Jejak  

Bertemu Raja Penyair Pujangga Baru

Bagikan/Suka/Tweet:

Oyos Saroso H.N.

KOTA Medan, Jumat malam, 18 Februari 2010.  Menjelang magrib, acara pelatihan menulis di kantor Heifer International Indonesia di Jl. Mengkara 57, Medan baru usai. Sabtu pagi, saya harus pulang ke Lampung.

Namun, selain acara pelatihan menulis, masih ada satu agenda lagi, yaitu ziarah ke makam penyair Amir Hamzah di Kabupaten Langkat. Ini sebenarnya ‘acara pribadi’ saya. Saya merasa harus ziarah karena mumpung sudah sampai di Medan. Dan, bagi saya, Amir Hamzah dan para empu puisi Indonesia adalah guru yang sangat berjasa sehingga sangatlah pantas saya ziarah ke makamnya.

Sebenarnya ada beberapa kawan di Medan yang siap mengantar saya ke Langkat. Namun, pergi malam hari bukanlah persoalan mudah. Sebab, setiap kawan pasti punya kesibukan. Untunglah Mas Budjo (Budi Rahardjo), bos Heifer di Medan, mau kuajak pergi malam-malam. Maka, selepas magrib, bersama Mas Budjo dan dua staf Heifer (Abeng Faisal dan Kang Makmun) saya meluncur ke Langkat.

Jarak Medan—Langkat sekitar 70 km. Setelah menempuh perjalanan sekitar 2 jam dari Medan, akhirnya sampai kami di depan kompleks Masjid Azizi, di Tanjungpura, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jarum jam menunjukkan pukul 21.00 WIB.

Dari jalan trans Sumatera Medan—Aceh, kompleks masjid tampak sepi. Hanya ada beberapa anak remaja tanggung sedang bermain dan ngobrol di taman. Ruangan masjid tampak gelap. Meski begitu, bangunan masjid dan kompleks permakaman yang berada di sekitar masjid masih kelihatan karena terkena sorotan lampu neon yang dipasang di beberapa sudut kompleks masjid.

Faisal, kawan yang membawa kami dengan mobil milik Heifer International Indonesia, memarkir mobil di sisi kanan masjid. Mobil diparkir hanya beberapa meter di depan pusara makam Raja Penyair Pujangga Baru, Amir Hamzah. Lampu  mobil tetap dinyalakan agar bangunan makam makin tampak terang.

Kami tidak menghiraukan teriakan dan celoteh para remaja tanggung yang sedang bermain di taman masjid. Kami langsung menuju pusara Amir Hamzah.

Karena niatnya mau ziarah, saya pun bergegas mengambil air wudu di belakang masjid.  Kang Makmun, kawan  dari Heifer lainnya, ikut juga mengambil air wudu.

“Sekalian  saja numpang salat Isya di masjid,” ujar saya kepada Kang Makmun.

Disinari lampu temaran, kami pun salat berjamaah di ruang depan masjid, dekat teras, di depan pintu masuk ruang utama. Kami tidak sholat di dalam masjid karena malam itu pintu Masjid Azizi.

Selesai sholat, para remaja tanggung yang sejak tadi bermain di taman menghampiri kami sambil teriak,”Om! Om! Salatnya salah! Om salah menghadap kiblat!”

“Oh ya?” ujar saya enteng.

Anak-anak itu kemudian menjelaskan bahwa kami sebenarnya tadi salat menghadap ke arah selatan. Sementara kami sebelumnya yakin bahwa kami sudah menghadap ke arah kiblat (barat). Itu dengan asumsi bahwa masjid menghadap ke arah jalan raya trans Sumatera Medan—Aceh dan anak-anak remaja tanggung bermain di depan masjid. Lagi pula, menara masjid berada di halaman, dekat tempat para remaja tanggung itu bermain.

Tuhan ada di mana-mana, pikir saya. Salat menghadap ke manapun, kalau memang tak tahu arat kiblat, menurut saya tidak masalah. Namun, rasanya keyakinan saya itu menjadi luntur ketika para remaja tanggung itu sudah memberi tahu kesalahan kami. Saya pun kemudian mengulang sholat. Toh belum tentu saya bisa salat lagi di masjid bersejarah itu, pikir saya. Saya pikir tak ada ruginya.

