Beringin Terbelah

Bagikan/Suka/Tweet:
Oleh
Slamet Samsoerizal
Beringin
di alun-alun terbelah. Seperti ribuan lalat yang membaui aroma khas, warga
menyerbu alun-alun. Alih-alih dua kubu yang berseteru, mereka berbondong-bondong dari
segala penjuru. 
Golok, bendo, kapak, prekul dan gergaji ditenteng. Tujuannya
satu. Niat mereka telah bulat. Mereka akan selesaikan peristiwa ini secara
jantan.
“Jam
berapa tumbangnya?” tanya Ki Bloko Sutho sambil tingwe (nglinting dewe tembakau
dan klaras jagung.)
“Mboh.
Wong aku ya baru denger” ujar Surakyat
“Ini
bakal ada apa-apanya”
“Ada
huruhara gitu Ki? Wis jangan lebai
deh. Please! Rakyat cilik yang udah
dari sananya adalah pengabdi sejati, mbok ya jangan ditiupi angin yang bikin
semakin gerah.”
“Lho,
dulunya dulu, ada hikayat waktu terjadi geger kerajaan, diisyarati sama
tumbangnya beringin di alunalun.  Tak ada
hujan tak ada angin, tibatiba makbrek brek. Maka yang memang harus terjadi,
terjadilah. Kerajaan diperangi musuh dari tetangga sebelah.”
“Gitu,
ya Ki? Tapi ini bukan tumbang, namun terbelah. Lha itu warga yang kian menyemut
dan datang berbagai arah mata angin, mesti digimanakan?”
“Nikmati
segelas kopimu, baru nanti kita membaur ke mereka.”
“Aku
duluan membaur Ki!”
***
Matahari
perlahan merangkak mengangkangi warga yang kian membanjir. Celoteh, ciap, dan
grenengan mereka makin menegaskan bahwa mereka penasaran. Surakyat menyeruak
kerumunan dan berdiri dengan sok gagah di patahan batang pohon beringin.
“Merdeka!
Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka! Merdeka!” pekik Surakyat, seolah  ingin menegaskan jika rakyat yang ada datang
bak air bah ini tak pernah merdeka  ya
pikir,  ya ekonomi. Warga terkesiap dan menoleh ke arah suara itu.
Dengan
gaya sok orator ulung Surakyat dengan lantang berteriak:
“Tahukah
kalian kenapa beringin ini terbelah?  Apa
yang akan terjadi? Isyarat apalagikah yang bakal kita rasakan sebagai
rakyat,  Saudara-saudara?” 
“Para
pengabdi kehidupan sejati yang dimuliakan Tuhan” Ki Bloko Suto, tiba-tiba sudah
berada di samping Surakyat. “Aku cuma mau tanya, gerangan … apa mau kalian menyemut
seperti ini di sini?”
Warga
berteriak, menjawab, menyanggah, menggreneng tak jelas. Ide mereka gajebo ditangkap. 
Warga merangsek.
“Apa
mau kalian? ”
Warga
semakin merangsek sambil mengacungacungkan sajam (senjata tajam) yang dibawanya.
Ki Bloko Sutho dan Surakyat memang tak gentar apalagi panik. Keduanya tetap di
tempatnya.
“Baik,
baik. Sekarang, lakukan apa pun yang akan kalian lakukan. Tapi ingat dan catat,
demi kepentingan kalian. Demi kepentingan kita! ”
Maka,
warga yang bergegas pun menyerbu Beringin. Pohon yang terbelah itu pun segera
dicincang, dibacok, digodot, dibantai, digergaji, dimultilasi tanpa ampun.
Hasilnya? Warga yang berniat suci dalam waktu singkat mengusaikan Beringin yang
terbelah dalam waktu hitungan jam.
Alun-alun
tampak benderang. Siang melaju. Angin menyapu sisasisa dedaunan. Surakyat dan
Ki Bloko Suto sudah tak tampak sosoknya. Warga yang semula menyemut kembali ke
habitat masing: pinggiran bantaran sungai, emperan toko, kolong jembatan,
pinggiran rel kereta api, dan dalam gerbong kereta api yang diparkir masinis
dekat stasiun.
Usai
bersih Beringin, mereka bubaran. Mereka: Ki Bloko Suto, Surakyat, warga
sekitar alun-alun negeri ini kembali kerja kerja kerja dan kerja! Di benaknya
hanya terbayang Gusti Allah berbelas memberi mereka makan. Hanya itu pintanya
tiap saat! 
***
Partai
Beringin terbelah dua. Ada yang Munas di Bali dan ada pula yang di Ancol. Mas
Nakurat tak pernah punya kepentingan mau dukung Mas Agung Laksono atau Mas
Ical, si Aburizal Bakrie. Obsesi Mas Nakurat: bukan Munas tapi Mu Nas(i). Lain
tidak! Nasi-lah yang memberinya energi pada tubuhnya yang semakin lurus kaku
pepohonan.  Nasilah yang menjadi dambaan
para sahabat Mas Nakurat.
Mas
Nakurat ingin mencicit lewat akunnya: “Wahai
para politisi, birokrat, akademisi, yang belakangan suka bertanding lewat
budaya tandingan; yang belakangan suka bersikap membayangbayangi kemapanan
lewat bayangan, yang mendadak memberhentikan sebuah perjalanan yang tengah
berlangsung, yang membuat kekuatan hukum atas kesepakatan yang sudah dilakukan
dan memakan durasi maupun energi, yang suka ngamuk kala bersidang rembuk
sesuatu  — berpestalah bukan semata
wacana—kejar kejar kejar dan kejar prestasi demi negeri yang makin nganga
lukanya ini.”  ***