Sastra  

Cerita Pendek Toto Dartoyo: Begal

Bagikan/Suka/Tweet:

HARI masih teramat pagi ketika dari belakang muncul sepeda motor lain secara tiba-tiba. Memepet dan berhenti di depannya. Penumpangnya bergegas turun dan mengacungkan golok serta membentaknya dengan suara keras. Dalam hitungan detik motor Bolo berpindah tangan. Dua orang dewasa dengan tato-tato di tangan itu bergegas pergi meninggalkan kengeriannya.

“Hati-hati di jalan, ya ? Dadah….!” pesan lelaki berwajah codet yang duduk di belakang sambil melambaikan tangan dan berlalu.

Meski masih tergolong kanak-kanak, sikap begal itu jelas menyakitkan Bolo yang tengah mengejar takdir agar garis kehidupan keluarganya ikut terangkat.

“Kenapa kamu tidak teriak?” seru kakaknya sehabis mendengar penjelasan Bolo di rumah. Kakaknya sangat gusar karena motornya hilang. Entahlah, seperti mendapat firasat apa saat Bolo bersikeras meminjam dengan alasan harus mengerjakan tugas sekolah lebih awal, ia mengiyakan saja permintaan adiknya lantaran hari itu tidak ngojek . Biasanya Bolo jalan kaki meski jarak ke sekolahnya cukup jauh.

“Percumalah, Kak…” jawabnya. “Kakak tahu sendiri jalan X menuju sekolah Bolo jauh dari rumah-rumah penduduk.”

“Paling tidak kamu bisa lihat ciri-ciri orangnya seperti apa!”

Bolo tercenung. “Yang satu tinggi,” cetusnya kemudian, “kurus, hitam, rambut gondrong. Ada codet di pipinya….”

“Yang satunya?!” kejar si kakak.

“Yang satunya….” Bolo terdiam. Ia berkeras mengingat wajah lelaki yang tadi bersama Si Codet itu. Kakaknya terus mendesak. Namun dikejar-kejar begitu, imajinasi Bolo malah ngeblank. Sungguh hanya lelaki bercodet saja yang mampu diingatnya dengan jelas karena tadi berdiri dekat dengannya.

Ia tak mampu mengingat lelaki yang satunya. Tapi kakaknya terus saja memburu. Rupanya si kakak ingin sekali melampiaskan kekesalannya kepada si adik. Sekali lagi Bolo berusaha, tapi kemudian hanya bisa tergagap. Kakaknya naik pitam. Disepaknya adiknya yang baru kelas dua smp itu. Bolo menghindar.

Melihat tingkah adiknya yang berkelit dari sepakannya, emosi si kakak makin menggila. Dan ketika si kakak dengan suara keras meminta jawaban tentang ciri-ciri wajah yang satunya, serta Bolo tetap tak mampu mengatakan, emosi si Kakak mencapai puncak. Diangkatnya kursi yang ada di dekatnya buat menghajar si adik. Karno yang kebetulan berada di sisi Bolo segera menghadang agar Bolo tak terlukai.

Keributan di ruang tengah rumah keluarga Bolo mengundang para tetangganya yang lain untuk masuk. Mereka menenangkan si kakak dan membawanya pergi. Ibu Bolo datang terisak sambil membawakan minum. Ibunya bersyukur bahwa anaknya masih hidup. Bolo segera meneguk air yang disodorkan ibunya itu.

illustrationsof.com

Perasaannya kini sedikit lebih tenang. Lalu bergegas ke kamar. Pintu dikuncinya rapat-rapat. Takut kalau-kalau kakaknya yang mudah naik darah itu tiba-tiba datang dan menerobos masuk. Sementara di luar orang-orang sibuk membicarakan begal yang makin merajalela.

Diam-diam telinga Bolo menerobos dinding kamar, mencoba menyimak tiap kata yang meluncur dari mulut orang-orang di luar sana.

“Ah, untung Si Bolo tak bernasib seperti Opik, ” kata seseorang.

Ya. Bolo memang beruntung masih hidup. Tapi tidak dengan Opik. Dan kini Bolo ingat bagaimana sahabatnya yang mati minggu lalu itu pernah mengajaknya bekerja sehabis lulus nanti. Duitnya buat masuk polisi, katanya. Bolo mengiyakan. Dan impian itu terus melambung. Selain gagah, jadi polisi adalah mengabdi pada negara untuk mengamankan masyarakat. Terutama dengan pistol yang ada di tangan mereka. Penjahat-penjahat akan takut dibuatnya.

Dan jika para begundal itu berani melawan, tinggal….dor! Bahkan seharusnya para penjahat kambuhan yang sering keluar masuk bui dan berulang kali membunuh, sudah sepantasnya mati ditembus timah panas, pikirnya. Maka bagi Bolo dan Opik, masyarakat akan terlepas dari penindasan para penjahat. Bahkan ketika mereka belum lahir ada peristiwa penembakan misterius yang dilakukan oleh orang tak dikenal kepada para bandit.

Kabarnya pula, orang-orang bertato pada ketakutan. Dan akhirnya, masyarakat merasa tenteram sehingga harga-harga sembako jadi murah. Peristiwa itu terjadi di zaman Presiden Suharto. Pantas saja sekarang di mobil-mobil yang melintas, di truk-truk yang berjalan, banyak tulisan yang berbunyi “Piye kabare, Mas Bro?…..Enak di zamanku, kan?” beserta gambar Pak Harto yang sedang tersenyum.

“Kalau kita lulus nanti, kita bisa cari duit untuk masuk polisi,” celetuk Opik.

“Kalau sudah jadi polisi kita tembak penjahat-penjahat itu sampai mati!”

