Opini  

Arinal Djunaidi Versus Nadiem Makarim

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya
Akademisi FISIP Universitas Lampung

Gara-gara Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengeluarkan kebijakan penundaan pembelajaran tatap muka, Gubernur Lampung Arinal Djunaedi menantang Nadiem Makarim. Itulah berita yang ramai tersiar di media massa dan medis sosial di Lampung pada 24 Agustus 2021.

Ada dua penafsiran tantangan Arinal ke Nadiem tersebut, yaitu Gubernur Lampung tidak setuju dengan kebijakan penundaan pembelajaran tatap muka, dan mengajak dialog kebijakan. Sikap yang ditafsirkan media dengan istilah menantang sebenarnya bukan sikap emosionl atau temperamental yang melekat dalam diri Arinal, tetapi dalam konteks kebijakan publik, menentang atau tidak setuju dengan pilihan kebijakan sesuatu keniscayaan sebagi wujud dari adu arumen kebijakan publik.

Di era reformasi sekarang, fenomena terjadinya konflik kebijakan antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat sesuatu yang biasa karena secara hirarki pada kebijakan tertentu Pemerintah Pusat memiliki otoritas membuat kebijakan dan Pemerintah Daerah kapasitas nya hanya sebagai pelaksana. Jadi, wajar kalau ada ketidak-setujan Daerah dengan Pusat, karena faktor lingkungan sosial, ekonomi dan politik setiap Daerah sangat beragam serta proses pembuatan kebijakannya yang tidak melibatkan pemerintah daerah.

Namun, otoritas pemerintahan tersebut dalam prosesnya harus dibicarakan dengan pemerintah daerah untuk mengakomodasi aspirasi dan kepentingan daerah serta memnimalisir resistensi kebijakan. Persoalannya bahwa dalam konteks situasi sekarang ini, dengaan pemanfaatan teknologi informasi, fasilitas Zoom, HP atau media sosial sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak mendialogkan isu kebijakan. Faktor keterdesakan waktu tidak cukup dijadikan alasan kalau kebijakan itu diputuskan secara mendadak dan sepihak tanpa dibicarakan dan diperdebatkan terlebih dahulu dengan stakeholdersnya..
Jadi, pertentangan antara Arinal dengan Nadiem lebih condong karena persoalan tidak ada dialog kebijakan sehingga persoalan implementasi kebijakan dianggap enteng dan tidak membawa dampak terhadap pelaksana di daerah.

Kemendikbud mengeluarkan kebijakan penundaan pembelajaran tatap muka secara mendadak karena keadaan yang tidak bisa dipahami dalam kondisi normal. Dalam kondisi ini, maka dimensi konteks kebijakan lebih diutamakan dalam mengatasi masalah Covid-19. Namun, dimensi konteks akan bisa kehilangan nilai mendesaknya karena tidak melalui proses terlebih dahulu.

Konflik Kebijakan

Kebijakan publik dalam prosesnya akan selalu berhadapan dengan keragaman aktor, kepentingan, nilai, kekuasaan, informasi dan lain sebagainya. Pada penanganan kasus Covid 19, karena dikategorikan sebagai bencana nasional, maka tanggungjawab dan kewenangan untuk menanganinya berada pada pemerintah pusat. Kebijakan yang berkaitan dengan anggaran, regulasi, PPKM, aktivitas kantor, penetapan libur nasional, program Vaksin, termasuk penundaan belajar kewenangannya berada pada pemerintah pusat.

Dalam perspektif demikian, maka posisi Pemerintah Daerah dalam penanganan Covid hanya sebagai pelaksana kebijakan. Kepala daerah, baik gubernur atau walikota/ bupati tahu persis kewenangan tersebut. Dalam posisi Daerah sebagai pelaksana atau implementor tugas hanya mentaati regulasi dan melaksanakan program-program yang sudah ditetapkan.

Problemnya, dalam implementasi kebijakan tidak sesederhana yang dibayangkan oleh Pemerintah Pusat. Misalnnya, kebijakan Kemendikbud untuk melarang proses belajar mengajar dari SD sampai PT dilakukan dengan luring dan harus dilakukan dengan daring atau online setiap daerah kondisinya tidak sama.

Di beberapa kabupaten di Lampung, seperti Lampung Barat, Pesisir Barat, Kabupaten Mesuji, dan Kabupaten yang akses jaringan internet dan listriknya belum ada atau masih terbatas jangkauannya, maka praktis pembelajaran online akan gagal. Ini lah yang diduga Gubernur Arinal Junaedi, mempertanyakan kebijakan Mendikbud menunda pembelajaran tatap muka.

Bagaimana mengatasi konflik kebijakan? Kebijakan publik adalah realitas yang sangat rumit karena sarat dengan berbagai kepentingan dan beresiko berhasil atau gagal. Jadi, konflik kepentingan pasti akan terjadi. Upaya mengatasi konflik dalam kebijakan khususnya pada penanganan Covid 19 kata kuncinya adalah efektivitas kebijakan, komunikasi kebijakan, dan sesuai dengan kondisi lingkungannya.

Prinsipnya dalam implementasi kebijakan harus efektif yang diukur oleh ketersedian dan dukungan sumberdaya untuk mensukseskan seluruh program Covid-19.

Komunikasi kebijakan menjadi penting untuk menyamakan persepsi dan mendialogkan perbedaan kepentingan agar bisa mencari titik temu untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dengan komunikasi kebijakan, maka sebenarnya tidak perlu ada tantang-menantang antara Arinal dengan Nadiem. Kemudian, faktor latar lingkungan sosial, budaya, politik dan infrastruktur setiap daerah berbeda, maka bentuk intervensi dari pemerintah pusat harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan tersebut.***