Opini  

Banjir: Bagaimana Kelurahan/Desa Merespons Kiris Ini?

Dr. Syarief Makhya (Foto: Istimewa)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh Syarief Makhya

Di bebera tempat di Kota Bandarlampung dan sekitarnya dalam dua bulan terakhir ini dilanda banjir yang tidak bisa dkendalikan. Banjir tersebut mengakibatkan kerugian material yang signifikan dan mengganggu aktivitas sehari-hari penduduk. Selain itu, banjir juga menyebabkan beberapa infrastruktur penting seperti jalan dan jembatan mengalami kerusakan, yang menambah kesulitan dalam proses evakuasi dan distribusi bantuan. Sistem drainase yang tidak mampu menampung volume air hujan yang terus meningkat setiap tahunnya, memerlukan solusi jangka panjang yang efektif dan berkelanjutan.

Bagaimana mengatasi banjir dan tanggung jawab siapa? Banjir, terutama yang terjadi di area permukiman penduduk dan dekat dengan sungai, akan terus menjadi ancaman jika tidak diambil tindakan yang komprehensif dan koordinatif. Mengatasi banjir merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta.

Dalam banyak kasus, peran masyarakat sangat proaktif ketika banjir terjadi. Mereka saling membantu dalam mengatasi banjir dan pasca banjir, menggiatkan gotong royong, menyediakan bantuan makanan, pakaian, serta membersihkan halaman dan rumah dengan penuh keikhlasan. Namun, bagaimana dengan peran swasta dan pemerintah?

Peran sektor swasta sering kali terbatas dalam mengatasi banjir, padahal mereka dapat berkontribusi melalui Corporate Social Responsibility (CSR) dengan mendukung proyek-proyek infrastruktur hijau atau dengan inovasi teknologi yang mendukung penanggulangan banjir.

Sementara itu, peran pemerintah, meskipun dengan segala keterbatasannya, cenderung reaktif dan sering kali terlambat serta tidak bersikap antisipatif. Tindakan yang diambil biasanya baru dimulai setelah banjir terjadi, fokus pada mitigasi dampak daripada pencegahan.

Upaya mengatasi banjir seringkali dilakukan secara terbatas, dengan beban terbesar ditanggung oleh masyarakat. Membangun pemerintahan kolaboratif, dengan melibatkan berbagai institusi atau lembaga belum diupayakan sebagai sebuah model dalam pemecahan masalah publik. Padahal, dengan kolaborasi antara semua pihak yang terlibat, upaya pengurangan risiko banjir dapat lebih efektif dan dapat mengurangi dampak buruk pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir.

Akhirnya, setiap kali banjir terjadi, masyarakat dan pemerintah sering kali bersikap pasrah, bersikap masa bodoh, melakukan tindakan pencegahan sementara, dan hanya berharap tidak terjadi hujan lebat lagi dan menunggu musim panas tiba.

Bagaimana Kelurahan/Desa Merespons Banjir?

Pemerintah yang bertanggung jawab dan pemegang peran utama dalam penyelesaian masalah publik, termasuk di dalamnya masalah banjir, maka dalam perpektif ini banjir adalah tanggung jawab pemerintah. Artinya, pemerintah menjadi faktor determinan untuk penyelesaian banjir.

Persoalannya pemerintah mana? Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Kelurahan/Desa? Parameternya selalu diukur dari aspek legalitas formal, yaitu mengatasi banjir berdasarkan kewenangan formal pemerintahan. Dalam cara pandang ini kendati banjir melanda di wilayah kelurahan / desa terdekat, sepanjang itu bukan kewenangan pemerintah kelurahan/desa maka banjir tidak akan tidak akan diselesaikan oleh pemerintah keluruhan/desa.

Cara pandang legalistik ini, sering antarpemerintah saling lempar tanggung jawab, ini tanggung jawab pemerintah Provinsi, atau ini tanggung jawab pemerintah Kota? Jadi,  dasarnya melihat kewenangan siapa?

Secara kelembagaan dan teknis dengan adanya UU No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, di sebutkan dalam Pasal 5 bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah menjadi penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Tanggung jawab Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum.

Untuk mewujudkan hal tersebut di bentuk pengembangan desa/kelurahan tangguh terhadap bencana dengan upaya pengurangan risiko bencana berbasis komunitas (PRBBK). Dalam PRBBK, proses pengelolaan risiko bencana melibatkan secara aktif masyarakat dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau dan mengevaluasi risiko bencana untuk mengurangi kerentanan dan meningkatkan kemampuannya.

Desa/Kelurahan Tangguh Bencana adalah sebuah desa atau kelurahan yang memiliki kemampuan untuk mengenali ancaman di wilayahnya dan mampu mengorganisir sumber daya masyarakat untuk mengurangi kerentanan dan sekaligus meningkatkan kapasitas demi mengurangi risiko bencana. Kemampuan ini diwujudkan dalam perencanaan pembangunan yang mengandung upaya-upaya pencegahan, kesiapsiagaan, pengurangan risiko bencana dan peningkatan kapasitas untuk pemulihan pascabencana.

Dalam Destana, masyarakat terlibat aktif dalam mengkaji, menganalisis, menangani, memantau, mengevaluasi dan mengurangi risiko-risiko bencana yang ada di wilayah mereka, terutama dengan memanfaatkan sumber daya lokal demi menjamin keberkelanjutan.Program Desa/Kelurahan Tangguh Bencana (Destana).

Kendati secara kelembagaan sudah dibentuk Destana tetapi masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk meningkatkan efektivitasnya dalam mengelola bencana. Permasalahan yang sering muncul antara lain kurangnya sumber daya manusia yang terlatih, keterbatasan anggaran, dan minimnya partisipasi masyarakat. Oleh karena itu, perlu adanya upaya sistematis untuk meningkatkan kapasitas Destana melalui pelatihan, pendanaan yang memadai, dan kampanye kesadaran bencana yang lebih luas agar Destana dapat berfungsi optimal sebagai garda terdepan dalam mitigasi bencana di tingkat komunitas.***

*) Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung