Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Jumat lalu saat berada di Ibu Kota Negara karena ada sedikit pekerjaan yang harus diselesaikan, dan begitu tiba waktu untuk shalat Jumat, maka kami bergegas menuju masjid yang tidak jauh dari apartemen tempat kami menginap. Saat melaksanakan shalat sunaah rawatib sebagai rangkaian ritual ibadah, penulis duduk berdekatan dengan seseorang yang telah lebih dahulu tiba. Beliau tampak sekali khusuk melafazkan pujian pada Tuhan sambil memutarkan tasbih.
Sejurus kemudian khatib menaiki mimbar mengisi khutbah Jumat yang sangat bagus, beliau menguraikan keutamaan bulan Ramadan bagi orang muslim, yang sudah di depan mata akan tiba saatnya. Bagaimana sedekah itu yang selama ini diinterpretasikan banyak orang berupa benda, ternyata menurut beliau tidak demikian. Bahkan beliau mengatakan memberikan doa terbaik kepada orang lain yang tidak kita kenal pun akan mendapatkan pahala berlimpah dari Tuhan. Masih banyak lagi petuah-petuah keagamaan yang beliau sampaikan, dan tidak mungkin ditulis semua di sini. Beberapa menit kemudian khotbah selesai, dilanjutkan iqomah sebagai penanda shalat Jumat dimulai.
Karena orang yang tadi kelihatan khusuk tidak bangun, penulis ‘menowel’ pundak beliau untuk mengingatkan bahwa shalat akan dimulai. Beliau tampak gugup dan terkesiap lalu berdiri ambil posisi dan sama sama melaksanakan shalat berjamaah.
Ritual shalat selesai, tetapi beliau yang duduk persis di sebelah dari tadi tidak beranjak sama sekali, bahkan seolah-olah ada sesuatu yang ditunggu. Sejurus kemudian, setelah penulis selesai melaksanakan shalat jamak karena masih berstatus sebagai musafir, beliau yang duduk di samping penulis menghampiri dan seraya berkata “Pak, mohon maaf, apakah masjid ini masuk aliran baru ya?”
Penulis mendengar itu agak heran. “Maaf, maksud Bapak apa ya ?”
“Ini tadi kenapa kita langsung shalat. Tidak diawali khotbah Jumat terlebih dahulu?”
Sontak mendengar itu penulis menahan tawa dan menjawab.
”Khotbah sudah dilaksanakan… Bapak saat itu mungkin tertidur, sehingga tidak mendengar. Maka saat iqomah tadi Bapak saya bangunkan…”
Sontak beliau tersipu malu dan ijin pamit undur diri.
Sambil pulang jalan kaki menuju apartemen penulis merenung: beginilah banyak orang sekarang. Tidak paham awal cerita, begitu diminta komentar sangat berapi-api, seolah-olah paham betul dan ikut peristiwa yang dibahas. Padahal, sebenarnya yang bersangkutan tidak paham sama sekali. Persis seperti jamaah Jumat yang tertidur saat khatib naik mimbar. Dan begitu ditanya isi khotbah, menjawab menggunakan ilusi dan halusinasinya tanpa mengetahui apa sebenarnya yang ditanyakan.
Berlindung kepada jargon kebebasan berbicara dan atau menyatakan pendapat itu dilindungi undang-undang, maka dengan seenak jidat banyak orang terperangkap pada situasi “asal bunyi” atau “asal jawab”. Akibatnya, yang ditanyakan “apa”, jawabannya “ke mana”. Atau jawaban yang diberikan justru tidak menjawab pertanyaan, dan lebih parah lagi mengakibatkan yang bertanya jadi bertanya-tanya.
Semoga kita terhindar dari kebiasaan “asal bunyi” seperti di atas, sehingga paling tidak kita tidak menyumbangkan situasi untuk memperkeruh keadaan. Memang tidak selamanya diam itu emas, namun lebih bijak diam karena tidak paham, dari pada berkomentar yang bersumber dari ketidakpahaman.
Ibu Pertiwi sudah lelah memperhatikan tingkah kita, oleh sebab itu mari jeda sejenak guna bertanya pada diri untuk sekadar berkontemplasi “apa yang sudah kita perbuat untuk negeri”. Perlu juga kita pahami bahwa kita di dunia hanya sekedar melakonkan cerita kehidupan yang memiliki awal dan akhir, karena skenarionya sudah tertulis sebelum kita hadir.
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang sedang menjalankan. Semoga Tuhan selalu memberikan limpahan rahmat dan karunia untuk kita semua.
Salam waras!