Opini  

Berduel dengan Pers (1)

Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh
Budi Hatees*
Ketika
sejumlah media “menghajar” Partai Demokrat karena kader-kadernya terlibat
sejumlah kasus korupsi, para politisi partai pemenang Pemilu 2009 itu mengancam
akan memboikot pers. Sikap Partai Demokrat mendapat kritik dari banyak kalangan
karena dinilai tidak cerdas. Dan, memang, hanya orang yang tak cerdas yang mau
memboikot pers ketika sekian banyak politisi di negeri ini sadar betul bahwa
pers berandil besar untuk meningkatkan citra dan popularitas mereka.
Tapi,
orang-orang yang tak cerdas dalam memahami pers, tidak hanya berasal dari
kalangan Partai Demokrat, tetapi juga elite-elite partai politik lainnya.
Bahkan, ketidakcerdasan dalam bermedia juga dipertontonkan Gubernur Sumatra
Utara Gatot Pujo Nugroho.  Namun, tak
seperti politisi Partai Demokrat, Kepala Daerah yang juga politisi Partai
Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengajak pengelola institusi pers (wartawan)
berduel secara fisik.
Wartawan
yang tak cerdas, pasti akan meladeni tantangan itu.  Untunglah wartawan yang diajak duel menolak
menjadi tak cerdas. Gatot Pujo Nugroho akhirnya tegak sendiri sebagai Kepala
Daerah yang tak cerdas dalam bermedia.
Tantangan
berduel secara fisik itu disampaikan Gatot Pudjo Nugroho ketika wartawan mengkonfirmasi
temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait hasil audit Dana Bagi Hasil (DBH)
sebesar Rp2,2 triliun tahun 2013 yang belum dibayarkan. Entah karena mood Gubernur Sumatra Utara sedang
buruk, entah karena ia sendiri juga pusing kemana perginya dana triliunan
rupiah itu, atau entah karena ia merasa terpojok,  Gatot Pudjo Nugroho pun menantang wartawan
untuk berduel.
*
MARAH
dan emosi sesungguhnya bukti bahwa secara psikologis mekanisme pertahanan diri
seseorang telah melemah.  Rasionalitas
berpikir terabaikan, naluriah dasar manuisia sebagai homo sapiens mendapat porsi dominan. Ketika itu, seseorang akan
merasa terancam, lalu memilih jalan pintas menghadapi ancaman itu.
Ada
banyak penyebabnya seseorang menjadi emosional, tetapi yang paling sering
terjadi adalah perasaan difitnah, diremehkan, dan dilecehkan. Misalnya,
seseorang merasa sangat tertekan ketika dikritik secara tajam oleh pers, dan
menilai pers bersangkutan tidak lagi punya niat baik.
           
Hal
seperti itulah yang dialami Gubernur Sumatra Utara, Gatot Pudjo Nugroho.  Kepala Daerah yang berkarakter tenang, kalem,
adem, dan kelihatannya sangat piawai mengelola emosi ini, ternyata seorang yang
emosinya gampang terpancing. Politisi PKS yang senantiasa mencitrakan diri
sebagai partai politik dari orang-orang tawadhuk
dengan iman dan kesabaran yang agamis, ternyata punya masalah dalam membangun
komunikasi dengan pers di lingkungannya.
Penyebabnya,
tentu, karena ketidakcerdasan dalam bermedia. Bermedia bisa dipahami sebagai
budaya dalam memposisikan media sebagai salah satu pilar demokrasi sebagaimana
digariskan dalam UU No.40/1999 tentang Pers. Artinya, Gatot Pudjo Nugroho yang
selama ini selalu memuji-puji wartawan dan senantiasa dekat dengan pers,
meyakini kedekatan itu merupakan jaminan bahwa pers tidak akan mengkritik
pemerintahannya.
Tapi,
Kepala Daerah ini abai bahwa pers tidak selalu seperti dianjurkan Bill Kovach
dan Tom Rosenstiel dalam dua buku mereka: The Elements of Journalism, Revised and Updated 3rd
Edition: What Newspeople Should Know and the Public Should Expect

