Budi Hutasuhut*
Sejumlah pemerintah daerah di Provinsi Lampung yang mengandalkan sumber pendapatan dari dana perimbangan bagi hasil pertambangan minyak bumi, kini menghadapi dilema terkait menurunannya harga minyak dunia. Pendapatan pemerintah daerah mengalami penurunan yang signifikan dengan asumsi penerimaan yang sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sehingga berdampak terhadap terjadinya defisit yang mempengaruhi pembiayaan sejumlah proyek pembangunan di dawerah bersangkutan. Dengan sendirinya item-item pembiayaan dan belanja yang sudah ditetapkan dalam APBD berdasarkan asumsi harga minyak dunia itu, harus disesuaikan kembali karena perbedaan asumsi itu sangat tajam.
Kondisi ini memaksa pemerintah daerah membuat kebijakan berupa menyesuaikan target pembiayaan dan belanja dengan asumsi baru penerimaan pasca penurunan harga minyak dunia. Salah satu bentuk penyesuaian itu ditempuh dengan melakukan pengetatan ikat pinggang. Misalnya, mengurangi kegiataan di lingkungan satuan kerja pemerintah daerah, terutama kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan kebutuhan-kebutuhan primer. Penyesuaian ini harus dilakukan dalam perubahan APBD agar pemerintah daerah tidak mengalami kesulitan fiskal yang nantinya berdampak serius terhadap ketakmampuan membiayai pembangunan daerahnya.
Tentu saja kebijakan ini tidak populis, terutama di kalangan aparatur sipil negara (ASN). Pasalnya, sumber-sumber pendapatan ASN berupa honor-honor kegiatan yang selama ini selalu membuat aparat pemerintah termotivasi dalam bekerja, satu per satu akan hilang. Akibatnya, pemegang kekuasaan pemerintah daerah akan mendapat sorotan negatif mengingat tidak semua ASN memahami dilema yang sedang dihadapi sebagaimana tidak semua ASN paham betapa tingginya tingkat ketergantung APBD terhadap harga minyak dunia.
Dana bagi hasil
Nyaris semua pemerintah daerah (Pemda Provinsi Lampung dan kabupaten kota), mengandalkan sumber pembiayaan pembangunan daerah dalam APBD dari bagi hasil pertambangan minyak bumi. Memang ada banyak sumber pembiayaan dalam APBD yang diandalkan pemerintah daerah seperti pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi umum (DAU), dana alokasi khusus (DAK), dan dana bagi hasil (DBH). Namun, dibandingkan tiga sumber pembiayaan lainnya—yang totalnya sangat tergantung pada kinerja pemerintah daerah dan penilaian tentang kinerja itu sangat tergantung pada laporan keuangan pemerintah daerah – sumber DBH hampir tidak memiliki persyaratan.
Terkait DBH tambang minyak bumi, tidak ada syarat yang harus dipenuhi. Bagus atau buruk kinerja pemerintah daerah selama satu periode pembangunan daerah tidak akan mempengaruhi besaran pendapatan dari DBH tambang minyak bumi. Pasalnya, penerimaan dari DBH sudah diatur berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
DBH pertambangan minyak bumi dibagikan ke daerah adalah penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi dari wilayah daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya dengan imbangan 84,5% untuk pemerintah pusat dan 15,5% untuk pemerintah daerah. DBH dari pertambangan minyak bumi untuk daerah sebesar 15% dibagi dengan imbangan 3% untuk provinsi yang bersangkutan, 6% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, dan 6% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Sisa DBH pertambangan minyak bumi untuk daerah yang sebesar 0,5% dialokasikan menambah anggaran pendidikan dasar, dimana 0,1% dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil, 0,2% dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Tingginya tingkat ketergantungan pemerintah daerah di Provinsi Lampung terhadap DBH pertambangan minyak bumi tergambar dalam penyusun Kebijakan Umum APBD (KUA) setiap tahun. Program-program yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah untuk setiap urusan pemerintahan daerah yang disertai dengan proyeksi pendapatan daerah, alokasi belanja daerah, sumber dan penggunaan pembiayaan yang disertai dengan asumsi yang mendasarinya, selalu mematok asumsi harga minyak sesuai kontribusi DBH pada APBD sebelumnya yang mencapai sekitar 18% sampai 25% dari total dana APBD yang ada.
