Bahasa  

Bahasa Asingnya Seorang Presiden

Aboeprijadi Santoso (dok pribadi/Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Aboeprijadi Santoso*

Harian kondang Singapura The Straits Times meledek Presiden Jokowi secara halus. Benar, bahasa Inggrisnya Jokowi tidak lancar, ucapannya banyak keliru, dan terdengar sangat ‘Jawa’. Barangkali, presiden ini beranggapan: ‘raiso, rapopo’. The Straits Times melihat ini bukan sebagai bahasa seorang Jokowi, melainkan sbg bahasa kepresidenan seorang Jokowi. Reporternya sengaja bertanya hal yang sama berulang kali.

Agak jengkel, Jokowi menjawab pendek, tapi tepat (sesuai tujuannya) dan benar (secara bahasa): “Come and invest!” Wartawati ini datang dari sebuah negeri yang mengaku berwawasan luas, kosmopolit, dan karenanya, ‘paling internasional’. Mungkin, ini karena Singapura adalah sebuah negeri kecil yang berambisi jauh lebih besar daripada topografinya.

Dia mau mendunia. Hal serupa terjadi misalnya pada Belanda: kecil, tapi mau jadi cabe rawit dunia. Dari konteks tersebut, Singapura, mirip Belanda, casu quo wartawati The Straits Times ini, beranggapan seorang presiden harus berbahasa asing sesuai standar dunia: berbahasa kepresidenan. Ada Bahasa Seorang Presiden, ada Bahasa Kepresidenan.

Pembedaan ini bersumber dari asal usul konteksnya: Bahasa Kepresidenan berbasis standar ‘international community’ seperti diterapkan media Barat, sedangkan Bahasa Presiden bersumber dari sejarah politik-budaya lokal masing-masing presiden. Bahasa Kepresidenan harus ‘korek’ secara tata bahasa dan secara diplomatik, sedangkan bahasa seseorang yang ‘kebetulan’ menjabat presiden hanya dituntut ‘politically correct’.

Perbedaan gaya bahasa dan ucapan (parlance, mode of speech) ini membawa perbedaan makna dan simbol. Bukankah – seperti dikemukakan filsuf Austria Ludwig Wittgenstein yang sering jadi anutan para antropolog – bahasa dan penggunaannya itu tak lain adalah sebuah permainan (game). Dan masing-masing ‘game’ – sesuai azas verbal valent usu – membawa-serta makna semantik dan simbolismenya tersendiri.

Kembali ke Jokowi dan The Straits Times. Seperti dikesankan oleh portal Singapura mothership.sg (lihat: Nation-building Straits Times releases unflattering Jokowi video), The Straits Times sengaja mau merendahkan Jokowi. Di sini kita tak perlu marah dan ber-xenophobia kepada The Straits Times. Wartawati tsb hanya menjalankan tugasnya dengang berangkat dari pola budaya negerinya maupun medianya. Tapi, yang menarik, liputan wartawati tersebut agaknya tidak mendapat perhatian publik Singapura, melainkan justru dicatat oleh sebagian publik Indonesia yang marah karena bersemangat nasionalistis berlebihan, maupun yang suka karena tak suka pada Jokowi.

Di sini kita harus mencatat bahwa Jokowi berbicara otentik, asli, tak berpura-pura, dan nyaris spontan sebagai seorang Jokowi yang ‘kebetulan’ menjabat presiden. Sama otentik dan seterusnya — meski berbeda tingkat kepiawaian, kefasihan, dan ucapannya — dengan Sukarno dalam berbahasa Belanda dan Inggris; dengan Habibie berbahasa Belanda, Jerman dan Inggris; sama juga dengan Gus Dur berbahasa Inggris dan Arab.

Sekali lagi, mereka sama otentiknya meski berbeda-beda tingkat kepiawaiannya dalam berbahasa asing. Mereka tampil sebagaimana adanya, sesuai jati-dirinya masing-masing-masing. Mereka tampil dengan Bahasa Seorang Presiden, bahasa seseorang yang ‘kebetulan’ menjabat presiden, bukan dengan Bahasa Kepresidenan.

Pembedaan ini menjadi menarik ketika kita menyaksikan betapa para presiden yang lain – Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati dan Soeharto – sekuat tenaga berupaya berbicara formal dengan gaya dan Bahasa Kepresidenan. Game-kepresidenan ketiga presiden ini berbeda dgn game-nya Jokowi, Sukarno, Habibie dan Gus Dur. Upaya ini, pada SBY, menjadi seperti berpura-pura, upaya ja’im (menjaga citra), menjadi suatu snobisme. Di sini ada kemunafikan.

Di muka panggung dunia SBY sering menggunakan penerjemah, tetapi dalam di negeri sendiri gemar sekali memakai kata-kata Inggris yang mubazir. Snob! Sebaliknya, Megawati memilih membisu, dan Soeharto lebih suka berbahasa Jawa dan mencampuradukkannya dengan bahasa Indonesia. Bagi Megawati dan Soeharto (beda dengan Ibu Tien), bahasa asing itu tak ada, dan tak perlu. Mereka memilih diam, atau quasi-Jawa-quasi-Indonesia sebagai Bahasa Kepresidenan untuk menunjukkan kewibawaannya sebagai Presiden (bagi Soeharto, sebagai Raja Indonesia).

Jokowi, dengan  segala keunggulan dan kelemahannya, tampil sebagaimana jati-dirinya, juga ketika dia berbahasa asing. Demikianlah ‘Indonesia’. Dia otentik Indonesia – sama otentiknya dengan Sukarno, Gus Dur dan Habibie ketika berbahasa asing. Jadi, kenapa ngributin bahasa asing seorang Indonesia yang memilih menjadi presiden dgn segala keindonesiaannya? Untuk memparafrase seorang teman Papua: “Jangan kitong pake bahasa asing dan bahasa kepresidenan sebagai alat ukur untuk kase nilai kitong pu bahasa dan martabat!”

Why the big fuss?

* Jurnalis Indonesia. Pensiunan Radio Hilversum Netherland. Tinggal di Netherland