput di Papua.
Terakhir, dua jurnalis Prancis, Dandois dan Bourrat, ditahan karena melakukan
aktivitas jurnalisme di Papua. Tekanan yang berat juga dialami jurnalis lokal,
sepanjang tahun 2014, ada dua peristiwa kekerasan terhadap jurnalis terjadi di
Jayapura.
Saat kebebasan pers dalam tekanan, kebebasan
berekspresi dan berpendapat juga mengalami tekanan serius. Selain Peraturan
Menteri Kominfo tentang konten negative, belakangan, marak pemidanaan terhadap
kasus-kasus pencemaran nama yang terjadi di ranah Internet atau digital.
Sejak Undang-Undang Informatika dan Transaksi
Elektronik berlaku di tahun 2008, sampai tahun 2014, menurut data Asosiasi
Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, terdapat 74 kasus kriminalisasi
kebebasan berpendapat berdasarkan UU ini. Pasal 27 dan 28  UU ITE menjadi
pasal karet yang bisa menjerat siapapun atas laporan warga.
Selain persoalan-persoalan di atas, AJI juga mencatat
sejumlah problem etika jurnalistik. Masih banyak media yang mengumbar berita
kekerasan terhadap anak dan perempuan sebagai komoditas, mengabaikan etika
jurnalistik atau pedoman-pedoman pemberitaan.
Harus diakui, sejumlah kekerasan terjadi karena produk
jurnalistiknya tidak memenuhi standar. Oleh karena itu AJI mendorong media
untuk menerapkan pemberitaan yang berimbang, independen dan memenuhi kode etik.
Otokritik ini harus diakui, agar pemberitaan ke depan makin maju.
AJI juga mencatat, diskriminasi atas pekerja perempuan
juga terjadi di kantor-kantor media, dengan tidak dipenuhinya sejumlah hak
pekerja perempuan. Seperti hak cuti haid, hak cuti melahirkan dan hak melakukan
laktasi dengan memfasilitasi ruangan yang layak untuk itu.
AJI yang baru saja menggelar kongres pada 28-30
November 2014 lalu di Bukittinggi berusaha menjawab sejumlah persoalan di atas.
Untuk menjawab soal etik, AJI bertekad akan terus melakukan uji kompetensi
jurnalis yang sebelumnya diikuti dengan workshop-workshop soal etika
jurnalistik dan peningkatan keterampilan.
AJI memperkuat lembaga Majelis Etik yang ke depan bisa
melakukan penindakan terhadap anggota AJI yang terbukti melakukan pelanggaran
kode etik jurnalistik atau aturan organisasi. Majelis Etik Nasional AJI untuk
tiga tahun ke depan adalah Syofiardi Bachyul, Ahmad Taufik, Masduki, Nursyawal
dan Willy Pramudya.
Keputusan penting yang dibuat dalam Kongres AJI yang
mendudukkan Suwarjono sebagai Ketua Umum dan Arfi Bambani Amri sebagai
Sekretaris Jenderal adalah membuka keanggotaan AJI untuk jurnalis warga
(citizen journalist). AJI memandang, penguatan posisi jurnalis warga adalah
strategis untuk penguatan publik dan memberikan alternatif atas oligopoli media
yang terjadi saat ini.
Oleh karena itu, AJI menyatakan sebagai berikut:
  1. Mendesak
    Presiden Joko Widodo menunjukkan komitmen menjaga kebebasan pers dengan
    memerintahkan polisi dalam hal ini Kepala Kepolisian Republik Indonesia
    untuk mengusut tuntas kasus-kasus pembunuhan terhadap jurnalis;
  2. Menuntut
    Presiden Joko Widodo membuka selebar-lebarnya akses peliputan jurnalis
    baik dalam maupun luar negeri ke Papua serta menghapus lembaga Clearing
    House untuk setiap jurnalis asing yang ingin meliput ke sana;
  3. Mendesak
    Kepolisian mengikuti Memorandum of Understanding dengan Dewan Pers untuk
    menggunakan mekanisme penyelesaian perselisihan pemberitaan pers dengan
    menggunakan Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
  4. Meminta
    kepolisian mengusut setiap pelaku kekerasan terhadap jurnalis ke ranah
    hukum termasuk yang dilakukan oleh oknum kepolisian;
  5. Menuntut
    Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk merevisi Undang-undang
    Informatika dan Transaksi Elektronik khususnya Pasal 27 yang menjadi pintu
    masuk kriminalisasi atas kebebasan berpendapat di Internet;
  6. Mendesak
    perusahaan media untuk membuat kontrak kerja yang jelas, mematuhi UU
    Ketenagakerjaan, UU SJSN serta BPJS yang sudah diberlakukan untuk
    melindungi jurnalis dalam hal kesejahteraan, kecelakaan kerja, kesehatan
    serta hari tua. Kepersertaan jurnalis dalam program BPJS adalah wajib dan
    sudah harus didaftarkan oleh perusahaan media pada 1 Januari 2015.
  7. Meminta
    penanggung jawab media untuk menjaga independensi, keberimbangan, etika
    dan prinsip jurnalistik dalam pemberitaan.
Jakarta, 23 Desember 2014
Ketua
Umum                                                                                   
Sekretaris Jenderal
Suwarjono                                                               
                      
Arfi Bambani Amri