Dengan asumsi pendapatan dari DBH yang mengacu pada kontribusi DBH dalam APBD sebelumnya, bisa disebut pemerintah daerah kurang mengikuti perkembangan dinamika harga minyak global ketika menata RKA setiap tahun. Dalam APBD 2016, misalnya, asumsi pendapatan dari DBH pertambangan minyak bumi pada APBD Pemda Provinsi Lampung dan kabupaten/kota, tidak mempertimbangkan ramalan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait jatuhnya harga minyak dunia yang akan mencapai kisaran US$ 20-30 per barel.
Jika ramalan ini benar terjadi, maka pendapatan perusahaan minyak yang mengelola ladang minyak di Provinsi Lampung dari penjualan minyak akan menurun. Kondisi ini berbanding terbalik dengan sisi pengeluaran yang membengkak untuk menutup ongkos produksi, pajak, bunga, dan tenaga kerja. Alhasil, perusahaan minyak akan memangkas anggaran belanja modal tahun 2016 untuk menjaga kondisi perusahaan agar tetap eksis. Sangat mungkin perusahaan tersebut akan mengambil kebijkan memberhentikan sebagian tenaga kerjanya. Kebijakan yang ditempuh perusahaan minyak membawa dampak besar kepada produksi minyak dan penerimaan negara. Dampak ikutannya, kesenjangan fiskal di daerah akan semakin tajam karena penerimaan DBH merosot tajam.
Terobosan
Terkait DBH pertambangan minyak bumi, pemerintah daerah di Provinsi Lampung acap tidak ingin ribet. Mereka lebih banyak menunggu pembagian pendapatan minyak bumi dari pemerintah pusat dan tak perlu harus tahu apakah produktivitas perusahaan yang mengelola tambang minyak itu maksimal atau tidak. Pemerintah daerah pun tidak mau tahu apakah perusahaan pengelola tambang minyak investor asing atau penanam modal dalam negeri. Yang terpenting bagi pemerintah daerah, DBH tambang minyak bumi itu ada setiap tahun dan diasumsikan selalu sama seperti tahun sebelumnya.
Sebab itu, pemerintrah daerah yang mengandalkan pembiayaan APBD dari DBH minyak bumi, akan terseok-seok dalam menutup kebutuhan fiskalnya. Tentu saja, melakukan pengetatan fiskal dengan cara mengurangi pembiayaan yang berkaitan dengan kinerja ASN bukan solusi yang efektif, apalagi bila mengurangi pembiayaan yang bersifat fasilitas dan rangsangan terhadap peningkatan kesejahteran publik. Tapi, pilihan ini merupakan solusi jangka pendek yang harus ditempuh meskipun berdampak serius terhadap pencapaian hasil-hasil pembangunan daerah.
Solusi jangka panjang paling tepat yang harus dilakukan pemerintah daerah adalah mengkaji lagi asumsi pendapatan BDH minyak bumi dalam APBD perubahan 2016. Mengurangi asumsi pendapatan itu, kemudian menggenjot pendapatan dari sektor lain untuk mengurangi kesenjangan fiskal.
Pilihan lain yang harus ditempuh pemerintah daerah, mulai memikirkan untuk mendivestasi saham dari perusahaan pengelola ladang minyak di Provinsi Lampung melalui pendirian badan usaha milik daerah (BUMD) tertentu. Semakin sehat BUMD yang dibangun, semakin besar peluang untuk menuntut maksimal divestasi saham yang bisa diajukan, sehingga keuntungan yang diperoleh pemerintah daerah akan lebih besar dibanding bila mengandalkan DBH dari pemerintah pusat.
*Seorang nahdliyin