Berburu Kastil Aisya

Bagikan/Suka/Tweet:
Telah terbit antologi puisi “Kastil Aisya” karya penyair Singapura, Noor Aisya. Buku yang terbit di Singapura dengan cover yang didominasi warna hitam ini, layak dibaca dan dipelajari sebagai pemerkaya pengetahuan tentang khazanah kesusastraan Singapura. Dalam pengertian yang lebih luas lagi, sebagai bagian kesusastraan Melayu di Asia Tenggara.
Bagi yang berminat, silakan memesan melalui saya di nomor: 0859-4520-1755 atau melalui inboks Facebook. 
Di Indonesia, buku ini dibanderol dengan harga  Rp45.000 (belum termasuk postage/ongkos kirim). Untuk pembeli Singapura dan Malaysia, silakan langsung hubungi Noor Aisya.
***
Membaca puisi Noor Aisya seperti membaca ruang transisi sastera Melayu mutakhir. Ada pergeseran-pergeseran penggunaan bahasa Melayu yang cukup mencolok. Tema-tema yang ia angkat secara umum, tidak pernah lepas dari masalah sosial dan kemanusiaan.
Daya tarik dari puisi-puisinya (ada juga yang mood jiwang), meski yang menjadi objek tembak adalah gejala sosial manusia yang dianggap sudah kehilangan kemanusiaannya, Noor Aisya memutar pesan itu melalui puisi-puisi berketuhanan. Ia menggunakan pelafalan layaknya seorang filsuf. Tetapi saya tidak mau menyebutnya sebagai filsuf, karena ia tetap penyair yang memiliki sisi kemanusiaan dan ketuhanan yang seimbang. Berikut beberapa petikan puisinya:
kucari berkalikali, suara sang sufi
tinggal sepisau sepi runcing sendiri
duhai kekasih tanpa pilih kasih
dalam purba bara aku gigil
memanggilmanggil
khasyaf-kanlah pandangan
hingga di jiwa, berkhalawat cinta
(KESAKSIAN PUTIH)
apa harus kumohon saat Arafah
merengkuh raih, berjemaah
berpasang kekasih
aku sendirian
menatap dedahan qurma
kering seperti rindu dalam diriku
: jauh nian engkau daripada sentuhan(?)
(JABAL RAHMAH)
pada rukuk dan sujudku
kubaitkan kalimah mustajab
ijab lidah-hati-perbuatan
tersuruk di gerbang alpa
(KAFFAH RAMADHAN)
Begitulah gaya Noor Aisya menyampaikan pesan dari ide-ide dan paham kemanusiaan dan berketuhanannya. Pengusungan pesan yang tidak profan, tidak tampak menggurui, dan menceramahi.
Hal lain yang dapat diperhatikan, pemanfaatan enjabemen yang ditata sedemikian ketat. Noor Aisya sudah paham akan fungsi enjabemen sebagai pemerluas ruang pemaknaan, misalkan puisi JABAL RAHMAH dibiarkan lurus begini:
apa harus kumohon saat Arafah merengkuh raih,
berjemaah berpasang kekasih, aku sendirian
menatap dedahan qurma kering seperti rindu dalam diriku
: jauh nian engkau daripada sentuhan(?)
Kesanggupan menggali sumur-sumur kontemplasi di kedalaman jiwa seorang penyair, akan sangat menentukan seberapa sanggup ia menyatukan diri dengan puisi. Dengan kata lain, puisi bukan lagi diposisikan sebagai mediator, tidak juga menganggap puisi sebagai produk, apalagi sebagai barang dagang untuk memantas-mantaskan diri di lingkungan sosial tertentu, melainkan menjadikan puisi sebagai dirinya sendiri tanpa sekat.
(Petikan kata pengantar oleh Muhammad Rois Rinaldi)