TERASLAMPUNG.COM, BANDARLAMPUNG — Akademisi Universitas Lampung (Unila) Dr. Saring Suhendro, SE, M.SI, Akt menilai Pemerintah Provinsi Lampung lebih mementingkan dirinya sendiri dalam hal pencairan Dana Bagi Hasil (DBH) tahun 2023.
Menurut Saring Suhendro, dengan ketidaktaatan Provinsi Lampung dalam mencairkan DBH, Pemprov Lampung hanya memikirkan dirinya sendiri mengabaikan kepentingan kabupaten/kota yang juga butuh dana.
“Karena ketidaktaatan terhadap sumber dan penggunaan yang dianggap uang masuk itu untuk apa saja tanpa ditandai dan malah untuk menutupi defisit mereka (Pemprov Lampung) sehingga dia sangat ego sekali mementingkan keselamatan entitas dia tidak memikirkan entitas kabupaten/kota,” jelasnya di Gedung E Fakultas Ekonomi Unila, Rabu, 15 Mei 2024.
Padahal, kata dia, fungsi kinerja provinsi merupakan kinerja kabupaten/kota. Kinerja provinsi naik terdongkrak dari masing-masing kinerja kabupaten/kota,” tambahnya.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unila itu menjelaskan dampak ketidaktertiban Pemprov Lampung dalam menyalurkan DBH. Salah satunya indeks pembangunan manusia di Lampung di bawah rata-rata nasional.
“Dampak bagi hasil yang ditunda itu Indeks pembangunan manusia kabupaten/kota di Lampung ini dibawah rata-rata nasional kecuali Kota Bandarlampung. Karena kabupaten/kota yang lain.itu sangat berharap dengan DBH ini kalo PAD bias di kota besar karena sumbernya pajak dan retribusi daerah. Masuk.ke daerah-daerah yang tidak ada sumber ekonomi sangat tergantung dengan DBH,” jelas pria asal Kabupaten Pringsewu itu.
Saring Suhendro mengatakan, di Lampung terjadi anomali. Lampung menjadi provinsi termiskin kedua se-Sumatera tapi Lampung juga sebagai provinsi dengan pertumbuhan ekonomi 13 terbaik secara nasional.
“Ini anomali, pertumbuhan ekonominya 13 terbesar tapi tingkat kemiskinannya terendah ke dua se-Sumatera. Yang bisa saya jelaskan kalau pertumbuhan ekonomi kan terpusat pada kelompok-kelompok tertentu. Dia menyumbang pertumbuhan ekonomi tapi pemerataannya tidak, untuk menciptakan pemerataan disini pentingnya peran pemerintah,” jelasnya.
Persoalan penyaluran Dana Bagi Hasil dari provinsi ke kabupaten/kota merupakan masalah klasik dan menjadi polemik nasional. Menurut Saring Suhendro sebenarnya masalahnya adalah kemauan dari Pemprov untuk taat pada aturan.
“Penyaluran DBH itu ketaatan dia (Pemprov) terhadap kewajiban melalui perdanya.Kalau penganggaran selalu kan pelaksanaannya di DPA-nya ada triwulan satu dan seterusnya. Ketika menganggarkan transfer daerah dalam bagi hasil mereka berdasarkan estimasi pendapatan yang dibagi artinya realisasinya,” jelasnya.
“Saya pernah baca tidak jelas cara baginya, ‘dikekep’ baginya. Sebenarnya tidak, kalau secara rumus karena dasar hukumnya ada dulu Undang-undang Nomor tiga tahun 2004 tentang perimbangan keuangan dan sekarang sudah diganti dengan UU Nomor 1 tahun 2022,” tambahnya.
Akademisi yang sedang menyiapkan tulisan jurnal tentang Dana Bagi Hasil itu menambahkan, penganggaran tentang DBH itu sudah jelas tinggal kemauan dari provinsi untuk membayarkan hak dari kabupaten/kota itu
“Kita bicara tentang DBH 2023 ada pedoman penyusunan APBD 2023 itu namanya Permendagri Nomor 84 tahun 2022 tentang pedoman penyusunan APBD tahun 2023. Nah disana dikatakan kalau provinsi menganggarkan bea balik nama kendaraan, PKB, itu 30 persen dialokasikan ke kabupaten/kota, pajak air permukaan 70 persen ke kabupaten/kota dan pembagiannya proporsional,” katanya.
“Harusnya Pemrov Lampung mengacu pada DAU jadi kalau yang sudah ditandai ini uang yang sumbernya dari dana bagi hasil tidak boleh digunakan untuk yang lain jadi dia taat dan patuh pada perda yang mereka buat,” pungkas Saring Suhendro.
DandyIbrahim