Oleh Ismail Fahmi
Ini tulisan ringan saja. Tentang pengalaman saya menjadi kontributor TV One untuk kawasan Australia dan mengabarkan update demi update mengenai musibah MH370.
TV One? Betul, TV yang sedang dikritik pedas banyak kalangan akibat menyiarkan gambar korban QZ8501.
Setelah diduga MH370 jatuh di kawasan Samudera Hindia yang sangat dekat ke Australia, Pemerintah Australia pun langung tancap gas memimpin proses pencarian pesawat. Selain karena faktor lokasi, di antara ratusan korban jiwa, enam orang di antaranya adalah warga negara Australia. Seperti negara-negara lainnya, Australia berduka.
Tugas saya sebagai kontributor tentu saja mencari data dan informasi sebanyak mungkin mengenai MH370. Asumsinya, posisi saya di Australia memungkinkan saya untuk mendapat data dan informasi lebih banyak dan lebih akurat. Dan memang asumsi itu ada betulnya. Karena sangat sering sekali media Australia baik itu televisi, radio, cetak, dan online mengangkat berita mengenai ini. Headline? Itu sudah pasti.
Ternyata, sekalipun gaung musibah MH370 begitu mendunia, cara dan gaya media Australia mengangkat peristiwa ini sungguh sangat berbeda dengan apa yang kita lihat di Indonesia. Kabar yang diedarkan tidak didominasi banyak spekulasi, teori, dan konspirasi ini itu. Selain itu, media Australia pun relatif tidak gemar menyiarkan tayangan dengan gaya penyampaian penuh drama yang biasanya melibatkan kabar dan gambar tangis dan duka dari keluarga korban.
Ketidaksimpangsiuran berita terjadi karena Pemerintah Australia memastikan bahwa pintu informasi mengenai berbagai perkembangan pencarian MH370 dipastikan hanya melalui satu pintu. Pertama kali melalui siaran pers yang dikeluarkan oleh Australian Maritime Safety Authority (AMSA) dan kemudian melalui Joint Agency Coordination Center (JACC). Institusi terakhir dibentuk secara khusus untuk melayani kebutuhan informasi publik mengenai perkembangan pencarian MH370.
Setelah JACC dibentuk, AMSA pun di-non-aktifkan dari fungsinya sebagai penerangan publik pencarian MH370. Intinya, informasi publik kembali hanya lewat satu pintu. Di luar sumber resmi itu, orang pun sungkan untuk memberikan komentar.
Waktu pertama kali dihubungi TV One untuk memberitakan pencarian MH370, saya langsung mencari ahli di bidang penerbangan asal Indonesia yang berada di Australia. Orang pertama yang saya hubungi adalah Mas Bagus Nugroho, mahasiswa PhD Indonesia di bidang Fluid Mechanic di the University of Melbourne. Kalau melihat profilnya secara lebih lengkap, saya hakkul yakin Mas Bagus bisa bicara tentang berbagai teori terkait hilangnya MH370. Tapi, dia menolak untuk berkomentar karena dia merasa bukan orang yang tepat. Sebagai wartawan saya kecewa karena kehilangan narasumber. Tapi pada saat bersamaan saya acung jempol. Pasalnya, ia memilih untuk tidak berkomentar jika hanya menambah kesimpangsiuran berita.
Ini berbeda dengan di Indonesia. Seingat saya, sangat jarang calon narasumber menolak permintaan wawancara. Sekalipun narasumber itu hanya punya teori ini dan itu tanpa tahu betul-betul kondisi di lapangan.
Balik lagi ke Pemerintah Australia. Dalam praktiknya, Pemerintah Australia seingat saya tidak pernah mengeluarkan pernyataan tanpa dilandasi bukti dan data. Dengan cara seperti itu, informasi betul-betul akurat, jelas, dan dapat dipertanggungjawabkan. Saya pun sebagai wartawan menjadi sangat percaya diri mengabarkan berbagai perkembangan karena yakin bahwa informasi yang saya sampaikan tidak akan membuat publik semakin bingung.
Lalu, bagaimana dengan isu privasi?
Perlu diakui, secara umum, pemerintah dan warga Australia memang sangat menjunjung tinggi privasi seseorang. Misalnya saja, kita tidak bisa sembarangan ambil foto/video seseorang (sekalipun di tempat umum) tanpa seizin orang yang bersangkutan (kalau anak kecil, kita harus izin orang tuanya). Akibatnya, saya pun sangat-sangat-sangat jarang mengambil gambar close-up wajah orang.
