Belajar Menghargai Guru

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh : Gunawan Handoko*

Cita-cita untuk menjadi seorang guru pernah tumbuh saat saya kecil dulu. Saya ingin seperti Tan Malaka, sosok tokoh muda yang dengan gigih dan penuh kesabaran telah berjuang mendidik anak-anak dengan penuh cinta kasih. Sungguh sayang, ayah melarang saya masuk sekolah pendidikan guru. Alasannya sangat sederhana, menjadi guru tidak punya gengsi dan hidupnya selalu susah.

Guru ibarat pohon yang tinggi tapi buahnya jarang. Berbeda dengan pegawai negeri sipil non guru yang masih bisa mendapat seseran di luar gaji yang diterimanya. “Kamu boleh menjadi guru, tetapi bukan guru yang mengajari murid di depan kelas, melainkan guru bagi sesama generasi, bagi masyarakat, lingkungan kerja dan guru bagi siapa saja”, ucap ayah yang tidak ingin anak-anaknya hidup susah dengan gaji yang sangat kecil waktu itu.

Meski impian kandas, namun saya selalu terusik untuk ikut mencurahkan isi hati terkait dengan nasib guru dan banyaknya rintangan yang menghambat proses pendidikan selama ini. Selain rendahnya partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan bagi anak didik, hal yang dilematis sering mencuatnya kasus pengelolaan kelas yang sampai ke institusi penegak hukum, akibat tidak terima atas tindakan guru dalam memperlakukan anaknya. Padahal, diyakini bahwa apa yang dilakukan guru tersebut semata-mata demi untuk perbaikan moral dan budi pekerti, bukan penyiksaan.

Untuk hal yang satu ini saya jadi teringat saat berkunjung ke beberapa sekolah di Selangor Malaysia beberapa tahun lalu. Di setiap pintu gerbang sekolah terpampang tulisan yang merupakan pesan moral yang amat dalam,  berbunyi Tegak rumah kerana sendi, runtuh sendi rumah binasa. Sendi bangsa ialah budi, runtuh budi runtuhlah bangsa. Sebait pantun tersebut seolah menyampaikan pesan kepada siapa saja yang membaca, betapa masyarakat di Malaysia sangat mengedepankan budi, moral dan kepribadian.

Sesungguhnya inilah tujuan utama dari pendidikan, bukan hanya sekedar cerdas dan pintar. Perlu langkah yang arif dan bijak dalam mensikapi guru yang ’salah’, yakni menyelesaikannya dalam tingkat internal antara guru, kepala sekolah dan orang tua siswa serta pihak Dinas Pendidikan. Mungkin sudah saatnya bagi kita untuk ’belajar’ menghargai guru, seiring dengan upaya pemerintah dalam memberikan perhatian lebih kepada profesi guru, terutama faktor kesejahteraan. Nampaknya pemerintah telah menyadari bahwa untuk memperbaiki mutu pendidikan harus di mulai dengan perbaikan nasib guru. Semua pihak harus menyadari bahwa guru merupakan ujung tombak kegiatan belajar-mengajar di kelas, meski dalam menjalankan tugas mengajarnya harus sesuai aturan yang ada, yakni kurikulum yang telah digariskan pemerintah.

Alhasil, banyak guru yang memiliki idealis menjadi tertekan karena perannya untuk ikut mengembangkan kepribadian para siswa terabaikan. Pembelajaran di sekolah cenderung diarahkan sedemikian rupa supaya siswa bisa lulus dalam ujian nasional (UN). Maka, suasana belajar di kelas tak ubahnya seperti bimbingan belajar dengan mengerjakan soal-soal UN. Menjalani profesi guru memang butuh perjuangan dan kesabaran. Saat ini, banyak guru mengalami depresi akibat seringnya pemerintah mengganti kurikulum. Padahal, setiap pergantian tersebut pasti membawa dampak terhadap aturan-aturan dan ketentuan yang dilaksanakan di sekolah.

Pada level sistem, kita berharap agar sistem pendidikan yang cenderung mengakibatkan guru tidak berpikir kreatif harus dirombak. Bagaimanapun, guru tetap perlu diberikan kebebasan dalam mengkreasikan materi-materi ajar dan tidak kaku sesuai buku paket.

