Kita selama ini memahami amuk sebagai tindak kekerasan yang merusak dan menghancurkan. Amuk adalah ekspresi kemarahan. Hampir tidak pernah disadari bahwa amuk sejatinya adalah benih-benih kemarahan dan kebencian yang tidak terungkapkan yang ngendon dalam diri seseorang tiap saat bisa meledak. Penyebabnya bisa sentimen pribadi, urusan politik, benci kepada kepala daerah, atau akan merasa hati lega jika kelompok masyarakat lain tersingkir atau musnah.
Dalam ilmu sosial dan warta media massa, istilah amuk hampir selalu dipakai untuk menggambarkan tindakan komunal yang acap sulit diidentifikasi alias anonim. Massa adalah komunal. Ia sulit diindentifikasi dengan detail. Ia menjadi penyederhanaan dari anggota rinci suatu kelompok masyarakat tertentu.
Karenaa komunal, nyaris anomim, dan tidak rinci itulah banyak kasus yang melibatkan “massa” yang mengamuk (amuk massa) penyelesaian kasusnya menjadi tidak tuntas. Yang bisa diadili hanya beberapa gelintir orang, padahal kerugian yang ditimbulkannya sangat besar; baik harta maupun nyawa.
Kasus amuk di Tanjungbalai, Asahan, Sumut, pada Jumat tengah malam lalu (29/7) hanyalah satu di antara sekian banyak amuk massa yang benih-benihnya sudah bersemayam sejam lama. Maka itu, memadamkan api amuk seperti di Tanjungbalai, tidaklah sama caranya dengan memadamkan api yang melalap vihara dan klenteng. Juga bukan dengan sekadar menuntaskan persoalan hukumnya.
Amuk di Tanjungbalai kabarnya bermula dari soal sepele: soal tenggang rasa warga. Yang minoritas protes volume toa masjid, sedangkan yang mayoritas tidak mau disalahkan begitu saja. Komunikasi buruk, dialog buntu. Akhirnya, media sosial pun menjadi pemantik jitu untuk meledakkan kemarahan komunal.
Amuk massa di Tanjungbalai adalah gambaran kita hari ini. Kita yang merasa memiliki budaya adilihung, toleransi tinggi, religius, dan berkeadilan tetapi mudah marah jika harga dirinya sedikit disinggung atau dilecehkan. Kita masih lebih ringan tangan untuk merusak, menghancurkan, dan bersemangat membinasakan ketimbang menciptakan rasa damai dan rasa cinta. Masih butuh waktu lama bagi kita (Indonesia) untuk bisa mengelola rasa dan tindakan — juga kebencian yang sangat — agar tidak merugikan orang lain dan berpotensi membakar negara.