“Hahahahaha……..!”

Keduanya berjalan sambil tergelak.

“Memang berapa duit masuk jadi polisi, Pik?”

“Katanya sih seratus lima puluh juta!”

“Hah…!!?”

Bolo dan Opik terus berjalan. Wajah muram keduanya tiba-tiba tak mampu mereka sembunyikan. Dan siapa yang menyangka, kini Opiklah yang mati oleh penjahat. Air matanya jatuh mengenang kebersamaan itu.

“Jadi kita harus bagaimana, nih? Masa kita mau diam saja!” cetus seseorang di luar dengan tidak sabar. “Kita diamkan saja peristiwa ini lalu kita anggap selesai atau kita segera bertindak menangkap begundal-begundal itu dengan cara kita sendiri ?!!”

Orang-orang tersulut.

“Kita tangkap dengan cara kita sendiri!!” teriak seseorang sambil mengepalkan tangan.

“Betul…! Betul….!! Betul….!!!” timpal yang lain ramai.

“Betul…!!!!” kata seseorang ketinggalan.

Suasana ribut dan panas. Sementara di dalam kamar, suasana panas juga dirasakan Bolo.

“Tapi bagaimana caranya?” tanya seseorang.

“Ya, bagaimana?” seru yang lain balik bertanya.

Tak lama kemudian semuanya terdiam. Semua terpekur mencari cara guna menangkap begal yang meneror mereka.

***
Pak Sultoni menyetujui saja motornya dipakai umpan ketika rapat kampung membahas upaya menangkap begal terhenti. Masing-masing terdiam saat Pak Murod sebagai pemimpin rapat menanyakan motor siapa yang siap dijadikan tumbal guna melancarkan rencana mereka. Orang-orang tampaknya tidak mau mengambil resiko kehilangan jika begal yang masuk perangkap tidak tertangkap. Tapi nampaknya Pak Sultoni cukup cerdas membaca situasi jalan tempat dimana dirinya dan Opik pernah dicegat. Kata Pak Sultoni, jalan itu hanya memiliki dua pintu masuk. Pintu selatan dan pintu utara.

Jalan X sepanjang dua kilometer itu memang hanya di kelilingi oleh sawah yang luas. Tidak ada lagi jalan beraspal maupun jalan yang menuju kampung-kampung penduduk. Sejauh mata memandang hanya hamparan sawah yang menguning di samping kanan-kiri sungai. Jadi, jika dicegat di bagian selatan, maka hanya bisa lolos ke arah utara. Begitu pun sebaliknya. Dan Bolo kagum dengan kemurahan hati serta jalan pikiran Pak Sultoni yang pintar itu.

Ringkas kata, motor mahal keluaran terbaru milik Pak Sultoni siap menjadi korban. Bahkan Pak Sultoni sudah merelakan jika si Begal tidak tertangkap dan berhasil membawa kabur roda dua miliknya. Yang penting, kata Pak Sultoni, semuanya sudah berusaha. Masalahnya sekarang adalah siapa yang mau menunggangi motor tersebut?

Kembali, rapat terhenti. Tidak ada yang bersedia menjadi joki. Bahkan seseorang yang terkenal pemberani di kampung itu pun tidak mau saat diajukan sebagai pengendaranya. Alasannya dia tidak mahir mengendarai motor keluaran terbaru itu. Sampai akhirnya ada yang bersedia menjadi pahlawan yaitu anak dari bapak tua yang biasa di panggil Mbah. Tapi saat Si Mbah mengetahui anaknya maju sebagai joki, ia menentang habis-habisan. Siapa saja boleh maju asal bukan anaknya. Tidak ada alasan. Titik, katanya di tengah-tengah rapat. Orang-orang pun tidak berani memaksa. Maka rapat pun kembali terhenti cukup lama.

Meskipun kakaknya begitu galak kepadanya, tapi sang Kakak melarang keras saat Bolo mengajukan diri sebagai joki. Begitu juga Pak Panut, ayahnya. Ayah Bolo sungguh takut jika peristiwa nahas yang menimpa Opik juga akan menimpa anaknya.Tapi semua orang tidak ada yang membantah lagi, terutama kakaknya, saat Bolo menegaskan bahwa seorang begal tidak akan melukai korbannya sedikit pun jika korbannya tidak melawan.

Si begal akan dengan senang hati membiarkan korbannya selamat saat dirinya meminta sesuatu dari si mangsa. Apalagi jika mangsa yang diincar ternyata hanya anak kecil seperti dirinya. Dan kalau semua orang enggan menjadi umpan siapa lagi yang bersedia? Kakaknya sendiri enggan.

“Tapi siapa yang mau mencegat di utara dan selatan?” tanya sang kakak yang masih khawatir kepada orang-orang yang hadir di rumah Pak Murod itu.

Tampaknya rapat akan kembali menemui jalan buntu. Namun keluarga Opik segera menyanggupi untuk mencegat begal di bagian selatan setiap hari hingga satu bulan ke depan . Dan Pak Panut yang masih takut anaknya terkena masalah  menyatakan siap di bagian utara. Kebetulan sekali saudara-saudara Bolo dari pihak ayah dan ibunya banyak yang tinggal di pintu bagian utara.

Perburuan pun dimulai hingga berhari berminggu. Sampai Bolo menelepon lewat telepon seluler yang tak dirampas kepada keluarga Opik yang sudah menunggu di pintu selatan bahwa Si Codet baru saja merampas motor Pak Sultoni.***

Karawang, Awal Desember 2013

*Toto Dartoyo, guru SMPN 2 Ciampel, Karawang, Jawa Barat