Bertapa

Bagikan/Suka/Tweet:

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Ilmu-Ilmu Sosial Pascasarjana FKIP Unila

Membaca judul tulisan ini, tentu yang terbayang di benak kita adalah seseorang yang sedang duduk bersila dalam diam disuatu kaki bukit; atau goa, bahkan bisa jadi di bawah pohon besar nan rindang. Jarang kita membayangkan seseorang berada di tengah keramaian, biasanya pasar, orang yang dalam diam duduk, atau berjalan, hanya mengamati apa yang ada dihadapannya. Padahal,  bisa saja terjadi pada keduanya secara sekaligus. Maksudnya, Si A melakukannya dengan pola pertama, sedangkan Si B melakukan dengan pola kedua.

Hal ini pernah dinukilkan dalam cerita epos darah Bharata di mana dua orang saudara mengambil cara bertapa yang berbeda: Raden Kakrasrana, nama masa mudanya Prabu Baladewa, mengambil pola bertapa tidur sepanjang hari. Sementara adiknya Raden Narayana, nama masa mudanya Prabu Kresna, mengambil cara bertapa ngrame, dengan laku pergi ketempat keramaian dan membantu orang yang memerlukan bantuannya tanpa pamrih.

Konon bertapa yang bermakna menahan diri, menahan hawa nafsu, dalam diam; banyak dilakukan oleh mereka yang sedang olah batin untuk memohon kepada tuhannya agar hajat atau niat yang ada dalam hatinya terkabul. Tidak ada kurun waktu yang ditetapkan harus berapa lama. Konon soal waktu ini yang menetapkan adalah para guru spiritual yang melakukan bertapa. Sejarah kapan mulainya dikenal laku bertapa pada manusia, tidak ada ada catatan tertulis yang dapat dijadikan rujukan. Yang ada adalah cerita cerita lisan yang kemudian dibukukan.

Pada pertengahan bulan suci Ramadan pemerintah mengumumkan akan membagikan tunjangan hari raya kepada para pegawai negeri sipil (PNS/ASN),  TNI/Polri, dan para pensiunan. Hal ini tentunya diikuti oleh perusahaan swasta dan BUMN yang gila-gilaan besarnya dalam memberikan kepada para stafnya. Konon THR Ddreksi pada BUMN melampaui gaji seorang presiden. Jika total penduduk negeri ini dua ratus limapuluh juta orang, yang ada pada posisi penerima THR ada dua puluh juta orang, ditambah para orang kaya sepuluh juta orang; berarti total tiga puluh juta orang. Harapannya ini akan mendongkrak yang dua ratus juta orang lebih penduduk. Perhitungan secara ekonomi; maka akan menggerakkan sektor riil. Dengan demikian, diharapkan ada “efek menetes ke bawah” untuk dinikmati oleh banyak pihak.

Kita bisa membayangkan jika duapuluh lima juta orang di antaranya hidup dalam ketidakberuntungan karena tidak memiliki pekerjaan atau penghasilan tetap. Maka, sebesar inilah banyaknya lebih kurang, orang yang akan bertapa ngrame (bertapa di tempat keramaian, seperti pasar dsb); yang tidak mampu menikmati tetesan gula dari kebijakan tadi. Mereka akan menjadi penonton di tempat yang terang dari gegap gempitanya suasana tadi.

Mereka hanya bisa berada di tempat ramai, tetapi tidak ikut ramai ramai; dan lebih menyedihkan lagi ditengah keramaian itu, mereka hidup dalam kesunyian yang seolah abadi. Ternyata jika kita mau menyadari bahwa nikmat yang Tuhan berikan pada kita, bisa menjadi rasa iri bagi saudara kita lainnya, jika kita tidak bijak cara menyikapi dan menerima sebagai berkah. Kenikmatan serupa ini tentu saja harus disyukuri. Salah satu di antaranya adalah berbagi kepada mereka yang kurang beruntung. Yang lebih utama lagi tidak perlu menampilkan berlebihan, sehingga tidak melukai hati saudara-saudara kita tadi.

Pertanyaan lanjut adalah: apakah keberuntungan yang diperoleh karena kebijakan tadi akan dapat menyertakan saudara-saudara kita yang lain untuk juga menikmati “keberkahan”, sementara di hadapan sana sudah menunggu harga bahan pokok naik karena akibat dari kebijakan menaikkan bahan bakar yang terlalu tergesa-gesa Kenaikan ini memang pilihan pahit, karena jika langkah ini tidak dilakukan, maka keuangan negara akan mengalami kegoncangan. Pemilihan waktu yang kurang tepat.

Ini menunjukkan bahwa pilihan untuk “bertapa” bagi golongan ekonomi lemah semakin besar peluangnya. Sekalipun ada jaring sosial yang membantu mereka, dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai, namun semua itu tidak banyak membantu mereka untuk terlepas dari jeratan Bertapa sepanjang hari. Bisa dibayangkan besaran bantuan tetap, sementara harga kebutuhan pokok merangkak naik.

Keadilan Tuhanlah yang membuat mereka tetap survive, dengan pola ekonomi subsistensi  serta berbagi risiko sosial pada sistem sosial mereka, kehidupan masih bisa berjalan. Yang lebih dahsyat lagi adalah keyakinan religiusitas yang memompa semangat hidup mereka untuk terus berupaya mencari rezkiillahi; “Tuhan mencukupkan kebutuhan umatnya berapapun jumlah yang ada di muka bumi ini dengan rahmat-Nya.”

Benar kata petuah lama: hidup ini mudah yang sulit pikiran kita, hidup ini lapang yang sempit hati kita, hidup ini murah yang mahal gengsi kita. Bertapa lahir itu tidak sulit karena hanya terkait kepada materi kebutuhan jasmaniah, tetapi bertapa batin dengan cara selalu mengisi relung-relung hati dengan kalimah, sikap, pikiran keilahian, adalah pekerjaan batiniah manusia tingkat tinggi. Salah satu bentuknya adalah puasa yang sedang kita jalani. Apakah kita hanya akan dapat haus dan dahaga saja, atau mendapatkan peningkatan ketaqwaan kepada Tuhan; semua tergantung pada kita manusia sebagai pelaku.

Selamat ngopi menjelang imsyak….