Supriyanto/Teraslampung.com
Jumali, S,T., M.H. |
GUNUNGSUGIH–Untuk mendukung peningkatan produksi padi sehingga swasembada pangan nasional tercapai, Kabupaten Lampung Tengah terus meningkatkan fungsi jaringan irigasi, khususnya jaringan tersier yang merupakan Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT).
”Penataan irigasi yang di laksanakan oleh RPL saat ini hanya bagian dari program untuk percepatan pencapaian produksi padi yang di programkan Presiden Itupun hanya menangani rehabilitasi Jaringan Irigasi Tingkat Usaha Tani (JITUT), karena penataan JITUT sudah menjadi kewajiban daerah,”kata Kabid Rehabilitasi dan Pengembangan Lahan (RPL) Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Lampung Tengah, Jumali.
Jumali mengaku jaringan tersier yang tidak berfungsi maksimal di Lampung Tengah tentunya cukup banyak. Namun, adat tersebut tentunya ada di Dinas Pekerjaan Umum Pengairan, sehingga tidak diketahui persis detailnya.
”Kalau dikatakan jaringan tersier sudah rusak semua tidak mungkin, hanya tidak berfungsi secara maksimal. Dinas Pertanian tidak memiliki data barapa banyak yang tidak maksimal. Apa lagi dulu rehab jaringan irigasi itu menjadi tanggungjawab Dinas PU Pengairan. Keterlibatan RPL karena di kementerian Pertanian ada kaitan dengan rehab lahan, maka tahun ini ikut terlibat menangani rehabilitasi jaringan irigasi tersier,”katanya.
Menurut Jumali, untuk meningkatkan produksi padi tidak terlepas dari upaya yang dilakukan baik melalui program ektensifikasi dan intensifiksai. Program intensifikasi adalah peningkatan produksi melalui pemanfaatan teknologi, sedang ekstensipikasi peningkatan produksi melalui penambahan luasan lahan atau cetak sawah baru.
“Untuk peningkatan produksi melalui cetak sawah kita tidak ada, agar petani bisa tanam dari sekali menjadi dua kali dalam setahun dilakukan optimalisasi fungsi jaringan irigasi dengan melakukan rehabilitasi jaringan, ‘’katanya.
Melalui dana APBN, rehabilitasi JITUT di Lampung Tengah tahun 2015 ini ditargetkan sebanyak 11 ribu hektar. Tentunya, ini masih kecil sekali bila dibanding dengan luas lahan sawah di Lampung Tengah mencapai 57.657 Ha. Kalau saja bisa melakukan memperbaiki JITUT mencapai 20-30 ribu ha tentu Lampung Tengah bisa mengoptimalkan produksi dengan meningkatkan indeks pertanaman yang saat ini rata-rata masih 150 menjadi 200 seperti pada Irigasi Teknis Way Sekampung Sistem dan Bekri Sistem.
”Untuk kegiatan rehabilitasi jaringan tersier ini menggunakan dana dari APBN tahun 2015 mencapai Rp80 miliar, yang pengerjaannya dengan pola swaklola,”katanya.
Rehabilitasi jaringan tersier tahun ini tersebar di semua wilayah di Lampung Tengah, pengerjaannya diberikan kesempatan kepada Perkumpulan Petani Pengguna Air (P3A) untuk mengusulkan rehabilitasi tersier di wilayahnya dalam bentuk swakelola. Dinas pertanian hanya memberikan bimbingan teknis konstruksi, dan pendampingan konsultan, dan pembinaan kelembagaan serta pembinaan teknis teknologi pertaniannya.
”Saya tidak bisa menjawab pertanyaan barapa banyak atau panjang irigasi yang harus direhabilitasi, sebab datanya ada di Dinas PU Pengairan. Untuk mengetahui jaringan tersier satuan yang digunakan di Dinas Pertanian adalah hektar bukan kilometr. Itulah bedanya,”katanya.
Menurut Jumali, untuk meningkatkan produksi padi, ada tiga aspek yang harus dilakukan pendampingan terhadap petani, yakni pendampingan terhadap bagaimana melaksanakan konstruksi bangunannya, lalu memantapkan kelembagaan dalam pelaksanaan, serta mendampingi dari sisi penerapan teknis teknologi pertanian.
”Untuk apa saluran irigasi diperbaiki bila petani buta tentang benih, buta tentang pupuk, dan buta tentang teknologi pertanian. Tentu ini tugas yang cukup berat bagi kami, terutama kaitannya dalam mencapai swasembada pangan,”katanya.
Diakui Jumali, kendala dalam pelaksanaan rehabilitasi tersier tahun ini, diantaranya waktu pengerjaannya berbarengan dengan musim tanam, dimana hari ini di bangun hari ini juga dimanfaatkan. Artinya, programnya terkesan tidak direncanakan terlebih dulu. Ptogram dipaksakan untuk dilaksanakan.
Semestinya, tahun lalu direncanakan, perencanaan itu butuh waktu satu tahun, lalu menyiapkan petani dengan mengikuti pelatihan, kemudian menetukan areal yang akan dilakukan rehabilitasi dimana saja, tahun kedua baru pelaksanaan konstruksinya, dan tahun ketiga baru pemanfaatan.
”Sekarang ini tidak seperti itu, perencanaan konstruksi pelaksanaannya dilakukan dalam tahun yang sama, sehingga kita yang dilapangan kelabakan, belum lagi jumlah SDM dinas Pertanian untuk mengawasi pekerjaan tidak mencukupi,”tandasnya.