Pagi ini, Minggu, 4 Desember 2016, kawasan Monas, Jakarta kembali lebih meriah dibanding hari biasa. Woro-woro yang tersebar: hari ini di kawasan Monas digelar Aksi Budaya “Kita Indonesia”. Temanya tetap sama dengan ‘upacara’ serupa yang digelar kepolisian dan pemerintah daerah di seluruh Indonesia, beberapa hari lalu.
Bagi saya, meskipun tujuannya mungkin mulia, tetapi itu adalah aksi ganjil. Ganjil, karena pergelaran yang melibatkan banyak orang yang ‘terstruktur, masif, dan sistematis’ itu digerakkan hanya selang sehari setelah Aksi Damai 2 Desember 2016 (212). Kedua, pergelaran pagi ini juga terasa ganjil karena seolah menegaskan adanya persaingan antara yang propemerintah dan yang tidak. Lagi pula, bukanlah belum lama ini di antero Tanah Air sudah digelar aksi Bhineka Tunggal Ika untuk NKRI?
Kalau kita mau jujur dan menghargai prestasi pihak lain, aksi damai 212 adalah puncak aksi yang monumental. Jutaan orang datang ke Monas membawa pesan damai, dengan biaya sendiri, shalat Jumaat berjamaah bersama Presiden dan Wapres di antara rintik gerimis adalah fenomena yang sangat langka. Kalau itu ditarfsirkan sebagai puncak aksi damai, maka aksi serupa yang berusaha menyaingi akan terasa ‘njomplangnya’.
Dalam sudut pandang lain, aksi 412 yang diembel-embeli label budaya yang digelar di Monas pada hari ini seakan cari muka kepada Presiden Jokowi. Atau, setidaknya, hendak menangguk keuntungan denjgan menggelar perlu ‘upacara’ besar dengan memobilisasi massa, melibatkan kader partai, dan bahkan mungkin PNS. Syukur-syukur bisa menyaingi Aksi Damai 212.
Alih-alih mendapatkan simpati, aksi 4 Desember 2016 (412) justru menuai cibiran. Setidaknya cibiran di media sosial. Bukan saja cibiran dari mereka yang selama ini berpandangan berseberangan dengan mereka yang menggagas dan terlibat dalam acara ini, tetapi juga dari kelompok independen. Mereka mencibiir dan mengritik karena nuansa persaingan dengan aksi 212 tak bisa dinafikan. Lagi pula, kalau tujuannya adalah perdamaian dan keutuhan NKRI, bukankah aksi 212 kemarin sudah menunjukkan semua itu?
Di grup WA santer beredar informasi bahwa aksi 412 mendapatkan sokongan dari beberapa perusahaan. Bahkan, surat imbauan melakukan mobilisasi massa yang dilakukan sebuah perusahaan besar pun beredar di medsos. Dan tentu, seperti kita tahu dari sejumlah media online, para ketua partai yang juga kepala daerah juga mengerahkan kader partai untuk berangkat ke Jakarta untuk memeriahkan aksi hari ini.
Keaslian surat yang beredar di medsos itu memang masih perlu diperiksa lagi. Namun, dari sumber berita ketua partai publik menjadi tahu bahwa peserta aksi 412 sudah ditanggung biaya transportasinya. Artinya, perlu dana besar untuk memberangkatkan mereka ke Jakarta.
Dengan semua alasan di atas, saya menilai aksi 412 tidak lebih sebagai upacara yang kehilangan makna. Makna itu hilang karena, barangkali, ‘upacara’ itu diselenggarakan tidak dengan niat yang benar-benar tulus untuk perdamaian, keutuhan NKRI, dan makin kuatnya menghargai kebinekaan.
Oyos Saroso HN