Antara Akademisi, Birokrat, dan Jurnalis

Ridwan Saifuddin
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Ridwan Saifuddin 
Peneliti Balitbangda Provinsi Lampung*

Tidak mudah menjumpai debat publik yang terinformasi sains dengan baik, bahkan tentang isu-isu sosial yang membutuhkan solusi berbasis ilmu pengetahuan. Apalagi pada era media dalam jaringan. Debat yang banyak kita saksikan tak lebih kegaduhan yang jauh dari nuansa ilmiah, sehingga tidak menghasilkan apa-apa, kecuali kegaduhan itu sendiri.

Ini tidak hanya banyak kita jumpai di ruang-ruang publik, baik tatap muka nyata maupun online di beragam platform media, melainkan juga dengan mudah kita temukan di forum-forum resmi pemerintahan dan perguruan tinggi.

Frasa dari pengetahuan menjadi kebijakan (from knowledge to policy) masih seperti ‘barang langka’ yang sulit ditemukan. Advokasi kalangan akademisi terhadap pengambilan kebijakan pun umumnya tidak sampai pada efektivitas eksekusinya dalam bentuk kegiatan, tetapi baru sampai pada formulasi program yang cenderung bias dalam penjabarannya.

Sekadar contoh, dalam soal kemiskinan. Sampai di mana peran sains memberikan solusi yang efektif mengatasi masalah tersebut? Biasanya kemudian mengemuka laporan-laporan statistik makro, semisal pertumbuhan ekonomi, rasio ketimpangan, inflasi, dan sejenisnya yang dijadikan alas legitimasi seolah-olah kebijakan terkait kemiskinan sudah berbasis bukti.

Bisa difahami, jika forum-forum diskusi antara birokrat dan akademisi biasanya tak banyak diwarnai debat ilmiah yang tajam dalam isu tertentu. Birokrat menyerahkan aspek akademik (ideal) kepada akademisi; sementara akademisi menyerahkan keputusan kebijakan pada birokrasi. Pembagian tugas yang sempurna, bukan? Soal bagaimana kebijakan yang diambil itu dilaksanakan, umumnya tidak cukup mendapat tempat untuk dikritisi bersama.

Belum tersedia mekanisme yang teruji untuk memastikan kehadiran sains dalam proses perumusan kebijakan. Juga dukungan dalam rangka meningkatkan dampak kajian-kajian akademis terhadap kebijakan publik.

Keterlibatan akademisi yang efektif dalam perumusan kebijakan tidak cukup dengan komunikasi yang bersifat umum. Peran efektif itu bukan sekadar mengundang rapat, atau membuat penelitian/kajian tersedia. Perlu mekanisme pemanfaatan bukti (evidence) oleh pengambil keputusan, juga kepercayaan bahwa penggunaan bukti dan informasi sains bermanfaat bagi kebijakan. Landasan saling percaya ini penting dibangun bersama.

Artinya, sains untuk kebijakan tergantung dua belah pihak. Di satu sisi, pemahaman tentang sistem pengambilan kebijakan, siapa saja yang terlibat, faktor kunci, dan proses pengambilan keputusan perlu direfleksikan dalam desain kebijakan yang jelas. Akar masalah diidentifikasi, dengan bahasa yang lugas dan sederhana, sehingga mudah difahami semua unsur terkait.

Pada saat yang sama, membangun keterlibatan yang efektif juga berarti membangun komunikasi efektif. Pembuat kebijakan dituntut mampu membangun pemikiran logis (alih-alih administratif), argumentasi strategis, juga membuat jejaring sinergi dan kolaborasi di internal dan eksternal birokrasi.

Barangkali, akademisi masih kekurangan waktu untuk membangun kemampuan komunikasi sains yang baik; pada saat yang sama birokrat juga kurang mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk merumuskan desain kebijakan yang efektif dan solutif.

Jurnalisme Sains

Peran jurnalisme penting dalam memediasi sains, kebijakan, dan aspirasi publik yang selama ini belum mendapat porsi yang cukup. Lebih lagi pada era media daring, di mana ukuran konten online lebih ditentukan umpan klik (clickbait). Akibatnya, disinformasi dan misinformasi meruah.

Ananyo Bhattacharya, kepala editor online “Nature,” menulis di laman The Guardian (17 Jan 2012), jika reporter menulis cerita seperti yang diinginkan ilmuwan, hanya sedikit orang yang akan membaca liputan sains itu. Namun, meniadakan peran jurnalis dan membiarkan akademisi (peneliti) berbicara langsung kepada publik, juga bukan pilihan yang baik.

Media penting perannya sebagai wahana debat publik. Namun, bagaimana debat cukup terinformasi sains, itu menjadi satu hal yang urgen. Soalnya adalah, jurnalis memiliki formula penulisan yang berbeda dengan peneliti. Menyajikan materi sains dengan struktur standar penulisan jurnalistik, membutuhkan keterampilan khusus.

Dikenal perbedaan antara komunikasi sains (science communication) dan jurnalisme sains (science journalism); yang pertama dilakukan oleh ilmuan dalam bidang ilmunya sendiri, sedang yang kedua penyebarluasan ilmu pengetahuan dilakukan oleh non-saintis baik yang berprofesi jurnalis atau bukan.

Peneliti (akademisi) perlu melatih keterampilan komunikasi sains dengan struktur penulisan yang lebih populer dan padat. Seperti model penulisan berita, di mana hal paling menarik publik ditempatkan di awal, baru diikuti latar belakang. Bagaimana memodifikasi tulisan ilmiah menjadi populer dengan kalimat yang lebih ringkas, meminimalisir bahasa teknis akademik, sehingga pembaca tidak bosan sekaligus paham.

Sementara, jurnalis pun perlu memperluas wawasan dengan mengakses hasil-hasil riset akademik, memberikan ulasan, dan menulis ulang dalam bentuk yang lebih friendly bagi publik. Hasil riset pada dasarnya merupakan bagian dari fakta. Karena itu jurnalisme sains merupakan bentuk lain dari jurnalisme investigasi. Ketelatenan penulis bisa menghasilkan laporan yang kaya wawasan, mencerahkan, sekaligus enak dibaca awam.

Ini barangkali salah satu cara meningkatnya literasi kita. Meningkatkan mutu informasi media yang lebih terekspose sains. Akademisi tidak boleh berpuas diri memproduksi karya ilmiahnya dan mendiseminasikan hanya dalam jurnal dan pertemuan-pertemuan ilmiah. Jurnalis pun tak cukup hanya memproduksi tulisan atas dasar omongan-omongan, katanya, alih-alih status di sosial media.

Akademisi bisa menjadi “penyeimbang” informasi yang beredar di media massa; jurnalis pun bisa menjadi “mitra kritis” dengan mengungkap kekurangan dari hasil karya akademisi, sambil memberikan informasi penyeimbang untuk membangun wawasan yang lebih matang.***

* Opini ini merupakan pendapat pribadi penulis dan tidak mewakili pendapat lembaga.