Oyos Saroso H.N.
Seorang pemuda bertampang jagoan bersama kawan dan pacarnya yang berusia belasan tahun menyambangi seorang pemuda belasan tahun. Tujuannya cuma satu: untuk membuat perhitungan terkait dengan aduan pacarnya. Sempat berdebat sebentar dengan sang pemuda belasan tahun yang dianggap lawan, pemuda 20-n tahun anak pejabat pajak yang tajir melintir itu pun kemudian ‘menghabisi’ pemuda belasan tahun hingga tersungkur.
Belum puas, ia masih menginjak kepala dan tubuh pemuda belasan tahun yang sudah tak berdaya.
Masih beruntung, pemuda belasan tahun itu masih hidup saat dilarikan ke rumah sakit.Ia koma hingga beberapa hari. Videonya pun menyebar di media sosial. Reaksi publik datang bak air bah. Umumnya mengutuk aksi brutal yang hanya layak dipertontonkan sejenis binatang buas.
Polisi pun cepat bertindak. Pemuda sok jagoan itu dicokok tanpa perlawanan. Namun dasar jagoan, tampangnya yang tersebar di layar kaca dan media sosial sama sekali tidak menunjukkan ia menyesal. Atau setidaknya nyalinya ciut karena tangannya diborgol dan ia sedang diproses hukum di kepolisian. Tidak. Wajah pemuda itu tampak dingin. Seperti jagoan.
Tak lama kemudian ayahnya, Rafael Alun Trisambodo, meminta maaf kepada keluarga korban. Sehari kemudian, Menteri Keuangan mengumumkan ayah sang jagoan dicopot dari jabatannya sebagai pejabat struktural. Hanya dalam hitungan jam, ayah sang jagoan mengumumkan pengunduran dirinya sebagai aparatur sipil negara (ASN).
Meski sang ayang mundur sebagai ASN di Direktorat Jenderal Pajak dan mau mempertanggungjawabkan soal kekayaannya, masalah tidak otomatis selesai. Lantaran ia telanjur jadi pusat perhatian, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun bergerak. Maklum, harta kekayaan Rafael tidak kaleng-kaleng jumlanya. Mencapai Rp50 miliar lebih. Kabarnya, PPATK mengendus adanya dugaan transaksi mencurigakan di rekening Rafael Alun Trisambodo.
Saat menggelar konferensi pers, Jumat (24/2/2023), Menteri Keuangan Sri Mulyani jelas-jelas beberapa kali menyebut kata ‘pengkhianatan’. Kata itu disematkan Sri Mulyani untuk merujuk pada perilaku suka memamerkan gaya hidup mewah di kalangan pegawai (pejabat tinggi) Departemen Keuangan (wabil khusus Direktorat Jenderal Pajak). Sri pun mengajak masyarakat untuk mengawasi dan melaporkan perilaku tak wajar anak buahnya. Ia berjanji akan menindak tegas. Ia mengklaim sedang menyusun perangkat peraturan untuk menindak pegawai Departemen Keuangan yang berlaku curang atau ‘mengkhianati perjuangan’ kementerian yang dipimpinnya untuk mendapatkan kepercayaan publik.
Perilaku buruk anak yang menyebabkan orang tuanya repot atau menuai masalah dalam istilah ‘Jerman’ (jejer Kauman) atau di Jawa disebut ‘anak polah bapa kepradhah‘. Peribahasa ini pas untuk menggambarkan kasus penganiayaan sadis yang dilakukan Mario Dandy Satriyo (MDS) –putra mantan pejabat tinggi pajak Rafael Alun Trisambodo — terhadap remaja belasan tahun bernama David. Bukan saja ayahnya jadi malu. Kelakuan Mario juga membuat orang tuanya stres dan berpeluang terseret ke dalam kasus hukum.
Seandainya MDS tidak suka pamer gaya hidup mewah lalu mengunggahnya di media sosial, seandainya ia tidak sok jagoan dengan ‘menghabisi’ remaja belasan tahun hingga koma, barangkali publik tidak pernah tahu ada pejabat tinggi Dirjen Pajak yang punya kekayaan begitu besar. Barangkali, Menteri Keuangan juga tidak dengan tiba-tiba membuat aturan untuk mengawasi perilaku buruk anak buahnya.
Sebagian publik tentu masih ada yang berpikir positif bahwa pejabat tinggi (apalagi pejabat tinggi di Dirjen Pajak) memang pantas punya kekayaan super jumbo. Apa salahnya pejabat tinggi kaya raya? Bukankah mereka juga bisa punya bisnis, tabungan besar, atau warisan dalam jumlah jumbo pula? Jadi wajar kalau mereka superkaya.
Namun, sebagian publik juga ada yang meragukan seorang pejabat tinggi bisa punya kekayaan puluhan miliar jika hanya menjadi ASN. Artinya, ada kemungkinan harta itu dikumpulkan dari ‘main miring’ alias ‘jalan tak lurus’ sebagai pejabat. Kalau itu yang terjadi, maka peribahasa bahasa Jawa anak polah bapa kepradhah pun mesti ditambah kalimatnya. Atau mungkin diganti dengan ‘anak lan bapa polah wong sejagat kepradhah‘ (anak dan ayah berperilaku buruk, orang sedunia jadi repot).