Erina Noviani, S.T., M.T.
Peneliti di Pusat Studi Kota dan Daerah (PSKD) dan Mahasiswa S3 Ilmu Lingkungan Unila
Alam telah menciptakan bentang alam yang beragam seperti lereng, rawa, dan cekungan sungai. Bentang alam ini bukan sekadar bagian dari pemandangan, tetapi memiliki fungsi ekologis yang sangat penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Sayangnya, manusia sering kali mengabaikan fungsi alami ini dan justru menjadikannya sebagai lahan permukiman serta pembangunan infrastruktur. Akibatnya, bencana seperti longsor dan banjir kerap terjadi, bukan sebagai peristiwa alam murni, melainkan sebagai konsekuensi dari ulah manusia sendiri. Oleh karena itu, bencana yang sering disebut sebagai “bencana alam” sejatinya adalah bencana yang direncanakan oleh manusia melalui pengabaian terhadap tata ruang berbasis ekologi.
Fungsi Alami Bentang Alam
Lereng, rawa, dan cekungan sungai memiliki fungsi alami yang tak tergantikan. Lereng berfungsi sebagai penopang ekosistem hutan serta memiliki kemampuan menyerap air hujan sehingga mencegah erosi dan longsor. Rawa berperan sebagai area resapan air dan penyaring alami yang mengurangi risiko banjir. Sementara itu, cekungan sungai merupakan jalur alami yang mengalirkan kelebihan air hujan ke laut atau danau tanpa menyebabkan bencana. Dengan kata lain, bentang alam ini bekerja secara harmonis untuk menjaga keseimbangan air dalam ekosistem.
Selain itu, pepohonan juga memainkan peran penting dalam mengatur siklus hidrologi. Salah satu fungsinya adalah membantu mengatur waktu turunnya hujan agar lebih teratur. Bukan hanya karena daya resapnya yang tinggi, tetapi juga melalui proses intersepsi, di mana air hujan tidak langsung jatuh ke tanah melainkan melalui beberapa tahapan. Air hujan terlebih dahulu tertahan di dedaunan, kemudian mengalir ke ranting, lalu ke batang sebelum akhirnya mencapai tanah. Proses ini mengurangi laju aliran air, meningkatkan infiltrasi, serta membantu mengendalikan erosi dan banjir. Dengan demikian, ekosistem pepohonan menjadi bagian integral dalam menjaga keseimbangan air secara alami.
Namun, keseimbangan ini terganggu ketika manusia mulai mengeksploitasi wilayah-wilayah ini tanpa memperhitungkan dampaknya terhadap lingkungan. Pembangunan permukiman di lereng bukit memperbesar risiko longsor karena menghilangkan vegetasi penahan tanah. Pembangunan di rawa mengurangi daya resap air, sehingga meningkatkan potensi banjir di musim hujan. Begitu pula dengan permukiman di cekungan sungai yang menghambat jalur aliran air alami dan menyebabkan banjir semakin parah. Dengan demikian, bencana yang terjadi bukan sepenuhnya disebabkan oleh alam, tetapi lebih banyak akibat tindakan manusia yang tidak mempertimbangkan keseimbangan ekologi.
Musim Kemarau dan Lupa akan Banjir
Saat musim kemarau tiba, manusia cenderung melupakan ancaman banjir yang selalu terjadi di musim hujan. Pada saat inilah banyak tindakan sabotase terhadap bentang alam dilakukan. Orang-orang mulai membangun rumah di sepanjang bantaran sungai, menimbun rawa untuk dijadikan lahan bangunan, dan meratakan lereng untuk dijadikan kawasan permukiman atau pertanian tanpa mempertimbangkan kelayakan ekologisnya. Mereka hanya melihat lahan kosong sebagai peluang ekonomi tanpa memahami bahwa lahan tersebut memiliki fungsi ekologis yang harus dijaga.
