Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila
Kata Bancakan adalah istilah Jawa yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, bancakan punya 3 arti. Yaitu 1) selamatan; kenduri; 2) hidangan yang disediakan dalam selamatan; 3) selamatan bagi anak-anak dalam merayakan ulang tahun atau memperingati hari kelahiran disertai pembagian makanan atau kue-kue. Namun penggunaan yang popular adalah selamatan atau kenduri.
Perlengkapan atau isi selametan/bancakan untuk anak-anak biasanya di samping nasi butih, ada urapan atau gudangan yaitu sayur mayur yang direbus kemudian dibalur dengan parutan kelapa yang sudah dibe ri bumbu, lalu telur ayam rebus, ikan asin, dan peyek, peristiwa ini dilakukan saat jabang bayi lahir ke dunia, sampai mereka berusia tertentu di masa kanak kanak. Uborampe selametan itu menjadi semacam standard untuk masyarakat Jawa tradisional yang masih melakukan perayaan “wetonan” yaitu memperingati hari kelahiran setiap 35 hari sekali.
Kita tinggalkan bancakan dalam arti riel di atas, karena ternyata diksi “bancakan” akhir-akhir ini bergeser maknanya kepada hal yang lebih luas, dan berkonotasi kurang sedap karena dilabelkan kepada perilaku bagi-bagi pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan yang tidak halal, atau bukan haknya.
Bancakan bisa bergeser kepada bagi-bagi proyek karena sudah memenangkan seseorang menduduki jabatan tertentu; atau beramai-ramai mengambil peluang memasukkan keinginan atau titipan untuk mendapatkan sesuatu. Bisa jadi berbagi antarteman satu group tanpa memperhatikan apa itu benar secara hukum atau tidak.
Lebih ironis lagi setiap kegiatan di negeri ini sudah memiliki “bancakan” sendiri-sendiri; terlepas apakah itu skala besar berupa oligharki atau sekadar kelas teri bantuan desa antara penguasa dan pengusaha. Namun semua seolah sudah memiiki “ambengan” (adalah hidangan khas Jawa yang merupakan nasi putih yang diletakkan di atas tampah dan diberi lauk pauk di sekelilingnya. Lauk pauk terdiri daripada perkedel, ikan asin goreng, rempeyek, sambal goreng, telur rebus, tempe goreng, urap, bihun goreng, dan opor ayam), dengan dikelilingi oleh yang akan berbagi.
Ambengan sebagai simbul keselamatan untuk para pemohonnya, dan pada umumnya untuk orang dewasa. Sementara bancakan lebih untuk anak-anak. Namun sekarang baik bancakan maupun ambengan lebih berkonotasi negatif, karena berubah arti. Bancakan adalah kata kerja untuk menghabiskan/membagi sesuatu yang diwujudkan sebagai ambeng; atau yang diambengkan. Bisa juga bermakna jika bancakan skalanya kecil atau relatif kecil, sementara ambengan skalanya benyak dan luas.
Manakala negara sudah mengubah diri menjadi himpunan kekuasaan oligarkhi ; maka semua sumberdaya manusia dan alamnya diubah menjadi ambengan yang akan dijadikan bancakan oleh mereka yang menguasai.
Manusia pendukung yang semula berposisi sebagai mitra, bergeser menjadi asset yang kapan pun jika tidak dikehendaki lagi, dapat di berhentikan dengan dalih yang cantik sesuai perundangan yang berlaku. Dan itu selamanya tidak akan menguntungkan manusia pendukungnya. Karena perundangan yang disiapkan selalu berposisi atasnama melindungi yang menguasai.
Hal di atas jika dalam kondisi baik-baik saja menurut penguasanya tampak cantik dari luar; namun akan terbuka kedok bancakan manakala “hukum Tuhan” menghampirinya melalui institusi hukum yang ada. Tak pernah terbayangkan selama ini ujian masuk pada institusi yang diagap aras tertinggi didunia akademik yang seyogianya bersih dari transaksi, ternyata menjadi ajang “kenduri” untuk melakukan “bancakan” oleh para pelakunya yang konon katanya berlabel tokoh agama. Lebih miris lagi dengan jubah agama membalikkan pungutan menjadi infak; setoran menjadi sodakoh. Berkopiah baksantri, ternyata perilakunya bagai Banaspati.
Bancakan ternyata sudah begitu meluas kemana-mana, sehingga punggawa yang berstatus “belum menjadi”; sudah ikut panen hanya dengan modal kopiyah dan kain sarung. Menjadi sempurna mimikrinya berlindung di bawah organisasi besar, dengan harapan tidak terlihat belangnya, yang tampak “cantik”nya. Mereka lupa berselimut kain sarung itu filosofinya menunjukkan ketidaksempurnaan pemakainya, karena selagi berlabel manusia dia menjadi sempurna karena ketidaksempurnaannya. Kain sarung jika dipakai menutup bagian atas, maka kaki akan terlihat. Sebaliknya jika kaki yang ditutup, maka bagian atas badan akan terlihat. Itulah manusia yang kesempurnaannya diperoleh dari ketidaksempurnaannya, dan hal ini jarang disadari oleh banyak pihak. Orang-orang tua dahulu sudah mengingatkan “jangan menanam angin, karena kamu akan menuwai badai”. Dengan kata lain makin banyak manusia lain kita sakiti, maka hukum Tuhan makin kejam akan menghampiri.
Selamat ngopi pagi…