Oleh: Jean Coteau
Adalah terlambat untuk merisaukan ancaman globalisasi serta dampaknya terhadap kebudayaan. Globalisasi sudah hadir. Peradaban-peradaban agraris lama kini sudah mati. Yang tertinggal darinya hanyalah sisa-sisa,tercecer sana sini, yang dapat difungsikan di dalam kerangka sosio-ekonomi, sosio-kultural dan sosio-politik kapitalistis yang baru.
Kapitalisme ini kini menyeluruh secara geografis dan telah betul-betul menjadi global. Usai menguasai dunia Barat (Eropa Barat dan Amerika Utara) dua ratus tahun yang lalu, dia telah meluas ke Asia Timur (pertama Jepang, lalu kini Taiwan, Korea dan China), ke Timur Tengah dan Asia Tenggara (Thailand, Malaysia dan Indonesia), ke Amerika Latin dan bahkan ke bekas Uni Soviet dan Asia Selatan (India); ia kini tengah merambah ke Afrika.
Selain memasuki semua pelosok bumi, kapitalisme juga merasuki semua segi kehidupan ekonomi dan, dengan sendirinya, kehidupan sosial pula: baik tanah, tenaga kerja, teknologi, sistem pengetahuan dan pendidikan, barang modal dan barang konsumsi dan bahkan sarana dan isi media komunikasi pun, semuanya menjadi komoditas. Jadi untuk pertama kali di dalam sejarah, kehidupan sosio-ekonomi bumi kita ditentukan oleh sistem tunggal: ekonomi pasar, nama baru dari kapitalisme global.
Kapitalisme tidak lagi bersifat nasional. Hal ini berbeda dengan situasi yang berlaku sebelum akhir Perang Dunia Kedua, ketika negera-negara kapitalis besar (Inggeris, Jerman, Amerika, Perancis, Italia) bertarung untuk memperluas wilayah pasar yang dikuasainya secara ekonomi dan politik –hal mana telah berkali-kali bermuara pada perang.
Sebaliknya, kini, modal, tenagakerja dan “pengetahuan” teknis dan manajerial dapat berpindah-pindah tempat secara leluasa, senantiasa mencari lahan yang kombinasi unsur-unsur kapitalnya menghasilkan nilai tambah dan untung yang setinggi-tingginya. Akibatnya senantiasa tumbuh-lah zona-zona akumulasi kapital baru yang pada gilirannya melahirkan sub-zona serupa sembari kian berintegrasi di dalam jaringan kapital internasional. Jadi kini, seperti halnya pemilik modal Amerika yang aktif di China dan Jepang dan balikannya, pemilik modal Indonesia pun adalah aktif, selain di pelosok Nusantara, di Shangai, Jerman atau dimana pun di dunia.
Apakah Bakal Terjadi Disfungsi?
Yang jelas dari situasi di atas ialah bahwa internasionalisasi kapital yang diramalkan Marx dan Trotsky seratus tahun yang lalu telah menjadi kenyataan. Adalah tugas kita agar ia tidak sampai berakhir seperti pada abad yang lalu –ketika dia bubar dalam ultra-nasionalisme di satu pihak (Jerman dan Itali), dan di dalam internasionalisme semu nan kasar yang bernama komunisme di lain pihak. Kita semua wajib membangun sistem institutusional yang mampu menjaga kita agar tidak kita masuk kembali ke dalam jebakan nir-adab dari abad yang lalu.
Berkenaan dengan ini, munculah pertanyaan-pertanyaan untuk horizon 2100: apakah kapitalisme global ini akan bersifat kekal nan damai dan melahirkan jaringan ekonomi dan sosio-politik supra-nasional yang akan menjadikan negara bangsa (nation state) semakin tidak relevan –karena terjepit antara mega-perusahan transnasional di satu pihak dan lembaga dan NGO transnasional di lain pihak—dan bila itu terjadi, apa yang akan merupakan kerangka institusional pengganti; apakah negara bangsa akan tetap menjadi ruang utama yan berdaulat dari sistem penawaran institusional baru antara kepentingan ekonomi, sosial dan politik dunia; atau apakah seluruh sistem institusional dunia akan ambruk karena baik negara bangsa maupun lembaga transnasional tidak akan mampu menghadapi tantangan-tantangan ekologi dan tantangantantangan yang berkaitan dengan akses pada sumber daya alam.
Apa pun halnya, sudah jelas bahwa baik dinamika intern dari kapitalisme ke semua unsur ekonomi; baik juga dinamika geografis dari kapitalisme ke semua wilayah dunia; maupun dinamika yang ritmenya berbeda-beda menurut ruang kultural; semuanya itu dapat melahirkan disfungsi yang bermuara kepada krisis. Krisis mana dapat disusul oleh keseimbangan sosiopolitik adaptatif baru atau oleh konflik.
Matinya Kebudayaan Agraris
Dengan matinya kebudayaan-kebudayaan agraris, yaitu dengan matinya fungsi tanah sebagai faktor penentu utama struktur sosial ekonomi, tak ayal bawha pola hidup terkait punah: orang tidak lagi hidup di dalam lingkaran “extended family” (keluarga besar) di wilayah pertanian serta di kota-pasar atau kota-benteng, tetapi di dalam lingkaran keluarga batih di ruang yang urban atau terjalin dengan budaya urban secara ekonomi dan kultural (TV, internet); penguasaan atas surplus ekonomi tidak lagi dilakukan oleh kaum bangsawan atau “pendeta” yang kemudian mengkonsumsinya di dalam potlatch-potlach besar berbentuk kemewahan prestisius, perang atau upacara besar, yang kesemuanya berfungsi memperkokoh struktur sosial pra-“feudal” atau “feudal” yang ada.