Pada level kompetensi guru, adanya kelemahan guru di bidang kompetensi profesional, pedagogik dan kompetensi pribadi segera perlu diatasi. Untuk itulah, kita amat memerlukan pendidikan guru yang bukan hanya membekali calon guru akan penguasaan ilmu pengetahuan, namun juga pembentukan kepribadian yang kuat, kepribadian yang berpengaruh dan kepribadian yang membangun. Dengan begitu, guru akan bisa mendampingi siswa didik agar tidak hanya bisa menguasai pengetahuan dan membuat siswa pandai, tetapi juga berkepribadian secara baik.

Disadari memang, usaha melaksanakan komitmen pendidikan bukan pekerjaan mudah, namun kita percaya bahwa dengan memikirkan nasib dan menghargai profesi guru, berarti kita telah memulai satu langkah. Tanpa bermaksud membanggakan negeri lain, namun tidak ada salahnya jika kita mengadopsi sistem pendidikan di negara Malaysia, Singapura dan Thailand. Guru diberikan kebebasan memilih berbagai konsep pembelajaran yang tepat untuk anak usia sekolah sehingga tidak mendapatkan hal negatif bagi siswa.

Untuk memenuhi hasil akhir yang sempurna, diperlukan peran seorang guru yang terkadang harus ‘out of box’. Artinya, diperlukan beberapa kreativitas dari guru untuk mengemas materi pelajaran yang mayoritas bersumber dari buku. Menjadikan siswa tidak tergantung hanya kepada catatan yang diberikan guru kepada mereka, tapi lebih kepada menjadikan siswa untuk mengecek langsung ilmu tersebut dari sumber tertulis. Karena tidak ada buku wajib, maka pihak sekolah memperkaya perpustakaan dengan aneka ragam buku dalam jumlah yang sangat banyak untuk ukuran kita. Yang lebih menarik lagi, di setiap sekolah meletakkan program gerakan membaca massal sebagai landasan atau pondasi dalam membangun kualitas pendidikan dan sumber daya manusia.

Kegiatan membaca massal terbukti sangat efektif dalam menumbuhkan minat membaca bagi para siswa, khususnya di tingkat sekolah dasar. Membaca adalah suatu proses mental atau kognitif yang di dalamnya seorang siswa diharapkan bisa mengikuti dan merespon terhadap pesan si penulis. Selama ini di Indonesia para guru maupun murid telah terjebak dengan mitos-mitos kuno yang mempercayai bahwa membaca itu sulit, bahwa membaca tidak boleh menggunakan jari, bahwa membaca harus dilakukan dengan mengeja kata per kata dan sebagainya.

Dalam pelajaran membaca, hal rutin yang berjalan selama ini, sang guru membaca setiap baris sementara murid menirukannya. Setiap baris diulang sampai tiga kali. Begitulah, belajar adalah merekonfirmasi, belajar adalah mengulang dan menyalin, belajar adalah menyatu dalam suara yang resmi dalam keresmian. Maka wajar, meski banyak sistem pembelajaran dari luar negeri yang sebenarnya dapat di adopsi untuk diterapkan di Indonesia, seperti membaca massal misalnya, tapi tidak ada yang berani melakukannya. Alasannya ya itu tadi, takut menyalahi aturan. Hal dan kebiasaan ‘pasrah’nya seorang siswa kepada gurunya ini pada kenyataannya telah menjadi penyakit yang menggejala sampai di tingkat perguruan tinggi, sebuah wadah yang menampung banyak kaum intelektual yang menyandang gelar ‘agent of change’.

Coba tilik saja daftar hadir mahasiswa dan dosen di perpustakaan, lalu bandingkan dengan total mahasiswa dan dosen di universitas/fakultas tersebut. Pasti kita akan heran dan bertanya-tanya, dimana mahasiswa lainnya menghabiskan waktu mereka?

Bagi kita yang pernah mengalami hidup pada zaman praglobalisasi informasi, bahkan pada zaman penjajahan sekali pun, posisi dan profesi guru sangat dihormati, berada pada tatanan kaum elite priyayi. Dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan maupun kenegaraan, para guru selalu ditempatkan pada posisi terdepan. Bahkan, dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan republik Indonesia pun guru selalu ada di garis terdepan.

Kita tahu, bukan hanya Ki Hajar Dewantara saja sebagai pendobrak dan tokoh pendidikan, bahkan almarhum Panglima Besar Jenderal Sudirman pun adalah seorang guru. Semoga semangat juangnya akan terpatri dalam dada para guru dalam menjalankan tugas mulianya. Dirgahayu Guru Indonesia.***

*Ketua Harian KMBI (Komunitas Minat Baca Indonesia) Provinsi Lampung