Heri Wardoyo
Satupena Lampung
Lantang, bulat, solid. Suara Atmakusumah seolah meninggalkan gema di ruang kelas. Saya jadi muridnya, 1992 silam. Suasana perkuliahan di Lembaga Pers Dr Sutomo, Jakarta, berpuluh tahun lalu melintas saat datang kabar Atmakusumah, dosen yang inspiratif itu, berpulang pada 2 Januari 2025 dalam rahmat usia panjang dan sehat, 86 tahun.
Ruang belajar — dengan 16 mahasiswa pascasarjana — bertahun-tahun jadi saksi mengalirnya pembelajaran di sana dan Atmakusumah mengukir amalnya.
Pak Atma di depan kelas, persisnya bersama kami dengan meja yang membulat, memang sarat ilmu plus pengalaman; dan sungguh bukan cerita enak semuanya. Pak Atma, kami memanggilnya dengan khidmat, memang gemar memancing diskusi sekaligus menggulirkan percakapan.
Dia rileks saat disanggah. Demokratis sekali. Saya, “anak daerah yang sok tau”, diperlakukan sebagai kawan berpikir yang setara. Mahasiswa lain pun sama: nrombol saat dia menjelaskan dan diberi respons seperti kesabaran guru desa. Padahal, Pak Atma bukan sembarang tenaga pengajar. Dia redaktur pelaksana koran legenda: Indonesia Raya. Surat kabar harian yang berkali-kali dibredel, saat Orde Lama dan (lalu mati selamanya) zaman Orde Baru. Wartawannya bolak-balik masuk penjara karena kekritisannya. Indonesia Raya merekam kejadian penting; termasuk kelakuan miring sebagian petingginya. Jatuh bangun Republik dan segenap dinamikanya pada masa awal berdirinya dicatat amat cermat.
Bersama Mochtar Lubis, pemimpin redaksi cum sastrawan dan intelektual yang disegani, Indonesia Raya gagah membongkar skandal demi skandal pemerintahan, dengan kekayaan data dan keterampilan investigasi jurnalisnya.
Indonesia Raya adalah salah satu media — sangat kredibel — yang fenomenal saat pelaporan investigasi. Harian ini dijuluki muckraking paper, surat kabar yang sering membongkar kasus korupsi atau tuduhan korupsi dan menjaga napas jurnalismenya dengan kejujuran plus keteguhan hati.
Semua kisah heroik, jatuh bangunnya bangsa yang belia ini, seolah terproyeksikan saat Pak Atma “manggung” saban Selasa dan Kamis di antara kami. Hidupnya peralihan ilmu, dosen lebih mirip moderator yang mengantar dan mengarahkan lalu lintas pembicaraan, menjadi kemewahan saat itu. “Jangan pernah menjadi ‘wartawan ludah’ yang mencatat bulat-bulat omongan narasumber, apalagi jurubicara instansi,” katanya mewanti-wanti.
“Dalami, analisis, dan tulis dengan tingkat kepekaan. Perkaya datamu. Anda harus selangkah di depan pembaca,” katanya.
Keluwesan mengajar berkelindan dengan ilmu dan jejak zaman yang dilalui, nada suara bulat dan jernih, juga sempurnanya artikulasi, membuat almarhum lebih terasa sebagai narator kelas dunia.
Pak Atma memang tak berkarier di Indonesia saja. Dia pernah berkarya di Radio ABC Australia, radio Deutsche Welle, di Koeln, Jerman, analis politik dalam dan luar negeri di Radio Republik Indonesia (RRI). Rentang ilmunya mengingatkan saya pada sejawat almarhum di ABC, Nuim Hayat.
Atmakusumah cukup lama pula bekerja di USIS, United State Information Services di bawah Kedubes Amerika. Sepak terjangnya dengan berbagai bahasa asing tak lantas membuat sikapnya keminggris atau menginggris-inggriskan bahasa, menjadi pesolek kata-kata. Dia sangat mengutamakan bahasa yang dibanggakannya, bahasa Indonesia.
Atmakusumah Astraatmadja dilahirkan 20 Oktober 1937 di Labuan, Banten. Selama ini, fisiknya bugar. Langkahnya ringan. Kacamata yang dia turunkan sampai pucuk hidung jadi penanda jika sesi mulai serius.
Usai lulus LPDS, saya masih sering bertemu Pak Atma. Sikapnya yang hangat dan gesture bersahabat membuat siapa pun tak canggung. Almarhum juga sering ke Lampung; dan kami makan durian semau-maunya. Saya sih bugar, toh ini puluhan tahun lalu, tapi beliau yang senior — herannya — punya kesegaran paras dan fisik yang sangat oke.
Dua buah durian, dua utuh dan besar, dilahap sendiri. Masih minta durian yang lagi saya comoti. “Lho Pak, nggak apa-apa nih,” kataku khawatir. “Tenang Her, saya orang Banten, duren yang takut dengan saya hahaha.” Kami terbahak.
Wind of change pun tiba di Indonesia. Politik berubah. Semua tatanan menata ulang formasinya masing-masing. Pers Tanah Air memasuki era yang sama sekali baru.
Dan Atmakusumah berada di orbit tinggi. Dia lalu didapuk sebagai Ketua Dewan Pers pertama era reformasi. Sukses mengawal era pers baru, almarhum dengan jejak sukses sebagai Direktur Eksekutif LPDS (1994–2002) lalu diangkat sebagai Ketua Tim Ombudsman koran prestisius Kompas.
Tokoh pers yang sederhana dan rendah hati ini pernah pula dianugerahi The Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, tahun 2000.
Pada 11 November 2023 lalu, sang wartawan senior itu menerima penghargaan Lifetime Achievement dalam Anugerah Dewan Pers (ADP) 2023.
Yang menarik, Dewan Juri ADP 2023 tidak menyertakan nomine lain karena kiprah Atmakusumah Astraatmadja di dunia pers nasional dan internasional dinilai tak ada yang meragukan.
Kelak, Atmakusumah layak dimonumenkan, atau jadi nama penghargaan. Selamat jalan, Guru. Semoga tenang bercampur terang mengiringi mudik kosmologismu.***