Azab Berbalut Nikmat

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial pada Pascasarjana FKIP Unila

Azab dalam filsafat Islam adalah siksaan yang dihadapi manusia atau makhluk lain yang diciptakan oleh Allah. Pemberian azab merupakan akibat dari kesalahan . Sedangkan nikmat berasal dari bahasa Arab, yaitu na’ima, yan’amu, na’matan, wa man’aman yang berarti hidup senang dan mewah. Adapun masdarnya yaitu na’matan dan masdar mimnya yaitu man’aman. Kata an-ni’matu bentuk jamaknya menjadi ni’amun wa an’umun yang berarti kesenangan, kebahagiaan.

Azab dan nikmat secara harfiah berada pada titik garis lurus yang berlawanan; satu ke kiri satu ke kanan bila dalam garis horizontal; bisa jadi satu di atas, satu di bawah jika dalam garis vertikal. Jika posisi seperti itu tidak menimbulkan persoalan; karena memang mereka berada pada makhomnya masing-masing. Menjadi persoalan manakala azab dalam perjalananya berkelindan dengan nikmat; akibatnya azab terbalut kenikmatan, dan jika ini yang terjadi maka malapetaka akan menanti.

Hal ini terjadi karena salah memahamkan akan “cobaan” dengan “azab dan nikmat”. Azab dalam makna hakiki adalah merupakan hukuman akan pelanggaran terhadap aturan yang telah ditetapkan dan atau digariskan oleh Tuhan. Sementara kenikmatan sendiri adalah salah satu bentuk cobaan dari Tuhan terhadap umatnya dalam rangka meningkatkan ketaqwaan. Kenikmatan dan kesengsaraan adalah dua sisi mata uang yang sama; hanya berbeda makna setelah ditangan manusia. Dikatakan demikian karena kenikmatan dan kesengsaraan adalah bentuk kasih sayang Yang Maha Pencipta kepada seluruh ciptaan-Nya. Oleh karena itu, bisa jadi kesengsaraan adalah kenikmatan dalam bentuk lain. Sebaliknya, bisa jadi kenikmatan adalah kesengsaraan dalam bentuk lain. Sebab, parameter sengsara atau nikmat diukur dari “penerima”; sementara dari sudut “pemberi”; tidak ada satupun mahluk didunia ini yang mampu memahami maknanya, karena dia datang dari Yang Maha Memberi.

Mari kita turun ke bumi: jika ada orang yang sedang menghadapi pengadilan dunia, karena pelanggaran perundangan sebagai kesepakatan bersama dan atau pelanggaran perundangan ketuhanan yang ditakbiskan pada kitab suci, menyatakan diri mendapatkan cobaan dari Tuhan; rasanya perlu kaji ulang akan pemahaman keilahiannya. Apalagi sikap yang ditampilkan begitu jumawa bahwa dirinya tidak melanggar aturan manapun. Ini menunjukkan keberanian buta, atau sakit jiwa dalam bentuk lain.

Oleh karena itu, tidak salah jika orang-orang terdahulu pernah berpesan bahwa mereka yang sudah terbebas dari rasa “memiliki” akan isi dunia; merekalah sesungguhnya yang sudah mencapai derajat insan kamil. Hanya sayang pemaknaan ini sekarang dibalik “mumpung” di dunia, maka lakukan apa saja guna memenuhi selera keduniawian; sehingga berperilaku korupsi, menyakiti hati orang lain, menerima suap; itu sah-sah saja, karena kita masih ada di dunia. Insan kamil hanya ada dibayang-bayang persepsi dan atau angan-anggan saja; oleh karena itu melakukan perbuatan baik, sebaiknya nanti saja.

Konsep inilah yang menghancurkan marwah individual atau lembaga, sehingga untuk memperbaiki atau membangunnya kembali sangat sulit, dan jika dilakukan akan memerlukan waktu cukup lama. Lebih sulit lagi jika peristiwa itu menjadi bagian sejarah kelam dari institusi, tentu tidak mungkin dihapus dari lembaran sejarah, karena ukiran itu bagian dari perjalanan sejarahnya.

Sejarah negeri ini pernah mencatat bagaimana pada masa Orde Lama Yusuf Muda Dalam menjadi tersangka dalam penyimpangan keuangan negara yang digunakan untuk kepentingan dirinya. Menteri Urusan Bank Sentral Republik Indonesia dan Gubernur Bank Indonesia pada 1963 itu tersandung kasus korupsi. Ia juga menjadi salah satu menteri yang masuk ke dalam daftar nama pejabat tinggi yang dilengserkan karena dianggap berhaluan kiri atau komunis. Akhirnya, Jusuf Muda Dalam ditangkap pada 18 Maret 1966. Setelah melewati persidangan, Jusuf Muda Dalam dinyatakan bersalah atas empat dakwaan, yaitu subversi (upaya menjatuhkan kekuasaan), korupsi, menguasai senjata api secara illegal, dan perkawinan yang dilarang undang-undang. Jusuf Muda Dalam kemudian divonis hukuman mati yang akan dilakukan pada 9 September 1966.

Pada masa Orde Baru, Ibnu Sutowo yang dikenal sebagai ‘raja minyak’ juga mendapatkan gelar tidak sedap. Memasuki era Reformasi kita juga disuguhi aneka kasus korupsi yang merugikan keuangan negara dalam jumlah sangat besar. Kasus-kasus itu banyak melibatkan pejabat tinggi negara. Mulai menteri hingga pimpinan tertinggi DPR, gubernur, bupati, walikota, kepala desa. Bahkan ada yang melibatkan pejabat tertinggi perguruan tinggi. Semua orang mengutuk kera.s. Ketika korupsi terjadi di lembaga penjaga moral, rasanya umpatan saja tidak cukup, karena yang dikorupsi bukan hanya benda materi. Menjadi ironis lagi pelakunya merasa jumawa untuk berdiri tegak menantang langit.

Mereka yang tidak mau mengerti akan dahsyatnya azab yang dibalut nikmat, menandakan urat malu yang bersangkutan sudah putus sehingga sensitivitas rasa untuk menemukenali kembali jati diri menjadi hilang. Akibatnya, bermata gelap menggunakan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang diinginkan, termasuk menghindar dari hukuman dunia.

Pembenaran terhadap apa yang diperbuat atas keyakinan itu adalah perbuatan benar dengan menafikan kaidah-kaidah kebenaran ilmu dan agama, adalah perbuatan yang didasari atas nafsu. Peluang terjadinya kesesatan akan menjadi begitu besar, manakala telinga sudah tertutup akan bisikan ketuhanan dan kemanusiaan.

Maka, tidaklah salah jika para cerdikcendikia masa lalu sudah mengingatkan bahwa berhati-hatilah jika nikmat menghampiri. Jangan-jangan itu pembungkus azab yang kita tidak mengetahui. Di sini peran doa yang diajarkan dalam agama untuk kita semua agar terhindar dari tipu dunia.

Selamat ngopi pagi!