Selesai salat, para remaja tanggung itu mendekati saya. Seperti sudah saya duga, mereka pun kemudian “bermain drama”. Intinya mereka minta tambahan uang jajan sekolah.

“Apakah kamu sekolah?” tanya saya kepada salah satu di antara mereka.

“Iya, Om,” mereka menjawab serempak.

“Kok malam-malam begini masih main di luar rumah?” saya mencoba menyelidik.

“Kami habis ikut pengajian Om…” ujar salah satu di antara mereka.

Saya perhatikan wajah, pakaian, dan barang yang mereka pegang. Ketiganya berwajah polos, menyelempangkan sarung di leher, dan memegang peci. Saya yakin mereka tidak bohong.

Saya pun lalu merogoh satu-satunya lembaran sepuluhan ribu dari kantong kanan celana saya dan saya berikan kepada salah satu di antara mereka.

“Dibagi bertiga ya!”

“Ya. Terima kasih Om!” teriak mereka sambil lari kegirangan.

Saya kemudian bergegas menuju kompleks Makam Keluarga Kesultanan Langkat. Setelah sampai di kompleks makam, barulah saya sadar bahwa kompleks makam itu berada sisi barat masjid. Makam Sultan Langkat dan keluarga utamanya berada di dalam pagar masjid dan diberi atap, sementara makam anggota keluarga lainnya, termasuk makam Amir Hamzah, Raja Penyair Pujangga Baru, berada di luarnya, tetapi masih berada dalam kompleks makam keluarga Sultan Langkat.

Ah, saya baru ingat pesan kawan saya, Darma Lubis, bahwa kompleks makam berada di belakang masjid. Kalau ingat pesan Darma, seharusnya kami tadi tidak salah arah kiblat.

Makam Amir Hamzah sebenarnya berada agak ke tengah, berselang empat-lima pusara dari bagian depan kompleks makam. Setelah kemudian berjongkok di sisi kiri makam untuk mengirim doa buat almarhum Amir Hamzah.

Tak lama kemudian tiba-tiba datang seorang berbaju koko dan berkopiah putih, menanyakan kedatangan kami. Kami menjelaskan maksud kedatangan kami malam-malam di makam itu. Saya pun mencoba mengenal pria berkoko putih itu.

“Apakah Bapak penunggu makam? Dari tadi saya mencari-cari penunggu makam, tapi tidak ada,” ujar saya.

“Bukan. Makam ini memang tidak ditunggu. Saya ke sini karena dari jauh saya melihat bapak-bapak ini malam-malam datang ke makam,” ujar pria itu.

“Kami sempatnya malam Pak. Besok saya harus pulang ke Lampung,” ujar saya.

Bapak itu rupanya memahami alasan kami. Namun,  tetap saja ada yang mengganggu benak saya. Kenapa ‘bapak berkopiah’ itu selalu mendekati kami ketika kami mengambil gambar? Kenapa pula ia ikut berdoa layaknya tukang doa di makam-makam di Jakarta? Apakah ia pemandu doa?

Sekitar satu jam kami berada di Kompleks Masjid Azizi dan Makam Amir Hamzah. Ketika kendaraan kami hendak beranjak meninggalkan halaman masjid, pria berbaju koko tetap menguntit kami. Saya jadi tak enak hati.

“Tolong Sal, minta uangnya untuk bapak itu. Uangku sudah kukasih ke anak-anak tadi,” ujar saya kepada Faisal.

Setelah menyerahkan uang kepada pria berbaju koko putih, kami pun pergi meninggalkan masjid, menembus pekat malam, menuju Medan.

