TERASLAMPUNG.COM — Kasus pelecehan seksual, pemerkosaan, pembunuhan, pencabulan, narkoba, dan seks bebas dengan pelaku anak didik menjadi pukulan telak bagi dunia pendidikan di Indonesia. Tidak jarang, institusi pendidikan dituding menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas bobroknya moralitas anak bangsa ini. Dengan mudahnya institusi pendidikan dijadikan kambing hitam dan dinilai gagal mendidik generasi muda.
“Guru sebagai ujung tombak pendidikan memikul tanggungjawab berat untuk membentuk generasi muda bangsa ini. Menghadapi generasi muda yang makin melek teknologi dengan berbagai persoalan yang ada pada mereka, guru dalam proses mendidik mempunyai kewajiban memberi penghargaan (reward) bagi yang peserta didik yang dianggap baik dan memberi hukuman (punishment) bagi yang melanggar atau tidak sesuai dengan tujuan pendidikan,” kata peneliti Merapi Cultural Institute, Agustinus Sucipto, Senin (30/5).
Menurut Sucipto, dalam beberapa kasus hukuman (punishment), guru justru harus berhadapan dengan jerat hukum pidana karena dianggap melangar Undang-Undang Perlindungan Anak. Maraknya guru yang berurusan kasus pidana mengakibatkan guru menjadi takut untuk memberi hukuman. Ketakutan semacam ini bisa berakibat pada pembiaran terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh peserta didik.
“Padahal, untuk mengatasi dekandensi moral generasi muda saat ini, terang peneliti yang berprofesi sebagai pendidik ini, sangat tidak adil apabila orangtua melimpahkan seluruhnya pada institusi pendidikan formal. Sebab itu, perlu adanya paradigma baru bahwa pendidikan moralitas generasi muda menjadi tanggungjawab bersama. Selain sekolah sebagai institusi pendidikan formal, keluarga dan masyarakat juga harus bertanggungjawab dalam mendidik,” terang peneliti yang pernah mendalami ilmu filsafat di STFT Widya Sasana Malang ini.
Menurut Sucipto, keluarga adalah tempat pendidikan pertama dan utama bagi anak. Sayangnya, banyak orangtua justru menyerahkan pendidikan kepada sekolah karena merasa sudah membayar uang sekolah. Padahal, proses pendidikan di sekolah hanya 7-8 jam, sedangkan selebihnya bersama orangtua dan di masyarakat.
“Perlu adanya kerjasama yang sinergis antara orangtua dan sekolah dalam mendidik anak. Kita ketahui, peserta didik yang bermasalah tak jarang karena hidup di keluarga yang bermasalah,” terangnya.
Ia pun mengaku prihatin dengan fakta bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun 2002 yang kemudian direvisi menjadi UU No. 35 tahun 2014 belum disosialisasikan secara optimal ke sekolah sebagai institusi pendidikan dan guru sebagai pendidik.
“Banyak guru tidak memahami isi UU Perlindungan Anak dan implementasinya. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab kekerasan yang dilakukan oleh pendidik kepada siswa,” tegasnya.
Oleh sebab itu, ia mendesak sosialisasi serius Undang-Undang Perlindungan Anak. Kini sangat diperlukan penjelasan, penjabaran dan batasan yang jelas tentang makna kekerasan seperti terdapat dalam UU No.35 Tahun 2014 Pasal 54 karena makna kekerasan sendiri multi tafsir.
“Penafsiran makna kekerasan inilah yang sering digunakan orangtua untuk menyeret guru ke meja hijau. Membentak bisa saja dikategorikan kekerasan karena bisa menimbukan kesengsaraan psikis,” terangnya.
Di sisi lain, guru sendiri memang harus melek hukum sehingga dalam melaksanakan tugasnya tahu batasan dalam memberi hukuman serta bisa membela diri atau mencari jalan keluar saat berhadapan dengan masalah hukum.
Sucipto mendesak pemerintah dan organisasi guru seperti PGRI memberi advokasi yang serius sesuai amanat UU Guru dan Dosen, ketika guru tersandung masalah hukum dalam melaksanakan tugasnya. Advokasi ini penting agar jelas apakah kasus tersebut merupakan kategori pelanggaran etik, pelanggaran disiplin atau pelanggaran hukum.
“Lihat saja, untuk melindungi guru dan instansinya, sejumlah sekolah swasta kini justru sudah memiliki lawyer mumpuni karena seringkali mereka dituntut ke pengadilan oleh orangtua, misalnya karena kasus anak tidak naik kelas,” pungkasnya.***