(2001)
dan BLUR, How To Know What’s
True In The Age Of Information Overload
. (
2011).
Penyebabnya, pers nasional yang sekian puluh tahun menderita
di bawah tekanan pemerintah otoriter Orde Baru, mengalami masa transisi ketika
Orde Baru runtuh. Transisi
dari perubahan situasi pers yang tidak merdeka ke situasi pers yang merdeka.
Situasi itu menuntut setiap orang mimikirkan secara serius tentang bagaimana
seharusnya mengisi kemerdekaan pers yang diperoleh itu. Situasi yang mengharuskan
 siapa saja agar merumuskan secara jelas langkah-langkah
seperti apa untuk mengisi kemerdekaan pers itu.
Sejumlah
kalangan memang akhirnya menginisiasi perubahan UU Pokok Pers, yang ditandai
dengan pengesahan UU No.40 Tahun 1999 tentang Pers oleh Presiden BJ Habibie.
Tapi, perhatian setiap orang lebih ditujukan pada perayaan atas hasil perjuangan
mendapatkan kemerdekaan pers itu, bukan tertuju pada bagaimana mewujudkan pers
yang ideal seperti dijelaskan dalam konstitusi yang baru disahkan.
Setiap
orang akhirnya hanya memikirkan cara menikmati kemerdekaan itu. Hanya
menikmati. Sementara pihak yang ada di luar pers, cenderung untuk melakukan
gerakan baik sadar atau tidak justru menolak segala bentuk kemerdekaan pers
dengan membatasi kerja-kerja peliputan berita dan penyampaian infomrasi oleh
media massa.. Agus Sudibyo dalam bukunya, Kebebasan Semu (2009),
mencatat semangat anti kebebasan pers muncul di hampir seluruh lapisan
masyarakat. Pada awal reformasi (1999-2002), kelompok massa, ormas, dan satgas
menjadi ancaman paling serius terhadap kebebasan pers.  Apa pun yang dilakukan pers, selalu dibatasi,
dan kerja para wartawan dihalang-halangi. Tidak sedikit kantor media cetak yang
didemo, tak sedikit wartawan yang bekerja di bawah tekanan.
Pasca
berakhirnya kekuasaan Presiden BJ Habibie, reformasi di tangan Presiden
Abdurrahman Wahid membuka kebebasan pada kelompok-kelompok massa untuk mendapat
tempat strategis dalam dinamika kehidupan. Muncul satgas-satgas  bentukan 
komunitas-komunitas masyarakat, yang bekerja dan bertindak nyaris tidak
beda dengan militer. Gerakan-gerakan paramiliter ini memberikan tekanan dan
ancaman luar biasa terhadap kemerdekaan pers.
Situasinya
semakin parah ketika kehadiran satgas-satgas ini menginpirasi kelompok-kelompok
sosial tertentu untuk memanfaatkan kemerdekaan pers demi memanjakan kepentingan-kepentingan
pribadi maupun golongan. Kebebasan pers dipakai dan diperalat untuk mencari dan
membesar-besarkan konflik. Pers tidak mampu menciptakan ruang publik media yang
demokratis-deliberatif. Padahal, pers determinatif dalam membentuk masyarakat
demokratis yang informatif.
           
Situasi
pers nasional ini sama persis seperti situasi negara yang mengalami trasisi
demokrasi. Daniel Sparingga dalam tulisannya “Transisi Demokrasi di Indonesia:
Menstrukturturkan Sebuah Peta Jalan Baru” yang merupakan kata pengantar untuk
buku Akbar Tandjung, The Golkar Way,
Survival Partai Golkar di Tengah Turbulensi Politik Era Transisi
(2007),
secara umum menyimpulkan bahwa kita gagal mendorong elite-elite untuk
mengkonsolidasikan satu kesepakatan bersama tentang demokrasi Indonesia yang
sesungguhnya. Akibatnya, seluruh elite yang terlibat dalam reformasi memiliki
pandangan yang berbeda tentang reformasi, dan menyakini bahwa pandangannya yang
paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Kegagalan
yang sama dialami dunia pers. Barangkali karena pers merupakan salah satu pilar
demokrasi, makanya kehidupan pers tidak bisa lepas dari dinamika demokrasi di
negeri ini. Ketika demokrasi kita berada dalam masa transisi, dengan sendirinya
pers pun ada pada posisi itu. Ketika demokrasi kita kehilangan paradigma, pers
dengan sendirinya kehilangan paradigma.
Bagir
Manan, ketua Dewan Pers, dalam banyak kesempatan menyebutkan, secara normatif
kemerdekaan pers telah dijamin secara expressis
verbis
oleh Undang-Undang Pers. Secara implied, kemerdekaan pers dijamin
UUD 1945. Sejumlah ketentuan tentang hak asasi memerlukan, bahkan efektif hanya
apabila ada kemerdekaan pers. Begitu pula dari aspek demokrasi. Tanpa pers
merdeka, tidak akan ada demokrasi. Sebaliknya, tanpa demokrasi, tidak akan ada
kemerdekaan pers.
Pers
dan demokrasi memiliki saling ketergantungan. Dalam esainya, “Democracy and the
New Technologies”, Ken Hirshkop menyimpulkan demokrasi telah mempengaruhi wajah
media, begitu juga sebaliknya media mempengaruhi demokrasi.  Itu sebabnya, media acap diseret untuk terlibat
dalam medan pertarungan politik.
Asp dan Esaiasson da­­lam ­The
Modernization of Swedish Campaign : Indi­vidualization, Profe­sionali­zation,
and Medializa­tion
 