Ia sebaliknya langsung “dikonsumsi” secara individual di dalam bentuk pemborosan konsumtif yang menjadi tujuannya tersendiri nan akumulatif yang berfungsi memperkokoh kuasa kaum kapital. Akibat dari perobahan makro-ekonomi dan makro-sosial ini ialah surutnya pemikiran mitis serta kepercayaan pada hal-hal yang bersifat ajaib nan religus.
Sistem penjelasan yang tadinya ditawarkan oleh “animism-animism” tradisional atau pun oleh agama-agama besar –apakah agama-agama wahyu dari Barat atau agama-agama kosmis dari India ke Timur–kehilangan “kuasa” atas pengikutnya. Keyakinan agama surut atau berubah bentuk secara drastis: alih-alih berupa keyakinan kolektif mutlak yang menjadi perekat sosial yang selaras dengan tatanan politik absolut yang ada, ia kian sering berubah menjadi keyakinan individual bersifat pragmatis nan rasional yang cenderung terstruktur di dalam bentuk kelompok-kelompok atau sekte-sekte yang independen dari atau bahkan bertentangan dengan sistem politik yang berkuasa. Jadi perubahan di atas tidak hanya mengoncangkan tatanan budaya, tetapi seluruh tatanan sosial . .
Homogenitas Budaya
Tak dapat disangkal bahwa ketunggalan sistem kapitalis di atas mempunyai dampak yang besar terhadap sistem budaya, pada aneka tingkat sistem budaya itu: Di satu pihak tak disangkal bahwa ekonomi kapitalistis melahirkan, di dalam pola pengelolaannya, sikap “kultural” yang selarasnya dengannya, dimana pun kita berpijak di bumi ini. Demi sukses perusahaan-perusahan terkaitnya, ia menuntut, dan dengan sendirinya menghasilkan suatu mindset (sikap mental) yang bersifat kian rasional di dalam menghadapi kenyataan.
Rasionalitas ekonomi adalah inheren pada pendjawalan kegiatan produksi dan komersialisasi serta pada penghitungan untung-rugi, dan dengan sendirinya menjadi ciri yang kian mengemuka dari sikap para pelaku ekonomi seluruh dunia akibat gigitan kian mendalam dari kapitalisasi ekonomi. Perangkat pendukung menyusul: fungsi utama dari sekolah, paling sedikit sejak hari jayanya dari kapitalisme imperialis, adalah menyiapkan tenaga kerja yang trampil nan siap pakai untuk dalam perusahaan modern.
Dampak kultural pertama dari rasionalisasi pemikiran adalah standardisasi dari semua sektor kehidupan. Standardisasi menyentuh, di seluruh dunia, semua sektor kehidupan: dari pendidikan, kelembagaan, kesehatan, manajemen, teknik2 produksi dll. Semua bidang kegiatan itu tunduk pada norma-norma yang semakin ketat dan semakin homogen: norma manajemen, norma penentuan anggaran negara, norma organisasi lembaga negara dan perusahan, norma pendidikan, norma hukum, norma kegiatan olah raga, norma perilaku Ham dan lain-lain.
Norma tersebut bersifat semakin internasional dan dijaga oleh lembaga-lembaga internasional (PBB, ILO, IMF, World Bank, UNICEF, UNESCO, Nobel Prize, FIFA, WTO, Amnisty International, ISO dan lain-lain sebagainya) yang wewenang normatifnya semakin luas, dan yang norma organisasional, sosial dan etisnya cenderung mendeterminasi dengan semakin ketat pula apa yang disebut “kebudayaan”, yaitu sistem produksi ide-ide dan kesenian.
Dijuluki modernisasi, perubahan ke arah homogeneisasi dan standardisasi ini terasa di dalam segala bidang kegiatan kultural kontemporer: sastra, teater, seni rupa, seni tari, musik, arsitektur, filem, televisi, produk video dan lain-lain. Semua produk budaya itu kini dibuat berdasarkan resep-resep dan patrun-patrun yang berlaku dari Valpareso ke Vladivostok dan dari Helsinki ke Christchurch, lewat Madrids, Istambul, Mumbai dan Shangai Cape Town, Sanaa dan Almati. Yaitu bersifat global.
Memang tak tersangkal bahwa produk-produk budaya kini pada umumnya dibuat dengan mengacu pada problematika, teknik dan bahkan tema yang local. Masing-masing orang China, India, Perancis dll, masing-masing berkreativitas berdasarkan warisan kulturalnya tersendiri. Tetapi tak tersangkal pula bahwa, di dalam ruang urban modern kekinian mereka, mereka semua mengacu pada estetika yang semakin homogen, semakin mirip dari ujung bumi yang satu ke ujung bumi yang lain: teknik-teknik cenderung sama, pola stilistik serupa, dan ada pun narasinya cenderung semakin mirip, pada umumnya dengan mengangkat situasi urban keluarga batih tipikal yang berhadapan dengan masalah cinta, lalu-lintas, konsumsi, entertainment dll yang juga bersifat serupa. Unsur-unsur lokal cenderung tak lebih dari imbuhan identiter untuk kreator yang memakainya atau imbuhan eksotis untuk yang menontonnya. Pendeknya spektrum kultural kian menyempit. Budaya semakin homogeny, semakin mendunia.
* Jean Coteau, pengamat seni rupa dan budaya Bali asal Prancis. Tulisan ini merupakan makalah Cateau dalam forum Kongres Kebudayaan Indonesia di Yogyakarta, 8–11 Oktober 2013.