Beda Piala Dunia dan Pilgub Lampung

Pemain Kolombia, Radamel Falcao,merayakan gol yang baru saja diciptakannya (Foto: Reuters)
Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

Piala Dunia kembali digelar. Kali ini pesta olahraga sepakbola sejagat untuk menentukan tim negara paling jawara bidang bola sepak itu digelar di Rusia.

Piala Dunia 2018 di Rusia panitianya jelas berbeda dengan Piala Dunia 2014 di Brasil.  Anggota tim sepabola yang ikut Piala Dunia 2018 juga tidak sama dengan Piala Dunia sebelumnya. Para wasit yang menjadi tuan pengadil di lapangan juga berbeda, meskipun ada 1-2 wasit Piala Dunia 2014 yang tetap memimpin pertandingan di sejumlah laga Piala Dunia 2018.

Dalam waktu hampir bersamaan, pemlihan gubernur (Pilgug) Lampung juga digelar di Lampung. Panitianya di tingkat provinsi (KPU Provinsi Lampung) hampir sama personelnya. Ketua wasitnya (Bawaslu Provinsi Lampung) adalah orang yang pada Pilgub Lampung menjadi wakil dan turut menghadapi gugatan paslon yang kalah di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Pada Pilgub 2014,kental sekali terasa dominasi kapital mengalir dari korporasi besar (PT Sugar Group Companies). Indikasinya bisa diihat dari masifnya pembagian gula putih. Menjelang pencoblosan Pilgub 2014, berton-ton gula secara masif didistribusikan untuk calon pemilih. Beberapa ton gula sempat ditangkap warga tetapi kasusnya menguap karena Bawaslu dan Gakumdu tak mampu (dan tak mau) melacak siapa gerangan pengirim gula, siapa yang memerintahkan,dan dari mana sumbernya.

Saat itu sempat berkembang isu bahwa jumlah uang PT SGC untuk mendanai sosialisasi,kampanye, hingga mengamankan suara (juga mengamankan yang lain-lain) mencapai ratusan miliar rupiah.

Tanpa perlu diinvestigasi  pun fakta sosialisasi masif lewat pentas wayang kulit di puluhan lokasi di seluruh pelosok Lampung dan jalan sehat berhadiah mewah cukup menjadi bukti bahwa PT SGC adalah sponsor paling tajir. Publik sudah bisa menghitung berapa harga sekali pentas wayang kulit dalang Ki Entus Susmono.

Sukses pada Pilgub 2014, PT SGC kembali turun gunung di Pilgub Lampung 2018 dengan menjagokan Arinal Djunaidi – Chusnunia Chalim. Hal itu dimulai dengan sosialisasi pencalonan Arinal Djunaidi ke seluruh pelosok Lampung dengan pentas wayang kulit dengan dalang Ki Entus Susmono. Juga acara jalan sehat dengan hiburan musik dangdut bersama artis-artis ibukota. Hadianya mewah: mobis gres, sepeda motor gres, umrah, aneka alat elentronik, dan uang tunai. Polanya sama persis dengan sponsorship pada Pilgub 2014.

Tentu tidak ada laporan ke KPU berapa sumbangan dana kampanye yang digelontorkan korporasi ini. Beberapa media di Lampung  melansir jumlahnya mencapai ratusan miliar sehingga turut mendongkrak “prestasi” Pilgub Lampung dalam jajaran pilgub termahal di Indonesia.

Kalau pada Pilgub 2014 yang mengalir secara masif ke rumah-rumah warga calon pemilih ada gula putih, maka pada Pilgub 2018 yang mengalir adalah sarung dan jilbab. Diyakini, lembaran uang Rp50-an ribu juga satu paket dengan sarung yang disebut sebagai “alat peraga” itu.

Selain jenis barangnya, yang membedakan oleh-oleh dari pasangan cagub-cawagub Pilgub Lampung 2014 dengan oleh-oleh pasangan cagub-cawagub Lampung 2018 adalah sumber dana untuk mendapatkan barang. Pada 2014 diduga kuat  sumbernya dari pemilik pabrik gula terbesar di Lampung. Sementara sarung yang beredar pada 2018 sejauh ini tidak secara nyata muncul asal-usul sumber dananya. Namun, diyakini sumbernya tetap sama, yaitu dari bohir supertajir.