***

Amir Hamzah atau Tengku Amir Hamzah lahir di Tanjungpura, Langkat, 28 Februari 1911. Ia tumbuh dan besar dalam lingkungan Kesultanan Langkat. Dulu Kesultanan Langkat masuk wilayah Sumatera Timur. Kini Langkat menjadi salah satu kabupaten di Provinsi Sumatera Utara. Kesultanan Langkat merupakah salah satu kerajaan Melayu. Pada awal abad ke-20 Kesultanan Langkat termasuk kerajaan sangat makmur. Sebab, di wilayah itu terdapat perkebunan yang sangat luas dan ditemukannya tambang minyak di Pangkalan Brandan.

Meskipun lahir dan hidup di lingkungan kesultanan, Amir Hamzah lebih banyak tampil sebagai sosok yang sederhana. Bahkan,  kata “Tengku” yang mestinya melekat di depan namanya, ia tanggalkan. Ia tak pernah memakai nama Tengku Amir Hamzah ketika menulis puisi atau saat aktif dalam dunia pergerakan nasional.

Hingga kini masih banyak orang yang tidak tahu bahwa pada masa hidupnya Amir Hamzah juga seorang aktivis pergerakan. Orang, terutama yang sedang belajar sastra Indonesia, umumnya hanya mengetahui bahwa Amir Hamzah adalah Raja Penyair Pujangga Baru. Ya, sebuah julukan yang disematkan kritikus sastra H.B. Jassin untuk seorang penyair yang berjasa besar dalam menancapkan tonggak yang kokoh dalam pembaruan perpuisian Indonesia.

Amir Hamzah menyelesaikan pendidikan dasar di Tanjungpura. Ia kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) di Medan. Belum sampai tamat MULO, pada 1928 Amir Hamzah hijrah ke Batavia (Jakarta). Ia kemudian menyelesaikan MULO di Jakarta pada 1929. Setahun kemudian, Amir Hamzah pindah ke Solo untuk melanjutkan studi di Algeme(e)ne Middelbare School (AMS) dengan spesialisasi kajian sastra timur. Di AMS Amir Hamzah belajar bahasa Sanskerta dan bahasa Jawa.

Kepindahan Amir Hamzah ke Pulau Jawa itulah yang kemudian mengubah jalan hidupnya, dari seorang bangsawan Melayu menjadi seorang nasionalis yang egaliter. Ketika sekolah di Solo, Amir Hamzah terlibat dalam Kongres Indonesia Muda (29 Desember 1930 hingga 2 Januari 1931). Saat itu Amir Hamzah terpilih sebagai Ketua Indonesia Muda Cabang Solo.

Indonesia Muda merupakan organisasi pemuda yang menyatukan pelbagai organisasi pemuda berciri kedaerahan seperti Jong Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Celebes, dll. Kongres Pemuda di Solo itu sangat penting, karena itulah saat pertama kali para pemuda Indonesia dengan latar belakang suku yang berbeda-beda berhasil menggalang semangat nasionalisme.

Selepas AMS di Solo, Amir Hamzah melanjutlan pendidikan tinggi di Recht Hoge School (RHS), Sekolah Tinggi Hukum pada zaman Belanda, di Jakarta. Semangat nasionalismenya terus terpupuk karena dia banyak bergaul dengan para pemuda nasionalis. Ia juga mengajar Sekolah Perguruan Rakyat di Jakarta, sebuah lembaga pendidikan  milik Taman Siswa yang didirikan Ki Hajar Dewantara.

Pada 1936, saat kuliahnya belum tamat, Amir Hamzah dipanggil pulang oleh Sultan Langkat Mahmoed Abdoel Djalil Rachmat Sjah. Sultan Langkat termasuk kerabat dekat keluarga Amir Hamzah karena terhitung sebagai saudara sepupu Tengku Muhammad Adil, ayah Amir Hamzah.

Sang Sultan meminta Amir untuk menikahi puterinya, yaitu Tengku Puteri Kamaliah. Dengan berat hati, Amir Hamzah pun harus menuruti kemauan sang sultan. Padahal, ketika itu sebenarnya Amir Hamzah sudah menjalin asmara dengan gadis Solo bernama Ilik Sundari.

