Uang Rupiah (ilustrasi) |
JAKARTA, Teraslampung.com – Selain memutuskan menahan BI Rate, bank sentral juga mempertahankan suku bunga Deposit Facility 5,5 persen dan Lending Facility pada level 8 persen.
“Upaya ini kami lakukan untuk menahan level inflasi sesuai target empat persen plus minus satu persen,” kata Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo,Selasa (19/8).
Dengan mempertahankan suku bunga acuan maka diperkirakan nilai tukar rupiah dapat lebih terjaga sehingga bisa menahan inflasi dari sisi impor. Sementara untuk mendorong ekonomi, BI sedang mengkaji ulang pelonggaran aturan kredit terkait rasio LTV untuk properti serta down payment kendaraan bermotor.
Langkah BI tersebut sudah banyak diprediksi oleh para para ekononom. Lana Soelistianingsih, seperti dilansir bareksa.com , Selasa (19/5) mengatakan BI perlu mengantisipasi langkah kebijakan moneter Bank Sentral Amerika, The Fed, yang diperkirakan akan menaikkan tingkat bunga acuan pada Juni 2015.
Menurut Lana, jika BI rate diturunkan maka akan semakin menekan nilai tukar rupiah. Hingga siang ini rupiah bergerak stagnan Rp13.140 per dolar Amerika. Secara year to date, rupiah melemah 5,75 persen — menjadikan rupiah sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di antara negara-negara lain di kawasan Asia
.
Ketua Umum asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI) Eddy Hussy mengatakan asosiasi berharap BI bisa menurunkan suku bunga acuan. Pasalnya saat ini Indonesia memang membutuhkan dorongan lebih di bidang ekonomi.
“Ekonomi sedang lemah dan harus ada dorongan dari pemerintah,” katanya.
Eddy mengatakan dengan turunnya BI Rate, perekonomian bisa semakin bergairah. Apalagi untuk sektor properti yang sangat sensitif terhadap bunga bank.
Kredit properti, menurut dia, menggunakan kredit jangka panjang. Berbeda dengan kredit kendaraan bermotor yang hanya berjangka waktu 1-3 tahun.
“Kalau properti bisa sampai 10-20 tahun,” katanya.
Dengan waktu kredit yang panjang tersebut, kenaikan bunga sedikit saja akan membuat selisih harga beli menjadi lumayan besar dan semakin membebani konsumen.
Neraca Transaksi Surplus
Sementara itu, Rapat Dewan Gubernur BI, Selasa (19/5) juga menyampaikan,bahwa pemulihan ekonomi global masih berjalan tidak seimbang dengan risiko di pasar keuangan global yang masih tinggi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan tidak secepat perkiraan semula seiring lebih rendahnya prakiraan pertumbuhan ekonomi AS dan Tiongkok.
Menurut Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia, Tirta Segara, perekonomian Eropa diperkirakan terus membaik ditopang pelonggaran kondisi moneter dan keuangan serta dampak penurunan harga minyak.
“Perekonomian dunia yang melambat berdampak pada harga komoditas internasional yang masih terus menurun, meskipun harga minyak dunia mulai kembali mengalami kenaikan,” kata dia.
Di sisi domestik, lanjut Tirta, Rapat Dewan Gubernur BI juga mencatat bahwa pertumbuhan ekonomi pada triwulan I 2015 melambat, namun diperkirakan akan membaik pada triwulan-triwulan mendatang.
“Pertumbuhan pada triwulan I 2015 tercatat sebesar 4,7% (yoy), melambat dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 5,0% (yoy). Hal ini terutama didorong lemahnya kinerja beberapa komponen permintaan domestik terutama konsumsi pemerintah dan investasi pada sektor bangunan,” jelas Tirta.
Selain itu, belum terealisirnya belanja pada beberapa kementerian dan lembaga yang baru serta masih terbatasnya belanja modal terkait dengan implementasi proyek-proyek infrastruktur pemerintah mengakibatkan lemahnya kinerja konsumsi pemerintah dan investasi bangunan.
“Secara spasial, perlambatan ekonomi pada triwulan I/2015 terjadi hampir merata di seluruh wilayah Indonesia, baik di wilayah Jawa dan Jakarta, yang mengandalkan sektor manufaktur, maupun wilayah Sumatera dan Kalimantan, daerah penghasil komoditas sumber daya alam.” Kata Tira seraya menyebutkan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi akan membaik terutama pada semester II-2015, didukung oleh meningkatnya konsumsi dan investasi sejalan dengan meningkatnya realisasi pengeluaran fiskal oleh pemerintah serta meningkatnya penyaluran kredit oleh perbankan.
Menurut Tirta, pada masa mendatang percepatan realisasi belanja Pemerintah baik di kementrian/lembaga dan untuk implementasi proyek-proyek infrastruktur menjadi kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi 2015.
Mengenai Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), Rapat Dewan Gubernur BI mencatat pada triwulan I/2015 mencatat surplus, terutama ditopang oleh menurunnya defisit transaksi berjalan.
“Defisit transaksi berjalan tercatat sebesar 3,8 miliar dolar AS (1,8% PDB) pada triwulan I 2015, lebih rendah dari triwulan sebelumnya sebesar 5,7 miliar dolar AS (2,6% PDB) dan triwulan yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,1 miliar dolar AS (1,9% PDB),” jelas Tirta.
Peningkatan kinerja transaksi berjalan itu, lanjut Tirta, terutama ditopang oleh perbaikan neraca perdagangan migas, seiring dengan menyusutnya impor minyak karena harga minyak dunia yang lebih rendah, dan turunnya konsumsi bahan bakar minyak (BBM) sebagai implikasi positif dari reformasi subsidi energi.
Sementara itu, neraca perdagangan Indonesia pada April 2015 menunjukkan perkembangan yang positif dengan mencatat surplus sebesar 0,45 miliar dollar AS, ditopang oleh kenaikan surplus neraca nonmigas. Di sisi lain, transaksi modal dan finansial tetap mencatat surplus triwulan I 2015. Surplus transaksi modal dan finansial tersebut terutama ditopang oleh aliran masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio dan investasi langsung.
Dengan perkembangan tersebut, lanjut Tirta, cadangan devisa pada akhir April 2015 tercatat sebesar 110,9 miliar dolar AS atau setara dengan 6,9 bulan impor atau 6,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor.
Meski demikian, ke depan Bank Indonesia akan terus mewaspadai risiko peningkatan defisit transaksi berjalan seiring kenaikan impor menjelang lebaran, serta pola musiman pembayaran Utang Luar Negeri dan dividen.
Dewira/SK/bareksa.com