Salah satu alasan utama yang sering dikemukakan adalah masalah finansial. Banyak orang beranggapan bahwa mereka tidak memiliki pilihan lain selain membangun di area berisiko tinggi karena keterbatasan biaya atau akses terhadap lahan yang lebih aman. Namun, keputusan ini justru memperburuk kondisi lingkungan dan meningkatkan potensi bencana di masa depan. Ironisnya, biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi dampak banjir atau longsor akibat eksploitasi lahan ini sering kali jauh lebih besar dibandingkan jika sejak awal dilakukan perencanaan yang memperhatikan aspek ekologis. Oleh karena itu, penting untuk meningkatkan kesadaran dan kebijakan yang mendukung pembangunan berkelanjutan agar keseimbangan lingkungan tetap terjaga.
Ketika musim hujan kembali datang, air hujan yang seharusnya dapat diserap oleh tanah justru kehilangan tempat resapannya. Sungai yang dulunya mampu menampung air kini menjadi sempit karena adanya permukiman, sehingga air meluap dan menyebabkan banjir. Rawa yang dulunya berfungsi sebagai tempat penyimpanan air alami kini telah berubah menjadi area terbangun, sehingga air tidak memiliki tempat untuk mengalir. Lereng yang dulunya kokoh menahan tanah kini menjadi rapuh akibat deforestasi dan aktivitas manusia, menyebabkan longsor yang merusak infrastruktur serta mengancam nyawa.
Ironisnya, ketika bencana terjadi, manusia justru menyalahkan alam. Sungai dianggap sebagai penyebab banjir, lereng dianggap sebagai penyebab longsor, dan rawa dianggap sebagai lahan yang bermasalah. Padahal, sebelum manusia mengubah bentang alam ini, semuanya berjalan secara alami tanpa bencana besar. Dengan kata lain, manusialah yang menciptakan bencana dengan cara merusak fungsi alami bentang alam.
Bentang Alam Sebagai Kambing Hitam
Dalam banyak kasus, bentang alam sering dijadikan kambing hitam ketika terjadi bencana. Padahal, jika diamati lebih jauh, masalahnya bukan terletak pada bentang alam itu sendiri, melainkan pada bagaimana manusia memperlakukannya. Pemanfaatan ruang yang tidak memperhatikan keseimbangan ekologis menjadi faktor utama dalam terjadinya bencana. Seharusnya, manusia tinggal di sekitar bentang alam, bukan di dalamnya. Ini berarti membangun dengan mempertimbangkan tata ruang berbasis ekologi, tidak merusak fungsi alami lingkungan, dan memastikan bahwa bentang alam tetap dapat menjalankan perannya sebagai pengatur air dan tanah.
Jika manusia terus mengabaikan prinsip ini, maka bencana akan terus terjadi berulang kali. Banjir akan semakin parah, longsor akan semakin sering, dan berbagai bencana lain akan terus menghantui. Oleh karena itu, solusi terbaik adalah dengan mengembalikan fungsi bentang alam seperti semula. Hal ini bisa dilakukan dengan merelokasi permukiman dari daerah rawan bencana, mengembalikan fungsi rawa sebagai area resapan air, serta melakukan reforestasi di lereng-lereng yang sudah terdegradasi.
Bencana seperti banjir dan longsor sebenarnya bukan murni kejadian alami, melainkan hasil dari perbuatan manusia yang tidak menghargai keseimbangan ekologi. Lereng, rawa, dan cekungan sungai adalah bagian dari sistem alam yang memiliki fungsi penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan. Ketika manusia mengabaikan fungsi ini dengan membangun permukiman dan infrastruktur tanpa perhitungan ekologis, maka bencana pun menjadi sesuatu yang tak terhindarkan.
Sebagai solusi, kita harus mulai memahami dan menghormati bentang alam. Manusia tidak seharusnya mengsapotase bentang alam, melainkan hidup bertampingan dengan sekitarnya, tetap menjaga keseimbangan ekologis. Jika tidak, maka bencana yang kita alami saat ini akan terus berulang, karena sesungguhnya bencana tersebut bukanlah sesuatu yang datang secara tiba-tiba, melainkan bencana yang telah direncanakan oleh manusia itu sendiri.***