TERASLAMPUNG.COM, Semarang – Kreativitas tanpa batas. Buktinya, Aryo Sunaryo perupa sepuh kelahiran Kudus 31 Agustus 1950 ini, meski dalam suasana pandemi Covid -19 bakal menggelar pameran tunggal di TAN Artspace, Papandayan 11, Semarang, dari 6 Juni – 18 Juni 2021.
Pensiunan dosen Jurusan Seni Rupa Universitas Negeri Semarang (Unnes) ini dalam pameran bertajuk : “Sketsa Plus” yang ditaja Semarang Skecthwalk ini sekurangnya akan menaja 27 buah karyanya berukuran besar kecil. Pameran ini merupakan seri pameran arisan yang menjadi agenda Komunitas Semarang Skecthwalk.
Ketua Semarang Sketchwalk (SSW) Ratna Sawitri mengatakan, pameran merupakan salah satu upaya dari SSW untuk memberi ruang kepada perupa Semarang. Selain itu juga untuk menumbuhkan iklim berkesenian khususnya senirupa. Pameran akan dibuka oleh seniman Semarang Mike Lo menghadirkan perupa sepuh Aryo Sunaryo. “Perupa Aryo Sunaryo ini menjadi contoh sekaligus mentor kami di SSW.
Semangat beliau dan karya-karyanya yang indah dan inspiratif memantik anggota SSW yang muda-muda. Pastinya dalam pameran tunggal ini beliau akan menyajikan karya-karyanya yang ciamik,” ujar Ratna ketika dikonfirmasi.
Perupa pensiunan dosen pengampu mata kuliah sketsa dan anatomi plastis ini ketika dikonfirmasi mengaku ketiban sampur dari SSW untuk pameran tunggal. Diakuinya, kalau dirinya jarang menggelar pameran tunggal, karena disibukkan tugas kesehariannya ketika menjadi dosen. Kalau pameran bersama sekira ada 60 kali.
Di tambahkannya, pameran “Sketsa Plus” ini sebagai wujud partisipasinya sebagai anggota SSW dan merupakan pameran bergilir setiap anggota untuk menampilkan karya-karyanya; menurut urutan jadwal sebagaimana telah diatur dan sesuai dengan potensi masing-masing.
Kali ini, lanjut Aryo Sunaryo, akan mengusung pameran bertajuk : “Sketsa Plus”, sebenarnya lebih lengkapnya menurutnya “Sketsa Sosok Plus”. Musababnya, materi pameran memang sengaja saya fokuskan pada sketsa sosok (figure). Tetapi memang ada beberapa lainnya yang semi-semi sketsa atau mungkin lebih tepatnya lukis berbasis sketsa.
Pilihan tajuk pameran “Sketsa Plus” ini didasari oleh keinginan bahwa salah satu obyek sketsa yang tidak kalah menarik ialahsosok manusia.Bisa berdiri sendiri sebagai obyek sketsa terutama melalui livesketching, baik perseorangan maupun kelompok, berpose sebagai model maupu sedang dalam melakukan kegiatan, sekaligus upaya mengungkapkan berbagai karakter dan gestur sosoknya.
“Sketsa sosok juga memiliki peran penting sebagaibagian dari sketsa arsitektur, lingkungan, cityscape, dan yang lain. Ia menjadi petunjuk dimensi, skala, sehingga menjadikan lebih hidup, dan melengkapinya alam membangun suasana,” babar Aryo Sunaryo mantan dosen yang juga jadi pengampu mata kuliah menggambar dan ilustrasi di Unnes.
Sedangkan tambahan “Plus” dalam tajuk pameran ini bukan berarti sketsa sosok dibuat itu hebat sekali, yang bernilai lebih, atau karya sketsa tentang sosok manusia dalam pameran ini lebih bermutu dari pada sketsa-sketsa dengan tema lainnya.
“Sedangkan “Plus” dimaksudkan sekadar memberi pengertian, bahwa karya-karya yang dipresentasikan tidak semata-mata sebagai sketsa murni. Beberapa sketsa dikerjakan untuk dilengkapi dengan rendering dan warna. Apakah itu dengan media cat air secaramanual atau pun secara digital. Lalu juga materi tidak selamanya karya asli, dalam pengertian ada yang telah mengalami proses lain, misalnya melalui pemindaian,” terang Aryo Sunaryo
Dalam pameran bertajuk : “Sketsa Plus” ini ada 27 karya rupa besar kecil yang akan saya taja. Terdiri dari berbagai macam: sketsa BW yang mengandalkan garis. Ditambah ada beberapa yang diwarna/direndering. Lalu yang lebih ke drawing (gambar) juga ada, menggunakan pensil atau pastel.
“Ada juga karya cat air dan cat minyak di atas kanvas. Bahkan yang digital print, dalam arti karya sketsa yang saya besarkan, dikompilasikan, lalu diprint (sambil merespon teknologi digital yang lagi marak,” rincinya.
Ditambahkannya, karya-karya yang digelar dengan materi pensil, pastel, cat air, cat minyak, dan digital ini tak semuanya karya baru.Ini sengaja sambil menapaki jejak perjalanan, semacam retropeksilah. “Pokoknya nano-nano ada karya sketsa yang dibuat 1999, misalnya, sebelum banyak komunitas sketsa seperti sekarang ini. Lalu lukisan cat minyak bertahun 1995. Inilah yang saya maksudkan “plus”, jadi tidak murni sketsa. Toh sekarang ini antara lukis, gambar, dan sketsa menjadi cair dan tumpang tindih,” terangnya.
Chruztian Heru/terasjateng.id