(1996) mengingatkan, keha­diran media sebagai
peran­tara antara pemilih dengan kandidat akan berimplikasi pada migrasi
besar-besaran dunia politik ke dalam media, baik dari sisi kualitas maupun
kuantitas.
Migrasi
itu membuat media berkembang zonder kepentingan publik. Padahal, kemerdekaan
pers seperti disebut Geoffrey Roberstson dan Andrew Nicol dalam buku, Royal Comission on the Press Final Report,
Media Law (1984)
,  harus dipahami
sebagai kemedekaan yang didedikasikan untuk kepentingan publik, bukan yang
lainnya. Demokrasi juga untuk kepentingan publik. Pers dan demokrasi memiliki
tujuan yang sama yakni kepentingan publik.
Di
masa awal reformasi, kepentingan publik masih menjadi focus perhatian semua
pihak. Legislatif di DPR juga masih sejalan dengan aspirasi masyarakat,
sehingga pers bisa memperjuangkan misi menciptakan ruang publik demokratis.
Namun,
perkembangan reformasi dengan agenda yang tidak dikawal, menyebabkan masyarakat
terpecah secara politis ke dalam agenda dan kepentingan pribadi maupun
golongan. Ranah publik di media diintervensi kepentingan-kepentingan itu. Pemerintah
pun mulai memikirkan untuk memanfaatkan ruang publik media untuk kekuatan dan
kepentingan birokrasi. Banyak regulasi pemerintah yang dikeluarkan, yang
intinya menghambat kemerdekaan pers.
Situasi
semakin parah ketika kemerdekaan pers berhadapan dengan realitas dunia yang
bergerak cepat. Penemuan-penemuan teknologi informasi, juga perkawinan antara
teknologi media dengan telekomunikasi, melahirkan budaya baru dalam bermedia.
Industri pers semakin dipengaruhi oleh dinamikan dunia bisnis, ditandai dengan
iklim konvergensi media yang meletakkan kepentingan bisnis di atas kepentingan
publik.
Pers
tidak bisa lagi diharapkan menyediakan ruang di mana proses check and
balances
dimungkinkan. Pers tak bisa jadi sumber utama informasi dan
diskursus bagi terbentuknya masyarakat informatif. Situasi ini berdampak serius
terhadap masa depan pers nasional. Sebab itu, pers membutuhkan solusi yang
tepat agar bisa tampil sebagaimana semestinya, berjalan pada track yang sudah disepakati bersama.
Sayangnya,
solusi itu tidak kunjung ditemukan. 
Penyebabnya karena  urusan pers
diserahkan sepenuhnya menjadi urusan orang-orang pers, tanggung jawab
orang-orang pers. Para pengelola industri
pers  justru luput untuk mengawal dan
mengendalikan kebebasan pers. Sejak lama, 
para pelaku industri pers merasakan betul bahwa pertumbuhan teknologi  informasi di negeri
ini tertinggal  jauh dibandingkan kondisi
di negara-negara lain.  Pandangan para
pelaku industry pers ini mendorong mereka untuk melakukan percepatan teknologi
informasi, sehingga abai terhadap subtansi pers yang sesungguhnya.

*Budi Hatees menulis buku Tulisan yang tak Enak Dibaca (2009)—buku yang berisi tulisan tentang kegiatan jurnalistik selama bekerja di Lampung, analisi isi atas terbitan Lampung Post selama menjabat sebagai Kalitbang Lampung Post,  dan diktat perkuliahan untuk mahasiswa komunikasi di Universitas Bandar Lampung dan Universitas Lampung.