Barter

Bagikan/Suka/Tweet:

Nusa Putra

Barter jadi trend. Ada dugaan barteran antara KPK dengan Polri. Meski terus dibantah oleh kedua pimpinan institusi tersebut, namun karena pemberitaan yang gencar, dan ada kejadian yang bisa ditafsirkan sebagai ujud barter, banyak orang yang jadi percaya.

Australia menawarkan barter tahanan. Dua warga negaranya yang akan  dieksekusi mati mau dibarter dengan tiga warga negara Indonesia yang sedang menjalani hukuman. Kasusnya sama yaitu menyelundupkan narkoba.

Tampaknya pemerintahan yang berkuasa di Australia sedang mencari perhatian dan dukungan politik. Hukuman mati pada warganya benar-benar dimanfaatkan untuk mencari popularitas. Mereka hendak memperlihatkan betapa gigih mereka membela warga negaranya.

Kita harus tegas menolak. Bukan saja karena tidak ada ketentuan yang mengatur. Melampaui persoalan teknis hukum, ini soal kedaulatan sebuah negara yang hendak memastikan bahwa tidak ada ampunan bagi penjahat narkoba yang telah dibuktikan bersalah oleh pengadilan.

Merupakan kewajaran bila sebuah negara membela warganya. Kita pun bersikap sama kala warga kita dihukum mati di luar negeri. Namun, tentu saja kita tetap menghormati kedaulatan hukum negara tersebut.

Dalam membela warga negara, juga harus muncul kesadaran tentang kejahatan yang telah mereka lakukan. Dengan demikian pembelaan itu akan tetap memperhatikan keadilan yang tentu saja tidak berhubungan dengan batas-batas negara. Keadilan merupakan nilai universal yang harus berlaku di mana pun.

Pemerintah Australia dan pemerintahan negara mana pun yang warganya akan dieksekusi mati harus bersikap objektif melihat dampak kejahatan warganya terhadap warga kita. Di sinilah perlunya memahami secara mendalam dan empatis si korban dan keluarganya.

Jangan di bolak-balik. Mengasihani si penjahat dan menunjukkan sisi baiknya dan melupakan kejahatan mengerikan dan menghancurkan yang telah dilakukan si penjahat. Bukankah di negara mereka penjahat yang merugikan orang banyak juga dihukum? Jika hukumannya berbeda seharusnya mereka menghormati perbedaan itu.

Hukuman mati bagi pengedar narkoba tidak hanya diberlakukan di Indonesia. Juga diberlakukan pada banyak negara. Keras tegasnya hukuman itu berkaitan dengan dampak sangat buruk dan mengerikan dari narkoba.

Sekarang ini Indonesia merupakan pasar dan pabrik narkoba berskala besar. Karena pecandunya sudah melampaui lima juta orang. Sebagian besar mereka adalah generasi muda.

Merupakan kewajiban bagi pemerintah Indonesia untuk memberlakukan hukuman maksimal sebagai bagian dari perang besar terhadap narkoba. Pemerintah harus tunjukkan keberpihakan pada penyelamatan generasi muda dari bahaya narkoba.

Negara-negara yang kini memprotes Indonesia juga memiliki kewajiban untuk menyelamatkan warganya dari bahaya narkoba. Sebab mereka sangat mengerti bahaya narkoba. Perang terhadap narkoba bukan hanya dilakukan oleh Indonesia. Karena itu, tidak perlulah mereka melakukan pembelaan yang bisa berdampak buruk dalam jangka panjang bagi hubungan antarnegara.

Apakah pantas hubungan baik jadi rusak karena membela orang yang nyata-nyata jahat? Melakukan kejahatan luar biasa yang merusak dan mengorbankan manusia lain dalam jumlah besar?

Pertimbangan tentang korban kejahatan narkoba haruslah menjadi prioritas utama ketika masalah hukuman mati ini diperdebatkan. Jangan hanya bersibuk dan berkutat dengan hak asasi si penjahat dan keluarganya, dan mengabaikan hak asasi si korban dan keluarganya.

Merupakan ketidakadilan yang mengerikan jika hanya mempertimbangkan hak asasi si penjahat. Bukankah yang memiliki hak hidup bukan hanya si penjahat. Si korban memiliki hak yang sama. Nyatanya banyak mereka yang tewas mengenaskan karena narkoba. Sementara si penjahat menikmati keuntungan bisnis narkoba di atas penderitaan dan mayat si korban.

Mestinya si penjahat narkoba dan keluarganya bersyukur karena si penjahat bajingan dihukum mati dengan cara ditembak. Bayangkan bagaimana si korban menemui ajal karena telah dihancurkan oleh narkoba. Seharusnya si penjahat narkoba itu dieksekusi mati menggunakan narkoba juga. Agar mereka tahu bagaimana sakit dan mengerikannya penderitaan si korban.

Ada satu pertanyaan yang menggelitik saat Australia menawarkan barter. Mengapa mereka menawarkan cara itu? Boleh jadi dasarnya adalah pengalaman dengan Pemerintahan SBY. Bukankah Pemerintahan SBY akhirnya membebaskan Corby si ratu mariyuwana?

Lucunya saat pembicaraan hangat tentang hukuman mati ini, SBY mengeluarkan pernyataan, percaya Jokowi akan membuat keputusan yang tepat. Kita tidak tahu kriteria tepat dalam pandangan SBY yang pernah memberi grasi dan membuat keputusan bebas bersyarat untuk Corby.

Menariknya, anak buah SBY yang pernah menjadi Menkumham Amir Syamsuddin mengecam pemerintahan Jokowi yang dianggap mengekspose eksekusi mati terlalu jauh. Kita tidak tahu apa motif di balik pernyataan itu. Mungkin cara Pemerintahan Jokowi ini dikhawatirkan akan mempermalukan mereka karena pernah memberi grasi dan membebaskan Corby.

Mestinya mereka punya rasa malu. Semasa dulu memerintah bersikap sangat lunak pada penjahat narkoba, dan sekarang omong gak mutu. Apakah mereka tidak menyadari bahwa apa yang mereka lakukan telah menghancurkan rasa keadilan masyarakat, terutama korban narkoba dan keluarganya, sekaligus menghina kedaulatan negara sendiri. Terbukti rakyat emoh memilih mereka lagi. Tahu malu sedikitlah, mestinya.

Kita sangat bersyukur karena Jokowi telah mengambil keputusan tepat yaitu mengeksekusi mati penjahat narkoba. Bukan memberinya grasi dan membebaskannya seperti yang dilakukan SBY.

INDONESIA HEBAT JIKA PRESIDENNYA MELAKUKAN PERANG HABIS-HABISAN MELAWAN PENJAHAT NARKOBA, BUKAN MEMBERI GRASI DAN MEMBEBASKANNYA.