Begawan Itu Telah Berpulang

Bambang Eka Wijaya. Foto: dok Soni Wicaksono
Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial di Pascasarjana FKIP Unila

Siang itu badan saya  sedang “sumeng”, serasa berat karena sedang tidak baik-baik saja, tiba-tiba gawai berdenting tandaada berita masuk. Setengah tidak percaya membacanya, seorang sahabat, teman, sekaligus tokoh jurnalis andal di jagad jurnalistik telah berpulang. Ada rasa membuncah dalam dada karena tidak bisa ikut mengantarkan beliau keperistirahatan terakhir, sebagaia tanda takzim.

Sambil tertelentang menahan sedikit tidak nyamannya pinggang, terbayang tahun awal delapanpuluhan, saat pertama masuk Lampung, atas saran seorang sahabat bernama Thoha BS Jaya, berangkatlah ke kantor redaksi Lampung Post sekaligus berkenalan dengan pimpinan redaksi. Itulah pertama kali saya kenal dengan sosok orang gagah “pidekso” bernama Bambang Eka Wijaya (BEW)

Meminjam istilah Mas Oyos,  beliau selalu “nguwongake” (memanusiakan manusia). Istilah  itu benar adanya. Saat saya masih “bau kencur” soal tulis menulis, karena hanya punya modal cupet sebagai mantan redaktur koran mahasiswa, maka banyak hal yang diperoleh dari pak BEW berkaitan dengan keahlian satu ini.

BEW juga secara pribadi memberikan inspirasi yang luar biasa sebagai sesama “orang Jawa” yang tidak lahir di Pulau Jawa, dengan tetap berpegang teguh pada kepribadian leluhur. Prinsip hidup yang pernah beliau kemukakan dan tetap terngiang sampai hari ini adalah “dayunglah perahu dengan tidak membuat ombaak baru”. Makna itu dalam sekali, seolah beliau ingin mengatakan menyelesaikan segala sesuatu itu tidak dengan menimbulkan persoalan baru, caranya bila perlu “ngalah tetapi tidak kalah”.

Setiap jumpa beliau dalam acara ap apun, pasti ada idiom baru yang dapat dirangkai sebagai ajaran budi, yang selalu memulyakan orang lain. Menariknya lagi, beliau tidak pernah kehabisan ide. Oleh karena itu tidak salah kalau kita tabalkan kepada beliau adalah Sang Begawan. Karena BEW sudah “menep”. Kata “menep”  tidak ada terjemahan yang tepat, tetapi kita bisa ambil contoh, kopi yang telah kita sedu dengan sendok, kemudian untuk beberapa lama kita biarkan, maka butiran atau bubuk kopinya turun ke dasa, sementara air kopinya sangat berasa. Proses inilah disebut menep dalam bahasa jawa. Dan BEW sudah mencapai “makrifar” itu.

Cerita kebegawanan lainnya saat BEW jumpa di suatu acara diskusi tahun 1990-an, saat situasi negara sudah “hangat-hangat kuku” karena aktivis demokrasi mulai memunculkan jati dirinya. Ternyata BEW punya nyali yang besar saat itu dalam menggalang pemikiran-pemikiran kritis menentang rezim penguasa saat itu. Beliau pernah bicara dalam bahasa satir dengan aksen khas beliau “segala sesuatu kalau sudah kelamaan itu gosong”.

Tentu saja kami yang mendengar tertawa terbahak-bahak. Itu pun beliau menambahkan cletukkan “awas dinding itu punya kuping!”

Humor-humor cerdasa beliau banyak dan berserak saat ada event apapun, dan biasanya banyak orang tertawa setelah acara usai: hanya mereka yang memiliki selera humor tinggi bisa menangkap pesan yang terselubung tadi.

Tampilan lahiriah kesederhanaan Sang Begawanpun semakin nyata, beliau selalu berbaju warna putih dan berspan hitam; jauh sebelum Jokowi berpenampilan sederhana, BEW sudah lama menerapkan dalam kehidupan nyata. Beliau tidak segan-segan untuk menyapa “wong cilik”; pada setiap acara apa pun. Beliau pernah berseloroh dengan penulis di suatu acara dengan celetukkan “Hanya nasib saja yang membawa kita begini, aslinya kita ya seperti mereka itu” dan ditutup dengan tawa lepas sebagai seorang Pak Bambang.

Banyak sekali kenangan bersama Sang Begawan. Rasanya setiap perjumpaan tidak ada yang berlalu begitu saja. Ada saja kesan yang tertoreh sebagai ingatan. Beliau sekarang pulang menuju kea lam keabadian. Namun kenangan yang ditinggalkan juga abadi dalam ingatan. Sebagai manusia tak akan lepas dari salah dan dosa, melalui media ini mewakili semua pengagumnya mohon maaf jika ada salah ucap dan salah kata, semoga Sang Begawan dapat bergembira bersama amalnya.

Terakhir yang tertinggaal setelah berpulangnya beliau adalah, mampukah diri ini bersikap tawadhuk, sabar, gigih, bersungguh-sungguh seperti yang beliau contohkan kepada kita ? Semua itu mudah diucapkan, tetapi sulit mengerjakannya; namun usaha dan upaya harus terus kita lakukan agar suluh kehidupan itu tidak mati. Selamat jalan Begawan kami, dan kami yakin amalmu berlimpah sehingga bekalmu tidak akan susah; semoga sang Begawan dapat menikmati keabadian dengan ceria. Doa kami semua menyertaimu.