Perpisahannya dengan Ilik Sundari, melahirkan puisi berjudul “Selalu Sedih” (Majalah Pujangga Baru edisi 7 Januari 1937). Ia melukiskan dirinya sebagai orang yang tidak berdaya menghadapi kenyataan pahit. Berikut larik-larik puisi itu:

Hatiku sajang selalu sedih
Selalu sendu semata salah
Sekedjap mengetjap kasih
Paksa datang menjuruh lepas
Hidup badan tiada berdaja
Dalam genggaman orang lain
Kemana kata kesana mara
Boneka daging tiada berasa 

Amir Hamzah merasa hidupnya sudah “tertentukan” oleh orang lain, yaitu Sultan Langkat yang masih kerabat ayahnya sendiri. Ia tidak  bisa menolak permintaan Sultan, karena penolakan berarti pembangkangan terhadap Sultan dan adat.

Pada 1938 Amir Hamzah menikah dengan perempuan pilihan pamannya. Ia kemudian mendapatkan gelar Tengku Pangeran Indra Putera dan kemudian diangkat menjadi kepala Luhak Langkat Hilir di Tanjungpura, kemudian kepala Luhak Teluk Haru di Pangkalan Brandan, lalu ditarik ke istana menjadi Bendahara Sultan. Dalam lingkungan kerajaan di Melayu, Luhak merupakan sebutan untuk wilayah pemerintahan di bawah kerajaan. Saat ini mungkin setingkat provinsi.

Ketika Mr. Teuku Mohammad Hasan diangkat menjadi Gubernur Sumatera, Amir Hamzah diangkat sebagai wakil pemerintah RI untuk daerah Langkat, berkedudukan di Binjai. Jabatan inilah yang membawa petaka baginya. Dalam sebuah huru-hara revolusi sosial di Langkat, Amir Hamzah terbunuh. Revolusi sosial yang dimulai pada Maret 1946 bertujuan membatasi kekuasaan para sultan yang dianggap tidak berpihak kepada republik.

Seorang kawan saya yang masih anak keturunan Kesultanan Langkat,  kepada saya mengaku bahwa revolusi sosial itu sebenarnya tidak murni digalang oleh orang-orang yang anti terhadap Kesultanan Langkat. Orang-orang dalam istana Kesultanan Langkat sendiri dikabarkan juga terlibat dalam aksi tersebut. Tujuannya tak lain mendapatkan keuntungan kekuasaan.

Penuturan kawan saya itu ada agaknya ada benarnya. Itu kalau dikorelasikan dengan temuan sastrawan Abrar Yusra. Menurut Abrar Yusra, ketika revolusi sosial terjadi, para sultan dan keluarganya, termasuk Amir Hamzah, diculik dan dibunuh. Amir Hamzah dipancung oleh orang dekatnya sendiri pada 1949.

Pada 1969 Amir Hamzah mendapatkan anugerah Satya Lancana Kebudayaan Pemerintah Republik Indonesia dan Anugerah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Mashuri. Pada tahun 1975 Amir Hamzah, penyair romantis yang hidupnya berakhir tragis itu diangkat sebagai Pahlawan Nasional.

***

Saya dan mungkin jutaan anak-anak sekolah dan mahasiswa sastra, tentu mengenal begitu dekat sosok Amir Hamzah yang dijuluki sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru”. Ya, bersama-sama Sutan Takdir Alisyahbana dan Armyn Pane, Amir Hamzah memang dikenal sebagai pendiri Pujangga Baru. Namun, bukan karena itu Amir Hamzah ‘diangkat menjadi raja’. Amir Hamzah dijuluki sebagai “Raja Penyair Pujangga Baru” karena dialah tokoh terpenting dan penyair bernas dalam era Pujangga Baru yang estetika puisinya menjadi pioner pendobrakan terhadap estetika puisi era Balai Pustaka.

Salah satu sajaknya yang menjadi ‘bacaan wajib’ para mahasiswa sastra dan kerap dijadikan bahan lomba baca puisi di Indonesia adalah puisi berjudul “Padamu Jua”:

Habis kikis
Segala cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Dimana engkau 
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas

Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri
Lalu waktu—bukan giliranku
Mati hari—bukan kawanku