Dan kalau menyangkut informasi yang akan disiarkan melalui media massa, itu akan jauh-jauh-jauh lebih sulit lagi. Biasanya kita bahkan perlu membuat izin dalam bentuk surat dengan butir-butir perjanjian di dalamnya. Surat itu namanya consent letter. Lebih jauh lagi, para pelanggar privasi pun bisa dijerat hukum. Akibat dari semua itu, tentu adalah mustahil bagi wartawan untuk dapat menggali informasi tanpa memikirkan prinsip ke-privasi-an dan kehati-hatian.
Selama peristiwa pencarian MH370, gambar-gambar yang beredar tidak mengumbar tangis para keluarga korban. Gambar didominasi dengan konferensi pers dan proses pencarian (yang hanya gambar pilot, pesawat pencari, dan laut). Media massa cetak dan online pun sangat minim memuat pernyataan dari para keluarga korban.
Saya sangat melihat bahwa media massa di Australia “menjaga jarak” dan “memberikan ruang” bagi keluarga korban agar bisa lebih tenang menghadapi musibah yang terjadi. Ini tentu sangat berbeda sekali dengan di Indonesia.
Pengalaman menjadi wartawan di Indonesia, umumnya orang sangat ingin tampil di media. Apalagi televisi. Begitu kamera on, tidak sedikit orang yang secara sukarela pasang badan supaya terekam. Kalau sudah begini tentu izin menjadi tidak perlu lagi. Istilah populernya, banci tampil.
Mayoritas warga di Indonesia pun bisa dengan mudahnya memberikan komentarnya kepada media massa. Umumnya mereka bisa dengan mudah bicara satu hal tanpa memikirkan konsekuensinya.
Misalnya, jika ada seseorang membunuh anggota keluarganya dengan cara mengenaskan, tetangga atau siapa pun yang kenal dengan pelaku akan dengan mudahnya bicara melalui media massa mengenai sosok pelaku. Ini namanya, ghibah (gosip) masal.
Kemampuan mayoritas warga di Indonesia untuk dapat membedakan informasi apa saja yang bisa dipublikkan, nampaknya memang perlu lebih banyak jam terbang.
Perilaku sebagian besar warga kita pun bertepuk dua tangan dengan perilaku media massa kita. Walhasil, ketika terjadi suatu musibah, berbagai informasi dan gambar bersliweran dengan mudah di media massa. Tidak peduli informasi itu benar atau salah. Pun tidak peduli apakah informasi/gambar/video yang beredar itu layak atau tidak. Media massa pun jadi gemar memblejeti berbagai angle untuk mengupas sebuah peristiwa setuntas-tuntasnya tanpa peduli batas-batas mana yang tidak bisa dilanggar.
Kasus terkait penyiaran gambar korban QZ8501 terjadi ketika ada awak dua televisi swasta nasional (TV One dan Metro TV) yang ikut serta di dalam helikopter pengevakuasi. Akhirnya visual gambar korban pun terekam oleh media tersebut. TV One menyiarkan gambar itu paling awal. Sementara Metro TV dan TVRI juga menayangkannya namun agak terlambat (mengenai ini bisa lihat tanggapan dari Mbak Fitri dan penjelasan serta link berita dari Mas Muhammad Fahreza Sinambela di kolom komentar).
Sementara itu, informasi terbaru menyebutkan, gambar tersebut berasal dari Basarnas (simak pernyataan dari Mas Gnuga di kolom komentar). Pihak TV One, Metro TV dan TVRI sejauh pengamatan saya sampai saat ini belum juga memberikan klarifikasinya. (Mohon koreksi jika saya salah dan keliru)
Persoalan apakah awak media dapat ikut serta proses evakuasi korban QZ8501 memang masih bisa diperdebatkan. Namun, pada saat pencarian MH370 berlangsung, tidak ada satu pun media Australia yang bisa ikut serta misi pencarian. Visual pencarian yang diedarkan diambil oleh pihak pemerintah. Memang ada beberapa media asing yang ikut misi pencarian. Namun beberapa media asing itu hanya berada di pesawat negara mereka yang ikut misi pencarian (misalnya media dari Tiongkok dan Amerika Serikat).
Singkatnya, mengabarkan perkembangan pencarian MH370 dari bumi Kangguru memberikan saya banyak pelajaran. Terutama, saya menyadari, media massa di Indonesia perlu banyak lagi belajar tentang privasi dan prinsip kehati-hatian. Pemerintah dan publik pun harus lebih tegas dan lebih galak lagi mengawal media.
* Tulisan ini bersumber dari catatan Ismail Fahmi. Ismail Fahmi adalah alumni University of Melbourne jurusan Media, Culture, and Commnunication