Dr. IB Ilham Malik
JIka kita telusuri berita tentang banjir di Kabupaten Tanggamus, maka kita akan melihat data berita, bahwa dalam kurun waktu selama beberapa tahun ini bisa kita katakan bahwa ada begitu banyak peristiwa banjir di kabupaten ini. Lokasinya tersebar di mana-mana dan melanda kawasan permukiman warga.
Hampir semua kawasan yang dilanda banjir adalah kawasan yang memang rawan dilanda banjir. Maksudnya, daerah permukiman dan lokasi infrastruktur memang berada pada kawasan aktivitas alam berupa luapan air. Jadi memang dia sebenarnya masuk dalam zona merah untuk pembangunan. Namun, kalaupun tetap harus ada pembangunan di zona tersebut, karena ada suatu hal yang menyebabkan harus terbangunnya bangunan tertentu di situ, maka ia haruslah didesain aman dari potensi kegiatan alam tersebut. Luapan air yang bisa terjadi sewaktu-waktu disitu harus dipastikan tidak menimbulkan kerusakan bangunan dan kerugian pada manusia.
Lahan memang ada yang bernilai rendah dan ada yang tinggi. Kawasan yang dilanda banjir baru- baru ini di daerah Kotaagung Barat, adalah daerah yang kalau kita lihat dari sisi land value, memang daerah yang terancam oleh bangunan untuk memenuhi “kebutuhan alami manusia”. Makanya okupasi lahan terjadi dan mengubah lanskap ruang dan keseimbangan proporsi guna lahan disitu.
Tidak heran jika lahan yang menjadi “pencegah” luapan banjir telah berubah menjadi kebun atau bangunan. Akibatnya, ketika hujan melanda maka air akan meluap akibat tidak “terikat” oleh lahan resapan air. Zona aliran air yang juga sudah berubah lanskap-nya telah menyebabkan luapan air tersebut bisa kemana-mana. Seperti yang kita lihat ada yang menghantam bangunan, ada juga yang mengalir di badan jalan yang menyebabkan kerusakaan infrastruktur dan kendaraan, dan sebagainya.
Jadi apa yang bisa kita dapatkan dari adanya peristiwa ini? Pertama, zona yang memang rawan aktivitas alam hendaknya tidak boleh ada bangunan diatasnya. Terutama permukiman. Kedua, pemanfaatan lahan harus dikendalikan dengan insentif dan dis-insentif guna lahan. Zona tidak aman harus diberi disinsentif berupa pajak mahal, tidak diakses infrastruktur dan sebagainya.
Ketiga, segera dibuat Rencana Tata Ruang (RTR) yang mengatur pemanfaatan lahan termasuk proporsi dan sebaran bangunan. Keempat, setiap daerah harus mendirikan Dinas Tata Ruang yang bertugas untuk mengatur pemanfaatan lahan. Penempatan yang sekarang ini di Dinas PUPR menjadi salah kaprah.
Sebaiknya didirikan Dinas Tata Ruang dan Lingkungan Hidup. Melebur bersama Dinas Lingkungan Hidup saat ini. Agar pemanfaatan ruang menjadi pendorong pembangunan berkelanjutan.
Tulisan ini mengambil contoh kasus di Tanggamus. Namun, ini menjadi fenomena banyak kabupaten/kota di Sumatera. Beberapa catatan didalam tulisan ini berlaku untuk semua daerah. Mudah-mudahan bencana banjir tidak lagi dominan meskipun tempat kita sekarang sudah menjadi “daerah hujan” akibat fenomena perubahan iklim global yang juga melanda tempat kita bermukim.***
*Dr. Eng. Ir. IB Ilham Malik, ST., MT., ATU – Dosen tetap PWK ITERA, Kepala Pusat Riset dan Inovasi Purino Metropolitan ITERA