Oyos Saroso H.N|Teraslampung.com
BANDARLAMPUNG — Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) memprotes keras upaya Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan untuk menjalankan program mitigasi bencana Gunung Anak Krakatau. Program itu dinilai Walhi sebagai kedok untuk menambang pasir Gunung Anak Krakatau.
“Program sebenarnya pernah dijalankan oleh sebuah perusahaan atas rekomendasi Bupati Lampung Selatan Wendy Melfa pada 2009 lalu. Yang terjadi di lapangan adalah penambangan pasir Gunung Krakatau. Karena mendapatkan protes dari masyarakat,
akhirnya dihentikan,” kata Eksekutif Nasional Walhi, Mukri Friatna, Jumat (17/1).
Menurut Mukri usulan program yang diajukan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lampung Selatan itu sangat ironis. Sebab, kata Mukri, pengajuan izin penambangan sudah pernah dilakukan Bupati Lampung Selatan Zulkifli Anwar dan Wendy Melfa tetapi ditolak Menteri Kehutanan karena melanggar UU Cagar Alam.
“Selain ke Menhut, kegiatan apa pun di Gunung Anak Krakatau harus mendapat izin Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Lampung. Kami mengimbau BKSDA Lampung tidak memberikan izin program mitigasi bencana karena akan merusak kawasan cagar alam Gunung Anak Krakatau,”kata Mukri.
Mukri mengatakan satu-satunya cara untuk menyiasati Undang-Undang tentang Cagar Alam sehingga sebuah perusahaan bisa melakukan penambangan adalah dengan melakukan program mitigasi bencana.
“Hal itu pernah dilakukan PT Ascho Unggul Pratama pada tahun 2009 lalu. Tapi karena ketahuan warga kemudian dihentikan oleh Menteri Kehutanan Zulkifl Hasan,” kata Mukri.
Sebelumnya, pada Kamis (16/1/2014) Kepala BPBD Lampung Selatan, M. Saleh, mengatakan mitigasi bencana Gunung Anak Krakatau perlu dilakukan untuk mengurangi dampak yang akan ditimbulkan letusan Gunung Anak Krakatau.
“Kami akan melakukan pembahasan dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung Selatan, ahli vulkanologi, dan minta berbagai masukan dari unsur masyarakat. Kami juga akan melakukan pembahasan mitigasi Gunung Anak Krakatau dengan DPRD Lampung Selatan,” kata M. Saleh.