Pada Pilgub Lampung 2014, money politic dalam bentuk gula, sembako,dan uang begitu masif dan mencolok mata. Tapi Bawaslu yang lemah membuat mereka gagal melakukan pengawasan dengan baik. Kalau mau jujur, pada Pilgub 2014 pasangan Ridho-Bachtiar adalah pasangan yang paling tidak fair play.

Hal itu berbeda dengan Piala Dunia 2014 di Brasil. Saat itu  tim Kolumbia menjadi tim paling fair play, meskipun pulang tanpa memboyog piala. Minimnya jumlah kartu kuning da kartu merah membuat skuat asuhan Jose Pekerman itu mendapatkan penghargaan sebagai tim Paling Fair Play di Piala Dunia 2014.

Bagaimana soal fair play Pilgub 2018? Bawaslu Lampung mencatat pasangan Herman HN – Sutono banyak melakukan pelanggaran. Sementara di sisi lain, Bawaslu Lampung tampak menutup mata pada pelanggaran masif dan terstruktur berupa pembagian sarung,jilbab, dan uang yang dilakukan pasangan Arinal – Nunik.

Karena Bawaslu terkesan diam terhadap fakta pelanggaran itu, maka tidaklah terlalu salah kalau publik menudinng Bawaslu Lampung “masuk angin”. Kalau tidak mau disebut “masuk angin”,seharusnya Bawaslu tangkas menindaklanjuti laporan money politic.

Alih-alih memberikan peringatan agar semua paslon tidak melakukan politic uang, KPU Lampung dan Bawaslu Lampung terkesan melakukan pembiaran dan tidak memberikan peringatan keras agar distribusi 500 ribu sarung (dan jilbab) alat peraga” milik pasangan Arinal-Nunik yang sebelumnya sempat diamankan warga di Bukit Kemuning itu tidak disertai uang.

Apa yang dikatakan KPU dan Bawaslu ketika ratusan ribu sarung itu ditemukan di sebuah gudang di Lampung Utara? Katanya, sarung dan jlbab adalah alat peraga kampanye! Dasar hukumnya adalah Peraturan KPU (PKPU).

Sejumlah 500 ribu lembar sarung itu adalah alat peraga yang bisa diketahui publik. Masih ada kemungkinan sarung lain yang publik di Lampung tidak tahu. Dan,kecil kemungkinan sarung itu dibagikan kepada calion pemilih tanpa dibarengi sisipan uang. Beberapa bukti hasil tangkap sarung disertai uang yang dilaporkan masyarakat ke Panwas sudah cukup membuktikan bahwa ratusan sarung itu diduga kuat dibarengi uang. Pembagian sudah tentu dilakukan tidak serampangan, tetapi secara masif, terstruktur,dan diam-diam.

Masalahnya: Bawaslu sudah tentu punya dalih bahwa sarung adalah alat peraga kampanye. Dus, itu artinya laporan dugaan praktik politik uang masih dan terstruktur itu akan terbantah dengan sendirinya. Berarti, seperti Pilgub 2014, rakyat Lampung mau tidak mau akan menerima hasil Pilgub 2018 yang hasilnya kemungkinan besar dimenangkan oleh jagonya korporasi terbesar di Lampung.

Rakyat pemilih sudah cukup senang hanya dikasih sarung, jilbab, dan uang Rp 50 ribu hingga maksimal ratusan ribu. Amboi…. alangkah murahnya harga satu suara untuk memilih pemimpin yang akan berkuasa selama lima tahun.  Praktik “jual-beli” yang tak setara mau tidak mau harus diterima. Makai itu, tidak perlu protes kalau Lampung akan terus tertinggal dibanding provinsi lain.

Piala Dunia selalu menjunjung sikap fair play, sementara dua kali Pilgub Lampung menenggelamkan fair play. Deklarasi Pilkada Damai dan Tanpa Politik Uang pun menjadi bualan dengan biaya mahal.