Oleh: Sudjarwo
Guru Besar FKIP Unila
Ada makna yang dalam pada kata “Bejo”. Secara etimologis, memang hanya berarti untung atau keberuntungan. Tetapi secara filosofis memiliki makna yang lebih dalam. “Bejo” lebih tepat diartikan sebagai keadaan positif yang diterimakan oleh Tuhan pada kita. Sifatnya take for granted, atau begitulah adanya. “Bejo” menjadi kata sifat yang menguntungkan bagi pemiliknya. (diunduh: 9-9-2021 pk. 11.00). walaupun kata ini juga dijadikan nama produk dari herbal untuk kesehatan, apa yang menjadi alasan, hanya pemiliknya yang tahu.
Tuhan menciptakan dunia dan isinya selalu memiliki pasangan; bejo pasangannya ciloko, kaya pasangannya miskin; laki-laki pasangannya perempuan; dan ini adalah wilayah ontology ketuhanan yang bersifat substantive. Oleh karena membahas bejo harus melihat hakekat dari suatu peristiwa. Karena tanpa sudut pandang itu jangkauan akal manusia menjadi tidak sampai.
Peristiwa serupa di atas, jarang sekali dipahami oleh banyak orang, karena peristiwa bejo itu di luar nalar manusia. ada seorang teman yang secara kalkulatif matematis dia menang dalam pertarungan perebutan suara untuk suatu jabatan; tetapi tangan Tuhan melalui Bejo tidak menjatuhkan kemanangan itu padanya, justru kepada sosok lain yang secara nalar tidak bisa dikaji mengapa dia bisa menang.
Banyak sekali peristiwa di dunia ini kejadiannya diselamatkan oleh “bejo”; sehingga kalkulasi buruk yang dilakukan oleh nalar manusia, menjadi tidak terbukti. Tampak sekali kehadiran tangan Tuhan memporakporandakan scenario buatan manusia. dan di sana menunjukkan bagaimana keterbatasan mahluk yang disebut manusia.
Ke”bejo”an itu sendiri sering tidak disadari oleh pelakunya, sehingga menunjukkan perilaku takabur. Salah satu tamsil yang sekaang sedang dipertunjukkan kepada kira, seorang Kepala Daerah yang dipilih rakyat, mendapat kabekjan menang; ternyata bukan berlaku syukur, akan tetapi menampilkan perilaku sebaliknya; dengan berlaku kecewa manakala melihat gajinya berapa. Oleh karena itu niatan untuk menguras uang rakyat sebagai penggantinya dijadikan pilihan. Ternyata khufur nikmat telah menyelimuti niat dan langkahnya sebagai manusia.
Ternyata “bejo versus Ciloko” itu sangat tipis sekali lompatan jaraknya, dan kenalaran manusia tidak akan mampu menembusnya. Yang membedakan adalaah bagaimana menyikapi jatuhnya bejo pada diri seseorang. Ada yang memanfaatkan kebejoannya tadi dengan sebaik baiknya dan disertai rasa syukur kepada Sang Pemilik Bejo. Pada pakeliran pewayangan cerita ini dipentaskan melalui “ Petruk Dadi Ratu” (Petruk Jadi Raja). Sang Petruk yang selama-lamanya berperan sebagai abdi atau jongos, mendadak menjadi raja. Ternyata rasa bersyukurnya ditampilkan dengan berbuat adil kepada rakyat kecil. Beliau tidak “kumoluhur” (sok menjadi orang baik), tetapi tetap istiqomah sebagai umat yang mensyukuri nikmat, dengan tidak meninggalkan jati diri sebagai abdi; hanya mengubah kiblat keabdiannya, yang selama ini pada para bendoro, sekarang bendoronya adalah rakyat.
Di sini tampak sekali bahwa manusia itu hanya memiliki batas pada usaha, upaya, dan doa. Sementara kepastian dan keharusan, itu bukan miliknya, akan tetapi milik dari yang Maha Memiliki. Oleh karenanya kepasrahan kepada Tuhan adalah sikap permanen yang seharusnya ada pada diri kita yang imanen.
Pembelajaran demi pembelajaran di negeri ini selalu ada, namun selalu saja kita sebagai manusia sering lengah, hilap, lupa terhadap semuanya itu. Akhirnya salah satu instrumen pemerintah yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi selalu saja mendapatkan sasaran untuk menjebloskan mangsanya ke penjara. Walaupun jarang kita menyadari bahwa keberhasilan KPK dari satu sisi, adalah kemunduran ahlak kita sebagai anak bangsa, pada sisi lainnya.
Contoh bejo yang tidak bejo lainnya adalah adanya koruptor yang memprapengadilankan lembaga anti rasuah ini, saat akan menyita dan melelang asset sitaannya. Ternyata urat malu yang selama ini sering menonjol keluar, entah kemana sekarang larinya. Terlepas apakah niatan itu diteruskan atau tidak, hal ini menunjukkan bagaimana rendahnya pemahaman akan nikmat yang pernah diberikan kepada yang bersangkutan, yang kemudian dihianati itu; adalah dosa kemanusiaan yang hukumannya tidak selesai di alam dunia ini saja.
Orang bijak mengatakan bahwa bajunya hidup ini adalah diataranya bejo-ciloko, untung-rugi, susah-senang; namun bagaimana kita bersikap saat bejo, dan bagaimana sikap kita saat ciloko; itu adalah ukuran abstrak kebatinan atau kesolehan seseorang dalam melakoni perjalanan scenario yang diperuntukkan untuk nya dari yang Maha Memiliki.
Mari dengan waktu yang tersisa ini kita menjadi orang yang Bejo didunia dan juga Bejo di akherat. Jangan sampai kita tidak Bejo di dunia dan juga tidak bejo di akherat. Minimal kita tidak bejo di dunia tetapi masih bejo di akherat. Dan sangat tidak beruntung lagi kalau kita hanya bejo di dunia tetapi tidak bejo di akherat.
Pilihan pilihan itu semua ada dihadapan kita; tinggal bagaimana kita menyikapinya. Orang pandai itu masih kalah dengan orang yang bejo, oleh karena itu jangan ubah syukur nikmat menjadi khufur nikmat.***