Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Lampung
Pada saat selesai pesta pernikahan keluarga kami sekeluarga pagi itu makan pagi bersama satu meja besar. Sambil menghadapi hidangan dan mulut berisi makanan, satu sama lain mengemukakan pandangan politik yang berbeda. Karena keluarga ini adalah asli Sumatera; maka hiruk pikuk yang terdengar bagai orang berkelahi untuk mereka yang tidak mengerti budaya mereka. Bisa dibayangkan ada yang ngotot bahwa calonnya adalah relegius dan bersih, tidak mau korupsi. Saudara yang satu tidak mau kalah mengatakan orang pandai pasti memilih calonnya karena memiliki kapasitas yang teruji. Saudara lainnya berargumentasi kedepan harus dipersiapan pemimpin muda, bukan pemimpin bau tanah.
Hiruk pikuk itu diwarnai argumentasi-argumentasi emosional, sehingga saling ejek antarsaudara sekandung terjadi di meja makan. Mereka sangat berbeda satu dengan yang lain; namun saat membagi gulai ayam dan rendang, ternyata gulai itu terbagi secara adil dan harmoni; mereka semua melahap tidak ada yang “singut” apalagi marah. Suara latang keras ternyata untuk mereka adalah penekanan argument bukan emosi.
Tampak sekali perbedaan antarmereka dalam pilihan politik, namun perbedaan itu tidak membawa mereka untuk berseberangan apalagi berlawanan. Mereka bukan akademisi, bukan pengurus partai, bukan pula simpatisan; tidak lebih hanya sekedar pilihan. Argument mereka tidak melayang kelangit ketujuh , mereka betul-betul berada di bumi; bahkan saat itu ada di meja makan, dan sama-sama sedang makan pagi dengan lahapnya.
Mereka tidak pernah berteori seperti banyak orang dimedia sosial, bahkan menjadi lucu saat ada teman belasungkawa, ada anggota yang ngotot banget untuk berargumen atas nama demokrasi hanya sekedar ingin menunjukkan dia ahli. Meja makan itu menjadi meja demokrasi bagi keluarga ini, ngototnya berpijak pada hal-hal praktis dan tidak mengajak untuk berpihak kepada salah satu diantara mereka. Peneguhan akan pilihan dan pendirian tidak disertai ajakan untuk berpihak pada mereka; hal ini seolah menggambarkan ruang eksistensi mereka dalam berpijak.
Terkadang yang melihat dan memperhatikan agak miris, karena takut nanti piring dan gelas akan melayang. Ternyata itu tidak terjadi; mereka sering mengakhiri kengototan dengan gelak tawa. Penulis yang sudah kebal dan paham akan budaya mereka, terkadang menjadi geli dan bangga. Geli karena begitu gigihnya mereka mempertahankan pendapat sehingga seolah-olah mereka bukan saudara kandung bahkan lebih garang dari anggota legeslatif sungguhan. Bangga, karena membayangkan betapa hebatnya negeri ini jika bisa menyikapi beda pendapat seperti keluarga ini; mereka benar-bear menunjukkan “berbeda bukan berlawanan”, dan kedewasaan berpolitik walaupun bukan politikus, rasa-rasanya lebih dewasa mereka dibandingkan dengan anggota parlemen di Senayan, bahkan lebih hebat mereka dibandingkan akademisi yang hanya bisa berucap tetapi tidak pernah menuliskan ucapannya sebagai jejak akademisi dalam menorehkan legacy. Mereka tidak pernah membaca teori ilmu politik, komunikasi politik dan macam-macam buku induk ilmu politik; tetapi mereka berargumen bagai pembaca paham-paham politik kawakan yang mumpuni dalam praktik.
Ternyata “politisi-politisi meja makan” ini kokoh dalam pendirian, tidak mencla-mencle serta murni dari hatinurani. Mereka tidak pernah kenal dengan pilihannya, mereka belum pernah jumpa secara langsung orang pilihannya; tetapi kesamaan ideology menjadikan keberpihakan. Mereka tidak perlu argument di atas langit, tetapi mereka hanya perlu fakta dilapangan, terutama di meja makan.
Peristiwa di atas seolah-olah meneguhkan bahwa sikap politik tidak selamanya berhubungan dengan tingkat pendidikan, akan tetapi kesamaan ideology dan cara pandang lebih mendominasi akan jatuhnya pilihan.
Rasanya tidak salah jika kita berterimakasih kepada pendiri bangsa ini yang telah menanamkan nilai-nilai demokrasi jauh sebelum Indonesia merdeka. Local wisdom yang mereka tanamkan berlanjut secara evolutif pada generasi penerusnya, seolah mengalirkan nilai-nilai kebangsaan sejati. Tidak menjadi penjilat, tidak merasa ingin menang sendiri, tidak merasa pintar sendiri, tidak merasa lebih hebat dari yang lain; adalah diantara sifat dan sikap tawadhuk yang terus dialihgenerasikan mengalir sampai akhir jaman. Adapun akhir-akhir ini banyak terjadi “kerusakan”; penyebabnya mari kita tanyakan kepada rumput yang bergoyang.