Oleh Syarief Makhya
Minggu ini, semua calon kepala daerah sedang melangsungkan debat terbuka yang menjadi salah satu syarat yang harus diikuti olh pasangan calon kepala daerah dan bagian penting dalam tahapan pemilihan. Dalam debat kandidat masing-masing calon menyampaikan visi, misi dan program kerjanya dan kemudian dilanjutkan dengan menjawab beberapa pertanyaan dari panelis, serta diantara calon juga saling bertanya dan memberi jawaban.
Persoalannya, apakah dengan debat kandidat akan berdampak dan mempengaruhi kepada masyarakat sebagai pemilih atau tidak?
Melalui debat terbuka harapannya agar rakyat bisa menentukan pilihannya atas dasar kualitas dan ekspetasi melalui program kerja kepala daerah . Tentu saja rakyat juga akan memilih pemimpin yang rekam jejaknya dinilai memiliki integritas, karakter kepemimpinan yang kuat, bersahaja dan secara kultural bisa diterima oleh masyarakatnya.
Dengan begitu, pemilihan kepala daerah idealnya lebih mngedepankan adu gagasan yang rasional dan terukur serta komitmen untuk melakukan perubahan untulk perbaikan dan kemajuan daerahnya.
Konsekuensinya, pilkada harus bebas dari pengaruh politik uang, pemberian hadiah, atau acara hiburan rakyat secara berlebihan, tapi melalui debat kandidat, pemilih bisa menentukan hak politik mereka berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak para calon pemimpin. Debat kandidat menjadi sarana yang efektif untuk mengukur kecakapan, pemahaman, dan komitmen calon terhadap masalah-masalah yang dihadapi daerah, serta untuk memberikan informasi yang jelas bagi pemilih dalam membuat keputusan yang tepat.
Dengan demikian, pilkada yang bebas dari pengaruh negatif dapat memastikan bahwa pemilihan dilakukan secara demokratis dan adil, memberikan ruang bagi suara rakyat yang benar-benar berdasarkan kualitas calon dan kebutuhan masyarakat.
Seraya berharap demikian, mungkinkah gambaran pilkada yang ideal tersebut bisa diwujudkan? Selama dilangsungkannya pemilihan kepala daerah yang sudah berlangsung empat kali, realitas politik dalam perebutan kekuasaan di level gubernur atau bupati/walikota lebih didominasi dengan pendekatan yang bersifat transaksional atau berfokus pada pengaruh kekuatan politik uang, keberpihakan media, dan pencitraan personal, ketimbang perdebatan ide dan program yang substansial.
Realitas Profil Pemilih
Dalam pemilihan kepala daerah langsung, pemenang kontestasi politik ditentukan oleh suara mayoritas pemilih. Kandidat dengan perolehan suara yang paling tinggi dinyatakan sebagai pemenang dan berhak dinyatakan sebagai kepala daerah terpilih. Dalam cara pandang ini maka rakyat ditempatkan sebagai variabel penentu dalam merebut kekuasaan di daerah.
Oleh karena itu, profil pemilih menjadi salah satu penentu kemenangan. Jika ditilik bagaimana profil pemilih pilkada saat ini, mayoritas pemilih berasal dari penduduk desa dengan tingkat pendidikan dan pendapatan menengah ke bawah. Profil pemilih seperti ini cenderung menentukan pilihannya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat pragmatis dan emosional, seperti hubungan personal, pendekatan transaksional, serta janji-janji yang langsung menyentuh kebutuhan dasar mereka.
Pemilih dengan latar belakang pendidikan rendah dan pendapatan terbatas sering kali lebih rentan terhadap praktik politik uang, iming-iming pemberian sembako, atau janji-janji pembangunan yang bersifat sesaat. Mereka cenderung memilih calon yang mampu memberikan sesuatu yang konkret atau langsung dapat dirasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari, meskipun itu bukan solusi jangka panjang atau berbasis program yang rasional.
Selain itu, faktor kedekatan personal dan identitas sosial seperti etnisitas, agama, dan hubungan kekerabatan sering kali memainkan peran yang besar dalam menentukan pilihan. Dalam konteks ini, para calon yang mampu membangun jaringan dukungan berbasis komunitas atau mengandalkan popularitas lokal seringkali memiliki keunggulan, meskipun mereka tidak menawarkan program yang substantif.
Namun, ini juga berarti bahwa kesadaran politik dan pendidikan pemilih menjadi faktor yang sangat penting dalam mengubah pola pilih ini. Pemilih dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi atau mereka yang memiliki akses informasi yang lebih baik cenderung memilih berdasarkan kualitas program dan visi-misi calon, dibandingkan dengan hanya mengandalkan faktor pribadi atau materi.
Kekuatan Politik Uang
Berbagai faktor mempengaruhi perilaku pemilih dalam pilkada, namun pada kenyataannya, persaingan dalam pemilihan kepala daerah seringkali tidak ditentukan oleh debat, adu gagasan, atau program-program yang ditawarkan.
Mengingat karakteristik pemilih yang sebagian besar berasal dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah, dengan tingkat pendidikan dan pendapatan yang masih rendah, serta identitas sosial-kultural yang kuat, profil pemilih seperti ini sering dimanfaatkan oleh para kandidat untuk memengaruhi pilihan mereka melalui politik uang, pemberian hadiah, serta kegiatan keagamaan dan hiburan yang menarik bagi masyarakat lapisan bawah.
Pemilih dari kalangan masyarakat lapisan bawah cenderung merasa senang dan tanpa pertimbangan lebih lanjut ketika menerima amplop atau bingkisan, dan kemudian memberikan suaranya kepada kandidat yang memberi bantuan tersebut.
Fenomena ini sering kali sulit dikendalikan oleh Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) dan cenderung dibiarkan, karena hingga kini masih ada kesulitan dalam membedakan antara sosialisasi kandidat dan kampanye yang sesungguhnya.
Jika diperhatikan, sebagian besar calon kepala daerah biasanya intensif melakukan kampanye pada pekan terakhir menjelang hari pencoblosan. Pada saat ini, istilah “serangan fajar” sering digunakan untuk menggambarkan momen ketika politik uang disebarkan secara masif, dengan tujuan mempengaruhi pilihan pemilih di saat-saat terakhir.
Kecenderungan dominasi politik uang yang masif telah mengaburkan esensi debat kandidat calon kepala daerah.
Meskipun debat kandidat seharusnya menjadi sarana penting untuk memberikan pendidikan politik kepada masyarakat, serta memberikan ruang bagi pemilih untuk menilai calon kepala daerah berdasarkan visi, misi, dan program yang ditawarkan, kenyataannya hal tersebut seringkali terlupakan.
Gempuran politik uang, pemberian hadiah, dan bantuan-bantuan lainnya dapat dengan mudah mengalihkan perhatian pemilih, mengurangi fokus mereka pada substansi debat dan lebih mengutamakan keuntungan langsung yang diterima.
*) Syarief Makhya, Dosen FISIP Universitas Lampung